Kamis, April 10, 2008

Sebuah Cerita Cinta

“Ma!” wajah belia yang cantik itu memalingkan wajahnya dari layar laptop, menatap wajah matang yang serupa dengannya. Saat itu mereka tengah berada di dalam sebuah cozy resto. Yang dipanggil mengangkat wajah dari novel yang dibacanya.
“Soal quote ‘Love Can Sometimes Be Magic. But Magic Can Sometimes..Just Be An Illusion’. Menurut mama, Javan hanya patah hati atau belum pernah merasakan jatuh cinta ?”
“Yah, Mama rasa dia hanya mengungkap satu dari banyak kemungkinan. Supaya kita aware. Pernah dengar istilah cinta buta kan ?!”
Si belia mengangkat alisnya.
“It is remarkable how similar the pattern of love is, to the pattern of insanity!”
Kata si belia mengutip quote dari The Matrix. Keduanya tertawa.
“Kebanyakan nonton film, kamu!” ibunya menimpali sebelum kembali membaca.
“Trus, gimana dengan yang Grayson bilang : Looking Back, I Have This To Regret, That Too Often When I Loved, I Did Not Say So ? Kebanyakan ngelaba ? Atau takut ditolak karena kondisi fisik ‘kurang’ ?” Gadis itu tertawa sebelum melanjutkan,” Tapi apa iya penyesalan akan datang jika kita tidak berani atau tidak sempat menyatakan cinta pada seseorang yang kita sayangi ? Apa kisahnya selalu sama ? Klasik ? Cliché ?”
Ibunya berhenti membaca. Memandang wajah si belia.
“Mungkin hasil akhir bisa sama dengan berbagai kemungkinan yang orang kenal. Happily ever after atau sad ending. Toh kita sering kesulitan menerangkan apa sesungguhnya itu bahagia, apa itu duka, dan apakah itu akan berlangsung selamanya. Mau tahu hasil akhirnya ? Anggap saja sampai kita mati. Hidup kita bukan fiksi. Saat mati, baru kita akan bertemu ending. Sebelumnya : adventure ! Dan percaya Ayesha sayang, kisahnya tidak ada yang cliché ”
Si belia menatap wajah ibunya. Sang Ibu tersenyum simpul, dengan arti yang rupanya dapat ditangkap oleh sang putri.
“Would you tell your story ? Please..”
***
Pada suatu siang yang terik, ketika Renata tiba – tiba merasakah kejenuhan yang luar biasa. Kepalanya berdeyut dan nafasnya sesak. Ia mengalihkan pandangan dari layar desktop dan yang ditemuinya adalah tumpukan berkas kerja yang belum terselesaikan. Dan ketika kepalanya makin berdenyut, dan ia memutuskan untuk berkemas.
Ia menjalankan Nissan Genesis-nya menuju plaza terdekat. Siapa tahu jalan – jalan sedikit bisa membuat pusingnya hilang. Dalam perjalanan yang singkat, sempat ia berfikir soal sakit kepalanya dan keresahan tak beralasannya. Seingat-nya, dulu ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Jangan – jangan ia mengidap sakit tertentu ! Ia bergidik. Atau mungkin karena faktor usia ? Gila ! Dia masih berusia 26 tahun, dan selalu berusaha hidup sehat.
Ia sampai. Kepalanya masih berdenyut Ada apa sebenarnya ?! Ia gerah.
Buku ! Ya, dalam kondisi aneh begini sebaiknya membeli buku dan segera pulang. Membaca adalah obat paling manjur. Langkahnya baru mengarah ke toko buku ketika samar ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke kiri, kanan lalu ke belakang. Tidak ada orang yang dikenalnya. Namun begitu kembali menatap ke arah depan, matanya tertumbuk pada satu sosok yang berada beberapa langkah di depannya, yang saat itu juga tengah menatapnya dengan takjub.
“Renata ? Renata Amelia Zuhri ? SMA Pelita Bangsa ?”
Ya Tuhan. Dia Adam !
“Adam ya?”
Ia tertawa lebar.
Laki – laki itu. Kedua matanya masih indah seperti dulu. Lebih matang, tapi tetap tampan. Kenangan Renata melayang pada awal masa SMA-nya.
Anak baru pindahan dari Bandung, kelas dua. Tidak sampai seminggu, hampir semua perempuan di sekolahnya tahu, dan hampir semua laki – laki mendadak diserbu rasa cemburu. Tidak sampai sebulan, hampir satu sekolah dikenalnya, termasuk Renata. Anak kelas satu yang kebetulan pandai menari kebetulan mengisi acara sekolah dan Adam salah satu panitianya. Hanya dibutuhkan waktu yang singkat untuk membuat Renata tergila – gila padanya. Dan rupanya ia beruntung. Adam suka berdekatan dengannya. Mereka memang menjadi karib, namun Renata merasa ia membuat suatu kesalahan besar.
Ia jatuh cinta pada laki – laki itu. Sesuatu yang sia – sia.
Kecocokan tentu tidak menjamin seseorang jatuh cinta padamu, tidak juga Adam. Renata sadar hal itu. Ia tersiksa, namun bertahan, karena tidak mungkin seorang sahabat menjauh tanpa sebab.
Lalu, diam – diam ada rasa bersyukur tatkala lelaki itu sudah hampir menginjak akhir masa sekolahnya. Adam kembali ke Bandung, kuliah. Dulu Adam memilih sekolah di Jakarta dengan alasan simple : Bosan. Dan entah apalagi alasannya kini ketika memilih kuliah kembali ke Bandung, karena toh tiap akhir pekan ia ke Jakarta untuk menemui Renata. Ketika ditanya mengapa, ia selalu menjawab enteng “Kangen sama kamu,” dengan cengirannya yang khas.
Rutinitas itu terus berlangsung sampai tahun kedua kuliah Renata, sampai Renata bertemu dengan Ari. Laki – laki yang sebaya dengannya, putra dari Almarhum ayahnya. Baik hati, pintar dan lumayan tampan. Dan mulailah Renata menata hatinya. Dengan upaya, ia bisa mencintai Ari dan memposisikan Adam hanya sebagai karib. Ari membuatnya merasa inilah cinta yang sesungguhnya. Enam bulan setelah Ari memperoleh pekerjaan, mereka menikah.
Sementara Adam ?
Lelaki itu tiba – tiba disibukkan kuliahnya bersamaan dengan kedekatannya dengan Ari. Tak ada lagi weekend di Jakarta. E-mail dan telpon juga semakin jarang, dan akhirnya terputus saat Renata mendengar Adam melanjutkan kuliah di Australia. Tentu saja Renata sedih, karena ia merasa ditinggalkan seorang karib, namun ia berusaha maklum.
Renata tiba – tiba ingat sesuatu. Ya, mulai saat itu dimulailah peperangannya melawan kepala berdenyut dan hati galau.
Semuanya itu berkelebat selama detik – detik Renata menatap tawa lebar sahabat lamanya itu ditengah keriuhan plaza.
Renata tersadar ketika lelaki itu mengulurkan tangannya,
“APA KABAR KAMU ??!!” sahutnya riang sambil menggenggam tangan Renata erat “ Maunya sih peluk kamu, tapi bisa disangka porno aksi, ntar !”
Dia masih seperti dulu. Renata merasakan keharuan menerpanya. Ia rindu sahabatnya itu.
“Well, kayanya ga enak kita ngobrol di jalan gini. Cafe?”
Dan mereka berpuas – puas berkelakar tentang masa SMA dulu.
“Dam, kamu kok dulu itu tiba – tiba raib sih ?” Renata bertanya.
“Oh iya. Maaf banget soal itu. Tiba – tiba ribet, terutama urusan kuliah. Tapi aku pikir juga kamu juga udah jarang bales sms dan e-mail dari aku. Begitu lulus kuliah aku ngelanjutin ke ANU, Australian National University di Canberra, ambil Asian Studies, dan sekarang kerja di Kedutaan”
“Aku juga minta maaf deh. Sama – sama lupa satu sama lain. Kamu nenikah ?”
“Iya, doooong ! Aku bertemu Vanda di Australia, dan langsung menikah setahun setelahnya. Dia mahasiswa juga. Isriku baru hamil sekarang.”
“Kalah kamu ! Anakku sudah satu. Pre-school! Ha ha ”
Tak terasa jam telah menunjukkan pukul delapan malam.
“Well, aku ke toilet bentar ya Dam ! Udah nahan dari tadi!” Renata nyengir.
Perempuan itu beranjak. Adam memandangnya berjalan menuju toilet hingga menghilang dari pandangan matanya. Ia menghela nafas. Renata masih cantik. Ia teringat betapa dunianya jungkir balik saat melihatnya menari dulu. Melihatnya tertawa. Dunia seakan ikut tertawa jika ia tertawa. Adam jatuh cinta padanya, bahkan mungkin bermula dari pandangan pertama. Sejuta kali ia ingin menyatakan cinta namun entah mengapa sesuatu kekuatan besar menahannya. Ketidak pedulian Renata membuatnya tersiksa. Tanda – tanda kecil yang ia lontarkan selalu dimentahkan dengan lelucon, sampai ia kemudian mengambil suatu kesimpulan. Renata tidak mencintainya. Saat kuliah tiba, dan ia tak kuasa untuk berdekatan dengannya, dan memilih kembali ke Bandung. Namun ternyata ia tidak sanggup menahan kerinduannya. Ia bersorak tiap akhir pekan, karena ia bisa pergi ke Jakarta menemui Renata. Tolol ! Ia mengutuk kepengecutannya, namun tak urung merana memikirkan jika ia ditolak, ia akan kehilangan Renata selamanya. Dan ia akhirnya pasrah pada nasib, siapa tahu ada keajaiban. Toh gadis itu masih sendiri.
Hingga suatu saat ia mendengar nama Ari disebut. Sakitnya luar biasa sebelum ia memutuskan sepenuhnya mundur, dan terbang ia ke Aussie. Ia bersyukur dengan keputusannya, karena di Negara inilah ia bertemu dengan Vanda, asli Malang – Manado. Indonesia. Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, ia langsung menyatakan cinta dan tidak menunggu lama untuk kemudian memutuskan untuk menikah.
Ia mencintai pekerjaannya, namun menurutnya pekerjaan menuntut konsentrasi penuh yang membuatnya sering sakit kepala dan resah tak beralasan. Ia perlu rest. Besok ia ambil cuti tiga hari. Hari ini sakit kepala menyerangnya lagi dan Ia memutuskan pulang siang saja, namun ia teringat titipan istrinya dan mampir sebentar ke tempat ini. Tempat yang mengantarnya kembali bertemu Renata.
Perempuan itu terlihat sudah kembali dari kamar kecil. Dan seperti biasa, tertawa lebar menatapnya. Adam ingat betapa ia dulu terpesona dengan tawa itu.
“By the way Nat, kayaknya kita mesti kembali ke balik deh. Udah malam,” Adelmar menatap jam tangannya.
“Yah, iya sih, kasian anakku cuma ditinggal sama mbak-nya. Ari sedang tugas luar kota, ”
“Yuk kita bareng ke parkiran,”
Mereka masih mengobrol dan tertawa dalam perjalanan ke tempat parkir,
“Nah, mobilku aku parkir di ujung sebelah sana. Kamu ?”
“Tuh, mobil Genesis tua terkasihku,” Renata menunjuk Nissan hitam metalik-nya.
“So, thank you so much untuk semuanya ya Nat,” laki – laki itu mengulurkan tangannya.
“Take care ya Dam. Jangan bandel – bandel,” Renata membalas uluran tangan itu.
“See you,”
Renata masih berdiri di tempat sementara Adam berbalik dan melangkah. Baru beberapa langkah, ia terhenti dan berbalik kembali
“Nat,”
Renata menoleh,”Ya ?”
“You know what…. aku dulu pernah jatuh cinta sama kamu. Well, bahkan pernah sangat mencintai kamu,”
Sepersekian detik Renata terhuyung, takjub. Dan tersenyum,
“Dan aku juga pernah jatuh cinta sama kamu, sampai kemudian aku putus asa. Aku pikir cintaku bertepuk sebelah tangan karena kamu tidak pernah menyatakan cinta kamu ke aku,”
Mereka saling bertatapan dalam kebisuan selama beberapa detik, sebelum kemudian sama – sama tersenyum.
“Oke Adam my friend, aku mesti pulang. Jaga diri dan keluarga kamu ya,”
“Iya. Kamu juga. Salam untuk Ayesha dan Ari. Bye Renata,”
Adam berbalik, begitu juga dengan Renata. Tanpa bertukar no telpon, tanpa bertukar alamat. Tanpa berjanji bertemu lagi.
Semenjak saat itu, Renata dan Adam tidak pernah bertemu kembali.
***
“Nah, Yesha. Cukup untuk membuat artikel cinta di majalahmu itu ? Masih betah kerja part time ?”
Gadis itu mengangguk dan tersenyum.
“Let me guess Ma. Semenjak itu mama tidak lagi diserang kepala berdenyut dan kerisauan tak beralasan ?” mata Ayesha melebar indah. Mamanya tersenyum.
Saat itu mereka telah berjalan menuju ke tempat dimana mobil mereka diparkir.
“Life is an adventure, right Ma ?! Bila akhir adalah kematian, apa ada pikiran bahwa ada kemungkinan kalian memang diciptakan untuk bersama ?”
Mamanya menggeleng “ Harapan dan cinta Mama adalah kamu dan Papamu.”
“Tetapi Mama belum tahu kisah akhirnya,”
“Memang belum sayang. Life should be a mystery “ sahut Mamanya tersenyum, “Yuk ! Kita mesti pulang dan masak. Besok kalo Papamu pulang biar terkaget – kaget kita masak buat dia”
“Sip deh Ma !”
Dan mereka berangkulan berjalan menuju ke arah mobil dan pulang ke rumah.
***

Tidak ada komentar: