Jumat, April 25, 2008

Hell No !

Kemaren itu gue sempat menyinggung soal surga, nah sekarang ini gilirannya neraka.
Jika surga adalah tempat terindah yang bisa saja berbeda – beda bentuknya, tergantung seperti apa kita memandang sebuah kebahagiaan dan keindahan, berarti bisa dikatakan bahwa neraka adalah penggambaran dari mimpi terburuk, segala hal yang paling menakutkan, menjijikan atau yang paling kita benci, atau gabungan dari semuanya.

Ada temen gue yang amat sangat membenci sekaligus jijik dengan bulu ayam. Dan tiba – tiba dia berkata bahwa habislah dia jika dia bernasib buruk dan masuk neraka, sementara nereka itu adalah sebuah tempat yang berisi bulu ayam !
Well, kita semua tahu di dunia ini banyak sekali hal yang mungkin biasa saja bagi sebagian orang ternyata begitu menyeramkan bagi sebagian yang lain. Hal seperti ini paling banyak sih terkait dengan yang sifatnya phobia. Ada yang jijik dengan peniti atau kancing baju, ada yang histeris hanya dengan melihat motif baju polkadot, pun ada pula yang membenci kucing.
Ga bisa gue bayangkan bahwa tempat yang menyeramkan seperti neraka adalah tempat dengan banyak kancing, tempat dimana kita dipaksa memakai baju motif polkadot dan berpeniti banyak, atau tempat dimana kita diharuskan memelihara seratus ekor kucing.

Lalu, gue tiba - tiba teringat teman gue yang lain. Dia paling takut dengan berbagi jenis serangga, termasuk salah satunya adalah kupu – kupu.
Ya, kupu – kupu.
Sementara bayangan gue tentang surga adalah tempat dengan aneka warna kupu – kupu.

Apakah dengan demikian sebenarnya surga atau neraka adalah tergantung bagaimana kita menerimanya ?

By the way, jika nanti gue juga bernasib buruk dan juga masuk neraka, bisa tidak ya, minta tukar tempat ? (^0^)
Yaah, siapa tahu kan, ada penghuni neraka yang merupakan penyayang jenis-jenis binatang melata sementara ia membenci bunga….

Kamis, April 24, 2008

I Dream of Heaven

Seorang sahabat pernah berkata bahwa kita sebenarnya hidup pada dua dimensi yang berbeda. Kita yang sekarang ada di dunia ini dan kita yang lain ada di suatu tempat. Yang sama sekali asing. Bukan Negara, bukan wilayah. Hanya suatu tempat tertentu.
Kita yang hidup di tempat itu, memiliki link yang langsung terhubung ke kita yang saat ini hidup di dunia.
Mugkinkah itu adalah personifikasi dari jiwa, pikiran dan keinginan kita. ? Entahlah.
Terus terang gue ingin sekali percaya bahwa beneath or above this world, ada sebuah dunia maha indah dimana kita diterima dengan tangan terbuka di dalamnya. Tempat yang begitu luas sehingga bisa menampung siapa saja.
Dan meskipun gue belum berada pada tahap itu, rupanya nyaman juga jika memulai pembicaraan mengenainya.
Image and video hosting by TinyPic
Kerena memiliki link langsung kepada kita di sini, kegiatan kita disana juga seharusnya bisa terbaca dari apa yang tengah berkecamuk dalam jiwa kita.
A perfect analogy, I presume.
Contoh saja, jika kita mengalami kelelahan yang amat sangat, kita akan terlihat tertidur dengan pulas di sebuah tempat ternyaman yang pernah kita impikan. Jika deep down inside kita memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sangat membutuhkan jawaban, atau otak kita sedang berputar keras tatkala menyelesaikan sesuatu masalah, bisa jadi kita terlihat sedang membaca.

Saat berbicara dengannya, gue menanyakan sedang apa ‘gue’ sekarang, dan saat itu ia menjawab bahwa gue sedang membaca buku yang sangat tebal dibawah sebuah pohon. Nyaman sekali tampaknya
Diwaktu yang lain, dilihatnya gue sedang tidur di bawah pohon.
Gue lalu bertanya, kenapa gue menyukai pohon itu.
Hmm.. banyak hal. Bisa jadi pohon itu adalah penggambaran perlindungan dan kenyamanan, atau keinginan akan hal itu. Tetapi bisa jadi gue memang sudah memimpikannya sejak lama.
Saat gue teringat sesuatu, gue tanya lagi apakah tempat dimana pohon itu berada adalah tempat yang dipenuhi dengan bunga ?
Dan ia meng-iyakan.
Hmm.. surgakah ? Atau hanya suatu tempat misterius yang berada di suatu titik tertentu dari otak kita yang mem-visualisasi diri ?

Gue selalu membayangkan surga adalah tempat yang penuh warna. Dan warna – warna itu muncul dari bunga, tumbuhan dan pepohonan disana. Tidak ada apa – apa lagi. Hanya pohon, tumbuhan dan jutaan bunga.
Binatangnya ? well burung Phoenix, kupu – kupu dan Pegasus, mungkin.
Well, sangat imaginative, bukan ? ;p
Mungkin saja mimpi gue ini sama saja dengan mimpi banyak orang tentang surga, atau bahkan mimpi anak balita. Tetapi gue tidak bisa membayangkan tempat lain yang senyaman dan sedemikian bersahabat kecuali tempat seperti itu.

It is what it is.
Suami gw bilang bahwa ia yakin penggambaran surga bagi masing2 orang berbeda2. Tergantung seseorang seperti apa orang tersebut melihat sebuah keindahan, dan pada kondisi apa dan bagaimana seseorang merasakan paling bahagia, terlindungi dan nyaman, maka disitulah surga-nya berada.


Lalu kira – kira seperti apa surgamu kelak ?
Ataukah seperti John Constantine, kamu yakin bahwa surga sebenarnya ada di tempat kita berpijak sekarang, berdampingan dengan neraka ?

Orlando, Engkaulah Matahari !

Pada suatu masa yang belum terlalu lama meninggalkan kita, kita dapat menemui seorang lelaki muda yang suka membuat orang lain senang dengna melakukan hal – hal sederhana. Layaknya, beberapa orang menyukainya, dan beberpa yang lain justru mencurigainya. Namun, pada kenyataannya, kebanyakan dari mereka menganggapnya biasa – biasa saja. Diantara kepala – kepala hitam yang mengetahui keberadaanya, tersebutlah seorang perempuan cantik bernama : Lyn. Perempuan muda yang rumahnya berhadapan dengan tempat tinggal pemuda itu. Perempuan muda berusia 18 tahun. Perempuan muda dengan puluhan laki – laki di belakangnya, yang pernah mendambakan cinta darinya. Dan lepas dari mereka, ia memilih pemuda itu untuk ia puja. Betapa puluhan belaian, ratusan anggukan, ribuan senyuman, dan jutaan keringan tangan-an pemuda itu tidak pernah lepas dari mata Lyn. Siang malam Lyn memimpikannya, mendambakannya, membisikkan namanya. Hanya itu. Tidak ada tindakan lebih jauh. Hanya jendela kamarnya yang menjadi teropong terbaiknya. Busur cintanya. Paling – paling, tindakannya yang paling hebat adalah menunggui pemuda itu di teras depan rumahnya sendiri. Berpura – pura menyiram tanaman atau membaca, ia nikmati sepenuh hati senyuman lelaki itu sesekali kala kebetulan ia menoleh pada Lyn.
Demikianlah. Bagi Lyn, jendela kamarnya adalah jendela dunia, dan pemuda itu adalah dunianya. Diamata Lyn, pemuda itu adalah perwujudan manusia yang sempurna. Wajahnya tampan dengan kulit terang bersih, rambut tebal, ditengahi dengan pandangan mata dan senyum yang menghanyutkan. Merasa ada yang kurang, Lyn kemudian berusaha mengingat – ingat siapa namanya. Dan iapun tiba – tiba terhenyak sebelum kemudian tertawa. ORLANDO ! ya, bagaimana ia bisa lupa ! Namanya Orlando !
“Benar, Bunda ! Orlando ! Masa Bunda tidak tahu ? Bukannya ibu kenal dia?!” begitu tegasnya suatu kali, saat dilihatnya sang Bunda sedikit mengerutkan kening.
“Bunda, hari ini Lando pergi ke tempat kerjanya pakai baju biru laut yang aku suka itu. Cakep deh ! Eh, kenapa ya tiap sore dia pergi ke jalan Mangaan bawa bungkusan ? “ suatu kali ia pernah bertanya pada ibunya. Orang yang setidaknya mau mendengarkan segala puja pujinya untuk pemuda itu meski untuk 5 atau 10 menit saja.
Biasanya sang ibu hanya menatapnya dalam – dalam, tersenyum kecil.
“Iya sayangku. Dia sayang sekali sama ibu anak gelandangan yang tidur di emperan toko Cik Yan. Dia bawakan kue – kue, nasi plus lauk tiap sore” entah mengapa Lyn melihat kelelahan di mata ibunya saat berbicara, meski kemudian beliau tersenyum, “Apa sih yang sebenarnya ingin kamu ketahui tentang dia?”
Hening.
“Apa dia udah punya pacar ya Bunda ?” akhirnya ia berkata dengan wajah memerah.
“ Sepertinya belum, sayangku. Kan kau lihat sendiri ia tidak belum pernah terlihat mesra dengan perempuan ?!” perempuan setengah baya itu berkata sambil beranjak. Sebelum benar – benar meninggalkan putrinya, sempat terlihat kilauan yang sedikit menyilaukan dari mata Lyn.
Sesaat setelah ibunya berlalu, senyum perempuan muda itu menyurut. Ada rasa kesal dan ketidak mengertian yang besar dikarenakan ia merasa orang – orang di sekitanya kurang dapat memahami apa yang tengah bergejolak di hatinya. Seakan semua orang di rumah ini berteriak tatkala suatu hari nanti Lyn bisa mendampingi pemuda itu. Seakan seluruh dunia akan mampu melakukan hal – hal besar yang memungkinkan keduanya tidak dapat bersatu. Hmm, TIDAK DAPAT DIBIARKAN !!
Dan …. karena itulah kemudian Lyn tiba – tiba saja ingin menjadi salah seorang dari para wanita pejuang cinta yang pernah dikenalnya. Seperti Juliet, seperti Satine, seperti Rose, seperti Eng Tay, seperti Shinta, seperti Sayekti. Apapaun yang akan terjadi, siapapun yang kelak menghalangi, ia akan tetap maju ke depan ! Berusaha untuk tetap bertahan demi seorang Orlando !! Ya, aku harus berjuang !! begitu Lyn bertekad.
Dengan begitu, maka iapun tak goyah tatkala kakak perempuannya berujar sinis,
“Kamu mengharapkan laki – laki yang tak mungkin !”
“Tidak mungkin apanya ??! Segalanya serba mungkin ! Lagipula kan Orlando hanya sebatas beberapa langkah kita dari depan rumah !”
“HAH ?? ORLANDO ??”
“Iya ! Memang kenapa ? Namanya kan memang Orlando !”
“Mmmh !” sang kakak mencibir, “Coba lihat kiri kananmu di dinding kamar ini ! Hampir di tiap sudut kamar kamu pasang poster dan fotonya ! Dengar ya, bukankah kamu namai dia dengan nama Orlando, karena kamu demen setengah mati dengan Orlando Bloom, yang bintang film itu ??!!”
“BUKAN!! Kakak jangan mengada- ada ! Namanya memeng Orlando, dan aku tahu persis siapa dia !” Lyn membantah sengit.
Sang kakaku memandangnya dengan pandangan aneh. Entah benar entah tidak, Lyn menangkap sedikit pandangan jijik, iba dan tidak percaya, bahkan ia sampai berkaca- kaca. Jarang kakaknya bisa sampai berkaca – kaca.
“Kamu.. adalah sesuatu yang tidak mungkin ! Kamu terlalu sering mengurung diri di kamar ! Kamu perlu keluar, Lyn. Ikutlah aku jalan – jalan. Cobalah bergaul lagi, Lyn. Kamu banyak berubah !”
“Kakak yang mesti banyak bergaul ! Buktinya, nama tetangga depan rumah saja tidak tahu !”
Dan Lyn tahu, kakak perempuannya kali ini menyerah. Seperti biasanya. Seperti yang lain pula, akhirnya sang kaka beranjak berlalu meninggalkan Lyn. Lyn tahu ia membutuhkan jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di batinnya, tapi jelas bukan dari ibunya, kakak atau Min, pembantu rumah tangganya.
Kemudian, bersualah Lyn dengan Ibu Ros dan Ibu Yun di teras rumahnya pada suatu sore. Kawan – kawan ibunya, yang kebetulan juga tetangga mereka. Dua ibu – ibu yang akan mencibir bila orang lain melakukan hal baik maupun buruk. Tidak ada bedanya. Meskipun hal – hal itu belum tentu benar pada kenyataannya. Namun, nama Orlando tiada pernah tersebut oleh mereka. Padahal Lyn berani sumpah, tidak ada seorangpun di lingkungan kompleks perumahan itu yang luput dari bahan pembicaraaan mereka. Apalagi bila tetangga- tetangga yang mereka bicarakan itu adalah orang kaya, punya pengaruh, cantik, tampan, genit, punya istri banyak, punya suami banyak, punya rumah banyak, punya mobil banyak, puya anak banyak, punya anjing banyak ! BAH !!
Apa iya dia seorang Santo ? Dermawan mulian ? Lelaki sejati ?
Tidak mungkin.
Tempo hari pernah mereka bicarakan dengan nada dengki tentang pak Tio yang menyumbangkan tanahnya untuk dibuat panti asuhan. Atau kisah ibu Nar yang tiap selepas Subuh berkeliling menawarkan sarapan berupa kue dan nasi bungkus nikmat teruntuk tukang sampah, tukang beca atau gelandangan. Tapi bukan tentang Orlando.
Lalu apa sebaliknya-lah yang lelaki itu lakukan ? Apa dia suka main perempuan ? Suka berjudi ? Mafia ? Bandar narkoba ? Pembunih berdarah dingin ? Pemerkosa ? Banci ?
Lyn bergidik membayangkannya, namun kemudian dengan pasti mencoret nama Orlando dari daftar itu. Ia yakin Orlando bukan yang semacam itu, meski bisa saja ia menyembunyikannya dari publik. Kalaupun ada kecurigaan itu, Orlando pasti sudah menjadi sasaran empuk mereka.
“Nak, buka matamu lebar – lebar sayang. Masa sih, orang seperti dia bisa kamu puja – puja setinggi langit ?! Jangan bercanda, ah ! Coba deh, jalan – jalan, cari pemandangan lain. Mandra saja masih jauh lebih mending “ begitu kata Ibu Ros sambil terkikik.
“Masa depan suram kalau kamu jadi sama dia, Nak ! Jangankan ngajak nonton atau membelikanmu baju atau perhiasan ! Cuman jalan – jalan seputar kompleks ini aja susah ! Ha ha ha ha ha !!!” kedua ibu itu tertawa.
“Mau ibu kenalkan dengan ponakan ibu ? Meskipun duda, masih tetap lelaki normal dia !” ibu Yun menimpali.
Mendengar itu, meskipun terheran – heran dengan apa yang mereka katakana, ‘daya juang’ Lyn bangkit.
“Tidak, terima kasih ibu – ibu ! Saya hanya memilih pemuda itu !” begitu ujarnya sambil berlalu meninggalkan kedua ibu itu saling berpandangan. Lyn terrsenyum. Ah, paling –paling sekarang aku jadi sasaran gossip mereka ! Tak akan jauh lebih buruk dari itu, pikir Lyn.
Senyum Lyn masih mengembang tatkala perlahan ia memasuki rumah. Entah mengapa saat ini perasaanya justru makin berbunga – bunga. Rasa gembira yang aneh. Ingin ia bergegas masuk ke kamarnya untuk melihat sang pujaan hati pulang kerja, tatkala ia lihat ibunya duduk di sofa ruang tengah, tepekur membaca.
“Sore bunda !! Cerah sekali sore ini ya ? Masih belum kelar Mansfield Park-nya ?” sapanya riang.
Ibunya tersenyum. Lyn perlahan mendekat dan tiba – tiba sedikit terburu – buru menunduk berusaha mencium pipi ibunya. Sebuah gerakan dan agak mendadak, dan cukup dapat membuatnya oleng. Terdengar bunyi benda terjatuh. Ibunya terkejut. Sekonyong bangkit dengan satu tangan mencengkeram lengan putrinya, dan tangan lain berusaha dengan payah meraih benda yang terjatuh tadi.
Sebuah penyangga kaki.
“Duh, hati – hati dong sayang ! Kamu semangat sekali !” ujar sang ibu ketika penyangga kaki tadi sudah berada pada tempatnya. Sang ibu mengelus wajah putrinya. Kini teraba dan terlihat jelas bekas jahitan panjang dari pelipis hingga pipi ranum gadis itu.
Lyn tersenyum lebar, sebelum kemudian membalikkan badan dan perlahan menuju kamar, membuka pintunya dan berbalik kembali untuk menutup pintu. Sebelum pintu kamarnya benar – benar menutup, sempat satu kerlingan ia arahkan ke sang ibu yang masih berdiri menyaksikannya memasuki kamar. Sempat dilihatnya ekspresi aneh dari ibunya saat itu.

***
Bunda kini tengah menatap pintu yang tertutup.
Perasaan seperti baru tersambar petir baru saja ia rasakan. Nafasnya tiba – tiba menjadi sesak. Beliau terduduk. Di tengah sengalnya, didengarnya pintu depan diketuk. Didengarnya suara dua wanita yang dikenalnya. Ros dan Yun.
Ia menghela nafas. Dua wanita itu sering sekali memperlakukannya seperti ‘tong sampah’. Ia tahu, Lyn berfikir ia dekat dengan keduanya. Hmmh, hanya masalah sopan santun dan etika saja. Setengah berbisik ia memanggil pembantu rumah tangganya yang kebetulan tengah berada di meja makan yang berada bersebelahan dengan ruang tengah. Ia tengah menyiapkan sajian teh jahe hangat kesukaan keluarga tempat ia bekerja.
“Sstt, Min !” dilihatnya sang majikan melambai. Dengan langkah sedikit tergesa Min mendekat.
“Bilang ke mereka, aku sedang ke supermarket beli keperluan bulanan atau kemana gitu, ya..” Min mengangguk dan segara melaksanakan perintah majikannya.
Bunda menghela nafas panjang, merasakan nafasnya yang sudah mulai normal kembali. Ia memejamkan mata. Dapat didengarnya percakapan singkat Min dengan kedua ibu itu. Pikiran Bunda menerawang diwaktu – waktu yang seakan telah berabad lalu ia tinggalkan, seperti sebuah mimpi buruk layaknya.
Kecelakaan itu.
Sebelum kecelakaan itu terjadi, Lyn adalah gadis dengan kecantikan fisik yang kata orang nyaris sempurna. Daya tarik-nya pun luar biasa. Ia menjadi pujaan hampir semua lelaki di sekolah maupun di lingkungan sekitarnya. Dan bahkan banyak diantara mereka yang tiada juga beranjak, tatkala mereka menemui kenyataan bahwa hati Lyn, tidaklah secantik wajahnya. Rupanya kemolekan jasmani dapat sedemikian membius.
Bunda menghela nafas kembali. Anak gadisnya itu memang dulu tinggi hati, sinis pada yang tak berpunya, suka menghamburkan uang, bersenang – senang. Ekonomi keluarga mereka yang berkecukupan, terlebih sebelum ayah Lyn bercerai dengan Bunda, juga menjadi pemicu terbesar. Itu belum termasuk wajahnya yang cantik dan pintar. Bunda merasa ada yang salah dari cara ia mendidik anak gadisnya itu, Rasanya, apapun akan Bunda lakukan untuk dapat merubahnya.
Kamdian terjadilah peristiwa itu. Sebuah kecelakaan yang meminta sebelah kaki Lyn untu diamputasi, ditambah denga luka menganga di bagian pelipis hingga pipinya yang menghadiahinya bekas jahitan panjang yang mungkin tidak akan pernah hilang bekasnya. Belum lagi kemudian diketahui bahwa kondisi kejiwaan Lyn-pun agak terganggu. Pernah sekurang – kurangnya, tiga kali seminggu Bunda harus mengantar Lyn ke dokter maupun ke psikiater. Ah, segalanya memang tidak perlu dirubah, hanya perlu diperbaiki. Begitu Bunda bertekad. Anak gadisnya masih tetap cantik, dan juga tidak gila. Hanya kepribadiannya yang lama, seakan telah terkubur dalam. Mungkin ini pertanda baik. Mungkin hanya diperlukan usaha yang lebih keras lagi, pikir Bunda.
Dan saat itulah Bunda teringat akan pemuda itu.
Bunda menutup matanya rapat.
Lyn memuja anak muda itu.
Oh ya, tentu saja Bunda tahu siapa dia.
Terbayang di pelupuk mata Bunda, wajah pemuda itu. Tubuhnya mungil, kurus dan hitam. Rambutnya kasar dan jarang. Barisan atas dari gigi kuningnya agak menonjol ke depan, sehingga terkadang menyulitkannya untuk berbicara dengan jelas. Mata terlalu besar untuk ukuran wajahnya yang mungil. Ia berjalan pincang, karena satu kakiknya lebih kecil dari kaki yang lain. Ia adalah putra dari suami istri pengurus rumah tangga dari keluarga Singgih yang tinggal di depan rumah mereka. Keluarga miskin yang bersahaja dan setia. Sepadan dengan keluarga Singgih yang baik hati, pada siapa mereka bekerja. Sebelum bekerja pada keluarga Singgih, sempat si anak mereka ajak tinggal pada kelurga dimana mereka bekerja. Namun ternyata keluarga itu merasa jijik padanya, sehingga anak muda itu mereka titipkan di kampung. Beberapa tahun lalu pemuda itu tinggal bersama sang nenek di kampung. Setelah sang nenek wafat, ia tinggal dengan keluarga pamannya. Putus sekolah, dan menjadi bahan olok- olok dari orang – orang di sekitanya. Suatu kali sang paman mengabarkan ke kota, bahwa ia tidak lagi mampu hidup dengan anak muda itu, karena tak kuat menaggung malu. Belum lagi mereka menilai, usaha jahitan mereka menyepi juga dikarenakan adanya pemuda itu. Orang – orang yang bertandang untuk mengirimkan bahan jahitan merasa malas dan jijik melihat pemuda itu sering mengorek koreng.
Mendengar itu, keluarga Singgih mengundang anak itu untuk datang berkunjung, dan meimintanya untuk tinggal bersama orang tuanya. Ia diberi pekerjaan di peternakan milik Pak Singgih. Tiap pagi hingga menjelang Maghrib ia bekerja di sana. Bunda tahu betul hatinya seputih salju, dan juga rajin. Seakan bila ia mampu memindahkan gunung, maka akan ia lakukan untuk dapat membantu orang lain, tampa pamrih. Lagipula ia juga bukan anak yang bodoh. Sesuatu yang sangat sulit untuk dapat terlihat dengan jelas.
Namanya ? Ya, tentu saja Bunda ingat. Namanya SULAT. Sebuah nama yang aneh. Mungkin memang sebaiknya ia gunakan saja nama Orlando pemberian Lyn, atau dihadiahi nama – nama indah yang lain, mengingat betapa indah pribadinya. Namun ternyata, hanya segelintir orang saja yang mampu melihat keindahan sejati itu dengan jelas, dan salah satunya adalah putrinya sendiri, Lyn.

***
Bola mata Lyn bersinar tatkala pandangannya tertuju pada sosok di balik jendela kamarnya. Beberapa langkah di depan rumahnya. Terseok – seok menuju pintu pagar rumah di depan rumah Lyn. Kulitnya hitamnya melegam terpanggang sinar matahari. Agak bersisik bersimbah keringat. Kala itu seseorang melewati depan rumahnya, dan berusaha ia sapa dengan ramah. Sepertinya ia kini sedang tersenyum lebar, karena barisan gigi kuningnya tampak jelas.Rambut kasarnya yang tampak lebih kusut, kali ini dihiasi beberapa batang jerami. Bukan pemandangan indah bagi sebagian orang. Mungkin yang ada hanya rasa jijik atau iba.
Tapi ada sinir pesona yang mengubah pemandangan di seberang jalan itu, dan jatuh ke bola mata indah milik Lyn. Lalu coba kita berkaca pada bola mata itu, dan menatap metamorfosa mengejutkan di dalamnya. Betapa sosok di seberang jalan itu kini tampak begitu mempesona, begitu cantik. Begitu cemerlang dalam sosok lelaki yang luar biasa tampan bersinar. Tubuhnya jangkung dengan rambut yang indah, hidung mancung dan sinar mata ramah yang bahkan terlihat ikut menebar senyum. Kita tidak akan mampu menandingi pesonanya. Kita akan tertangkap arusnya.
Ah, andai saja engkau bisa melihatnya !
Tapi kau tak bisa melihat itu dari wajahnya.
Tapi ada yang bisa engkau lihat.
Lihatlah Lyn yang baru saja menangkap sosok malaikat di matanya.
Dari sini engkau bisa melihat : gadis manis kita, kini sedang jatuh cinta.


***********





Rabu, April 23, 2008

When A Man Loves A Woman

Apa sih yang kita tahu soal cinta ?
Mungkin kamu tahu banyak, dan gue enggak.
Mungkin juga kita lebih banyak merasakan daripada mengetahui.
Meng-artikan dengan jelas cinta itu apa dan yang mana juga kita masih sering agak kebingungan
Ada teman yang memandang, cinta sama saja dengan asmara. Baginya, cinta sedikit lebih ‘kotor’ karena dipengaruhi oleh nafsu. Kedudukan yang lebih tinggi darinya ditempati oleh Kasih.
Sementara gue sendiri menilai cinta itu segalanya.
Didalam cinta itu lah ada kasih, sayang, kemuliaan, keindahan, asmara, keceriaan, menerima, memberi, suci, dsb.
Dari panggung cinta asmara, banyak cerita – cerita yang setiap saat dapat kita dengar, baca dan lihat.
Dari pengalaman kita dan kawan, dari cerita di buku, lagu, televisi dan film.
Entah karena gue ini kurang gaul atau apa, gue selalu berpikiran bahwa sosok – sosok ‘Romeo’ dalam film adalah sosok murni rekaan (terutama pada jaman kini), meskipun gue tahu, karakter dalam film merupakan hasil pengamatan dari karakter sosok manusia yang sebenarnya ada.
Katanya, sekarang ini perempuan lebih banyak jumlahnya daripada laki – laki. Dan karena gue perempuan dan semuanya gue lihat dari sudut pandang perempuan, gue tidak terlalu percaya pada romantisme harlequin milik laki - laki.
Bagi gue, ketulusan tidak akan pernah ada pada bunga dan cokelat.
Beberapa sahabat dan saudara perempuan pernah bertekuk lutut pada bunga dan coklat, dan akhirnya kecewa. Beberapa dengan cara yang masih bisa diterima, beberapa yang lain dengan cara keji. Contohnya : mereka ternyat hanya menjadi bahan taruhan.
Saat ini, katanya strategi lelaki sudah berubah. Sekarang ini jamannya segala hal yang real dan masuk akal. Mereka tidak lagi umbar janji yang muluk. Sebagai gantinya, mereka berusaha untuk tampil apa adanya dan bahkan seolah tidak perduli, playing hard to get. Perempuan-pun mulai gemas dan tergoda, tanpa menyadari itu hanya taktik belakadc. Cuma beda strategi saja. Ujung – ujungnya sama.

Berada diluar garis memuja dan dipuja, mencinta dan dicinta, gue malah jadi tahu, Romeo sesungguhnya memang ada.
Dia ada dalam diri orang – orang yang bisa gue sebut dan anggap saudara, sahabat dan teman.
Dan gue takjub.
Dalam kapasitas mereka masing – masing, rasanya mereka bisa saja berpindah hati kapan saja dan kepada siapa saja yang mereka mau. Dan menurut gue, mereka sebenarnya punya ‘modal’ yang cukup untuk itu. Satu hal yang lucunya sering tidak mereka sadari.
Yang jelas terlihat adalah, paling tidak dalam kurun waktu tertentu yang cukup panjang ( beberapa diantaranya hingga saat ini ), Romeo dalam diri mereka masih tertaut pada Juliet yang sama.

Bunga dan coklat adalah hal yang mengada - ada ?
Ternyata gue salah .
Mungkin gue mesti merubah pendapat bahwa keduanya hanya merupakan sarana, yang tujuannya tidak selalu sama buruknya.
Pemuda yang bisa dibilang sangat dekat dengan gue ini, bukan hanya akan menghujani perempuan pujaannya dengan bunga dan coklat. Dia akan bersedia melakukan apa saja untuk perempuannya. Sebut apa saja. Hal – hal yang tadinya kamu pikir cuma ada di novel – novel roman picisan, dan ia melakukannya dengan tulus.
Gue cuma ternganga mendengarnya.
Komen gue cuma singkat “lo idup di taon berapa sih ?” . Dan dia cuma meringis, tidak perduli.
Gue rasa, jika kemudian ia dikecewakan, toh ia tidak akan berubah. Dia akan melakukan hal yang sama untuk perempuan yang selanjutnya.

Ada juga Romeo yang tetap memilih perempuan yang sama, bahkan setelah si perempuan sempat main api dengan orang lain yang secara umum terlihat kualitasnya jauh dibawah Romeo gue ini. Orang tua dari laki – laki ini, yang mengetahui tingkah si perempuan, mulai tidak respek. Tetapi bisa ditebak, Romeo ini tetap kekeuh. Bukan tidak berarti ia tidak mencoba berpaling dan bukan berarti tidak ada perempuan yang mencoba menggoda dan mendekatinya.
Tetapi siapa yang bisa melawan kukuhnya hati seorang Romeo.
Begitu si perempuan kembali kepadanya, dengan proses yang cukup panjang dan berhati – hati mereka kembali mendapatkan kepercayaan dari kedua orang tua dari si lelaki.
Dan sekarang mereka berencana menikah.

Romeo berikutnya, adalah sosok yang bisa dibilang tahan banting dan tahan malu. Ia terus menerus mengejar orang yang sama bahkan setelah beberapa kali ditolak.
‘The more you ignore me, the closer I get”.

Lalu tiba – tiba muncul Romeo pecinta yang lain. Sahabatku ini adalah pemuda ber-etnis Tionghoa, yang beragama kristiani. Dengan segala kesadaran ia menjatuhkan pilihan kepada seorang perempuan ber-etnis Arab dan berjilbab. Baginya masa depan untuk mereka berdua masih fatamorgana. Dalam usianya yang muda ia tidak dulu mau berpikir ke arah sana, dan ketakutan akan kehilangan masih terlihat waktu ia bercerita soal itu ke gue.
Tetapi jika suatu saat nasib menuntun mereka kesana, apa iya mereka mesti di pisahkan ?

Apa kamu juga pernah menemui laki – laki yang rela dimaki, rela tidak diperdulikan, dan ia masih tetap memilih orang yang sama ? Gue kenal baik lelaki seperti itu. Sebelum dengan perempuannya, ia sempat putus sambung dengan beberapa perempuan, hingga ia bertemu dengan Juliet-nya ini. Tidak banyak yang ia ingin perempuannya lakukan. Hanya memberi kabar sesekali sehingga tidak hilang kontak, dan yang diterimanya adalah makian dan hujatan. Bahkan saat sang Juliet memuntuskan agar mereka ‘break’ untuk memberi ruang bagi masing – masing mereka, sang Romeo tetap intens menghubungi dan menghujaninya dengan kata – kata rindu.
Karena satu hal.
He’s still not over her.
Dan gue ga tahu sampai kapan.

Ada dua orang lelaki yang gue kenal mirip seperti itu. Yang seorang lagi sekarang bahkan sudah berbahagia hidup dengan perempuannya (or not?). Saat pacaran, gue lebih sering geleng – geleng kepala. Juliet pujaannya ini seolah memiliki kepribadian ganda. Dari detik pertama yang begitu terbakar bara, meledak – ledak membanting apa saja, dapat berubah menghiba pada beberapa detik berikutnya.

Sementara itu di tempat yang lain, gue mengenal karib seorang yang sampai saat terakhir gue kontak dengannya, hatinya masih tertaut pada seorang perempuan yang dikenalnya dulu.
Kekasih lamanya.
Saat ini ia itu sudah menikah dan tetap mengakui masih sangat mencintai perempuannya yang dulu, dan bukan istrinya.

Gue ga tahu apakah sebenarnya alasan – alasan inilah yang membuat banyak lelaki berselingkuh atau menemui kehidupan yang tidak bahagia bersama pasangan mereka masing - masing. Yang jelas kedua hal itulah yang banyak gue tahu tentang laki – laki. Selingkuh dan tidak berbahagia dengan pasangannya saat ini.

Apa ada cerita lain lagi dari kamu ?

Yang jelas, ternyata diantara riuhnya perempuan di dunia saat ini, ternyata tempat mereka yang tinggi belum juga mampu tergantikan.
Dan ini juga menyadarkan gue akan satu hal : laki – laki seperti mereka ternyata ada !

Kamis, April 17, 2008

Apakah 'normal' itu ?

Juno
Directed By : Jason Reitman
Cast : Ellen Page, Michael Cera, Jennifer Garner, Jason Bateman, Allison Janney, JK Simmons
Image and video hosting by TinyPic
Plot :
Sixteen year-old Juno MacGuff is the type of girl that beats to her own drummer, and doesn't really care what others may think of her. She learns that she's pregnant from a one-time sexual encounter with her best friend, Paulie Bleeker. Juno and Paulie like each other, but don't consider themselves to be exclusive boyfriend/girlfriend let alone be ready to be a family complete with child.
The next step is to find prospective parents for the yet unborn child. In the Pennysaver ad section, Juno finds Mark and Vanessa Loring, a yuppie couple living in the suburbs. Juno likes the Lorings, and in some respects has found who looks to be a kindred spirit in Mark, with whom she shares a love of grunge music and horror films. Vanessa is a little more uptight and is the one in the relationship seemingly most eager to have a baby. On her own choosing, Juno enters into a closed rather than open adoption

My Note :

Ellen Page memang pantas menjadi perempuan muda yang smart dan easy going seperti Juno. Melihat ceplas ceplos smart-nya, gue mau ga mau keinget sama temen gue yang beda umur lumayan jauh sama gue. Dia jauh lebih muda. Anak band, tomboy serta perokok dan addict pada kopi. Selera musiknya-pun lawas, sama dengan Juno. Bersamanya, gue merasa nyaman, meskipun jadi merasa gue ini yang lebih muda dari dia. Denger dia bicara, selain enak, nyambung, juga banyak manfaatnya. Paling tidak gue jadi tambah wawasan, dan kita jadi bisa saling tukar pikiran.
For awhile, gue merasa lega tidak perlu berbicara dan mendengar orang bicara yang baik – baik soal diri mereka sendiri, soal merk bedak, model baju, gossip dan pekerjaan. Somethin’ else. Dia selalu punya hal lain untuk dibicarakan.
Gue jadi sadar betapa mencari kawan perempuan seperti dia seperti mencari jarum dalam jerami. Bahkan gue saja yakin kalau gue ini tidak seperti dia, karena gue masih suka make up, mencari model baju terbaru, gengsi dan kepingin tahu gimana caranya cari uang sebanyak – banyaknya !
Meskipun tidak bisa dibilang hilang kontak, gue udah ga tau lagi dia ada dimana dan bagaimana kabarnya.
Cuma kangen aja sama dia.
Dan melihat Juno, gue seperti melihat dia. Image and video hosting by TinyPic

Gue pengen banget seberani Juno dalam bertindak dan berani bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukannya.
Andai kata kala gue remaja gue bisa dengan ringan menjawab ke bokap tatkala beliau tanya ke gue kemana aja gue seharian dengan kalimat yang Juno ucapkan pada ayahnya saat ia dengan perut yang sudah membuncit pergi seharian selepas pulang sekolah : ‘Just out dealing with things way beyond my maturity level’ dengan nada tetap respek. Hanya berusaha untuk jujur pada orang tua namun dengan memberikan batasan privasi seolah memberi tanda bahwa ‘ini adalah urusan saya, biar saya yang handle, kalian tidak perlu khawatir karena saya tidak melakukan hal aneh – aneh dan saya akan bertanggung jawab atasnya’

Kagum atas Juno, membuat gue berpikir soal segala hal yang sifatnya normal. What is normal anyway ? Lahir, hidup, (harus) menikah dan (harus) punya anak. Semuanya dengan cara yang normal. (harus)ber pendidikan tinggi, (harus) bekerja di kantor, (harus) menemui pasangan hidup seiman / sesuku / seperguruan, bibit, bobot, bebet dan bertemu dengan cara yang normal (atau mungkin dijodohkan).

Dalam ‘Juno’, pasangan Vanessa & Mark Loring lah yang tampaknya normal dan baik – baik saja, namun ternyata mereka justru bermasalah, hingga Juno sempat melontarkan kalimat : I’m just losing my faith with humanity.
Banyak orang di sekitar kita tampak normal, namun mereka ternyata bermasalah.
Jika kemudian yang dianggap ‘tidak normal’ digunjingkan, dicibir, dijauhi, harus kita apakan orang – orang normal yang bermasalah ini ?
Dikasihani, mungkin ?!

Juno :
… and I know people are supposed to fall in love before they reproduce, but I guess normalcy isn’t really our style

So, bagi kita yang masih normal / merasa normal, pernahkan kamu paling tidak sekali saja berfikir, membayangkan, bertutur atau bertindak yang tidak normal ?

Kalau gue, pernah.
Atau malah sering ya ?
Jangan – jangan gue juga ga normal !

Rabu, April 16, 2008

In The Name Of The Children

Gue di kantor, pagi, tergopoh2 menuju lift
Teman : Hi dik ! Pagi, santai amat nih bajunya..
Gue : Hi mbak ! Iya, kalo mesti pake seragam dari rumah, bisa bau harum segala rupa! Bau knalpot, bau rokok, bau ketek he he he ( dan jawaban ini sudah kesekian kalinya gue lontarkan ke teman – teman yang mengomentari soal baju casual yang gue pake setiap berangkat kantor)
Image and video hosting by TinyPic
Kita berdua masuk ke dalam lift.

Teman : Belum isi juga ?
Gue : Belum (gue selalu tegang kalo ditanya soal ini)
Teman : Kenapa ? Emang rencana ditunda ?
Gue : (heeere we go ! gue malas menjawab pertanyaan semacam ini, entah itu basa basi maupun tidak) Enggaaak. Biasa aja kok mba. Umur juga udah segini, mau ditahan apanya (tertawa garing)
Teman : Udah usaha ke dokter ?
Gue : Nggak mbak. Usaha sendiri sih teruus, tetapi memang kita belum periksa ke dokter.
Teman : (mengangguk – angguk ) Memang sudah berapa lama kamu menikah ?
Gue : Engg… kurang lebih dua tahun
Teman : (dengan nada meninggi) Ohhh, nyantai aja, dik ! Aku saja sudah lima tahun menikah, dan belum juga dikasih. Aku malah sudah ke dokter, dan kami berdua sehat – sehat saja, udah usaha yang lain juga malah. Tapi memang belum dikasih. Padahal sudah pingiin sekali. Kamu masih dua tahun, nyantai saja ( lift sampai di lantai yang ia tuju ). Yuk, dik.
Dan gue bernafas lega….
Image and video hosting by TinyPic
Gue dan berita di TV
Melihat bayi2 yang dibuang di dalam kardus dan membiru

Gue di angkot.
Gue lihat supir angkot ngobrol seru dengan dua orang kawannya yang bersempit2 menduduki bangku di samping supir.
Tiba – tiba mereka terdiam, dan kesunyian dipecah oleh orang yang duduk paling pinggir. Matanya menerawang keluar jendela angkot sementara tangan dengan jari telunjuk dan tengah mencengkeram sebatang rokok, ia tumpangkan di pinggir jendela.
Teman Supir : Ck ! Bini gue lahiran lagi !
Kedua kawannya tertawa.
Supir : Ha ha ha ha … makanya diplester ! Punya lo yang diplester !
Teman Supir : (bergumam kurang jelas)
Supir : Elo sih ! Mentang2 enak, lo tancep terus, jebol dah ! Ha ha ha ha !
(Lalu dengan tanpa beban ia melanjutkan ) Elo tahu anak gue yang kedua kan ? Nah, anak peyesalan noh ! Gue pikir aman, tau – tau bini gue gendut lage. Gue tanya ke die “Gimane nih ? Kok jadi lage ?” eh dia jawab “Iye bang…lupa” (mungkin yang dimaksud istri si supir ini adalah si istri lupa pasang spiral, minum pil KB atau lupa jadwal mens-nya). Akhirnya lahir dah nyang ntu, anak kedua gue !
Image and video hosting by TinyPic
In the name of all children in the world..
Tiba – tiba gue terharu biru….

Selasa, April 15, 2008

Akibat Asa Yang Putus

The Mist
Directed By : Frank Darabont
Cast : Thomas Jane, Marcia Gay Hayden, Nathan Gamble, Laurie Holden
Image and video hosting by TinyPic
Plot :
After a violent storm attacks a town in Maine, an approaching cloud of mist appears the next morning. As the mist quickly envelops the area, a group of people get trapped in a local grocery store -among them, artist David Drayton and his five-year-old son. The people soon discover that within the mist lives numerous species of horrific, unworldly creatures that entered through an inter-dimensional rift, which may or may not have been caused by a nearby military base. As the world around them manifests into a literal hell-on-earth, the horrified citizens try desperately to survive this apocalyptic disaster. Written by thedictator@sbcglobal.net

My Note :

Gue tertarik film ini karena 2 hal : Stephen King dan Frank Darabont.
Cerita2 horror-nya Stephen King benar2 luar biasa, seolah mimpi buruk yang menjadi nyata. Efeknya jauh melebihi Nightmare On Elm Street yang terkesan dibuat2. Tiap episode serial Nightmare & Dreamscapes (salah satu serial yang diambil dari kumpulan cerpen-nya King) gue nikmati banget, sambil mengangguk2 tentu, karena khayalan gue tentang hal2 buruk ternyata terwakili oleh cerita2 King. Luar biasanya, King adalah penulis cerita drama yang luar biasa. Kalo lo pernah nonton Green Mile dan Shawshank Redemption, lo akan tahu maksud gue. Nah, kedua film cantik itu disutradarai oleh Frank Darabont. Ga salah dong kalo gue tertarik nonton The Mist ?!
Sewaktu gue puter film ini, mau ga mau gue banyak berharap. Excitement yang gue dapat di awal penayangan, sempat drop tatkala gue melihat monster tentakel muncul. Blah ! ‘Dream Catcher’ kind of movie ! Satu – satunya film King yang gue benci adalah Dream Catcher. Suami gue menyarankan untuk sabar nonton, karena dia yakin banget bakalan ada sesuatu yang lain. Jika toh The Mist = monster tentakel yang basi, maka biasanya King akan menyorot karakter2 yang ada di dalamnya, hubungannya dengan karakter lain, dan bagaimana dalam situasi seperti itu manusia2 memunculkan watak aslinya. Well, ternyata dia benar. Ada drama disitu, yang membuat kita belajar banyak. Plus bonus kejutan bahwa film ini tidak cuma menghadiahi monster tentakel, tetapi suatu misteri yang lain.
Image and video hosting by TinyPic
Yang paling cantik dari film ini adalah endingnya. Jika kemudian ada comment bahwa film ini mempunyai : one of the most shocking movie endings ever, gue setuju banget.
Gue jamin lo akan gemas dengan ending-nya.
Ada pelajaran yang bisa gue petik darinya, bahwa betapa dalam kondisi seberat apapun, jangan sampai kita sekalipun atau sedetikpun berputus asa, yang kemudian melahirkan kata – kata atau tindakan gegabah yang akan kita sesali seumur hidup.
Lo akan tahu maksud gue kalo lo nonton film ini.
Yaah, untuk seru2an, suguhan adegan yang memicu adrenalin juga ga kurang banyak kok. So, film ini komplit banget !
Pada covernya juga terdapat komentar heboh bahwa film ini adalah film yang ga bisa gitu aja lo lupain. Stay with you for along time. Gw sempat berpikiran negative dan mencibir sedikit, bahwa kemungkinan komentar itu ditujukan untuk menggambarkan betapa seramnya film ini, tentunya plus dengan kesan hiperbolis.
Namun ternyata gue salah.
Film ini memang tidak terlupakan.

'Rob, I Saw It ! It's Alive!!'

Cloverfield
Directed By : Matt Reeves
Cast : Michael Stahl-Davis, TJ. Miller, Jessica Lucas, Odette Yustman, Lizzy Caplan, Mike Vogel
Image and video hosting by TinyPic
Plot :
Cloverfield follows five New Yorkers from the perspective of hand held video camera. The movie is exactly the length of a DV Tape and a sub-plot is established by showing bits and pieces of video previously recorded on the tape that is being recorded over. The movie starts as a monster of unknown origin destroys a building. As they go to investigate, parts of the building and the head of the Statue of Liberty come raining down. The movie follows their adventure trying to escape and save a friend, a love interest of the main character. Written by Pip Carlson

My Note :

Sebelum gue mulai, gue kutip kata – kata karakter Rob Hawkins ( saat itu ia berbicara di depan handycam-nya ) dalam film ini :
“My name is Robert Hawkins. It’s 6:42 am on Saturday, May 23. Approximately 7 hours ago, something attacked the city. I don’t know what it is! If you found this tape … I mean .. if you’re watching this right now, then you probably know more than I do…”

Ingatan gue langsung terbang ke komentar sepupu gue tatkala kita sama – sama meraba, seperti apakah film yang katanya sepenuhnya diambil dari kamera genggam melalui karakter – karakter di dalamnya. Gue cuma kepikiran Blair Witch Project aja, sementara ia curiga jangan-jangan film ini mirip film berjudul : Monster. Film bikinan Eric Forsberg & Erik Estenberg yang berlokasi di Jepang. Gue cari film itu di internet, dan memang benar ada. Dijelaskan di imdb bahwa Monster bercerita mengenai suatu gempa dasyat misterius dan memakan banyak korban nyawa dan material namun tiada yang tahu apa sebabnya, hingga jawaban yang mengejutkan muncul tatkala ada yang menemukan handycam milik 2 orang film maker Amerika yang kebetulan merekam kejadian misterius tersebut ( ada yang bilang film ini buruk, apalagi jika dibandingkan dengan Cloverfield. Gue ga akan komentar banyak soal film ini, karena gue belum nonton).
Dari sini gue menemui benang merah. Mengingat dalam film Monster, orang yang menemukan film dalam handy-cam sama tidak tahunya dengan karakter Rob Hawkins yang mengalami kejadiannya langsung dalam Cloverfield, bisa jadi Rob Hawkins sama tidak mengertinya dengan orang yang akan menemukan handycam-nya kelak. Sama – sama cengo-nya dan mempertanyakan kenapa dan darimana datangnya monster yang tiba – tiba menyerang kota, meluluh lantakkan semua, membunuh orang – orang tercinta. Kalau mau tahu jawabannya, hmmm… mungkin saja ada di film.. ..The Mist ! Yeah !
Right ! Tiba – tiba saja gue menemukan keterkaitan dari ketiga film itu ! Dan lo mesti nonton ketiganya untuk bisa mengerti maksud gue ! he he he just a thought.
Image and video hosting by TinyPic
Anywaaaay…bagi gue Cloverfield : bagus. Emosi yang kebawa dari gue real banget, acting para pemainnya juga alami. Ga ada yang luar biasa, tapi juga ga ada yang seperti dibuat – buat. Real. Gue kayanya bisa aja berkali – kali nonton film ini, dan kembali merasakan ketegangannya. Orang yang biasa – biasa aja, menjadi saksi kejadian maha penting. Rupanya konsep handycam ini manjur, mengingat sebenarnya cerita film ini biasa saja, dan sudah banyak tema serupa yang diangkat ke layar lebar. Cara penuturannya membuat gue mau ga mau membayangkan bagaimana jika hal tersebut gue alami dalam kehidupan gue. Kota dimana tempat kita tinggal, yang semula luput dari perhatian, dimana kita ‘misuh-misuh’ tiap saat tiba – tiba musnah, dan sekonyong – konyong kita merasa kehilangan dan amat sangat merindukannya. Belum lagi soal kawan, keluarga dan orang – orang tersayang yang tinggal di kota yang sama. Ngeri membayangkannya. Ketidak jelasan jawaban dari musibah yang menimpa dalam film ini bisa saja memperingan tugas film maker-nya, namun bagi gue justru lebih riil. Gw Cuma ngeri kalo ada Cloverfield 2, atau semacamnya yang seolah merupakan lanjutan dan pencarian jawaban yang pada akhirnya cuma jadi film horror slasher murahan.
Tambahan : gue belum berhasil membujuk suami gue untuk nonton film ini. Ntar gue bujuk lagi. He he he…

Senin, April 14, 2008

How Do I Love Casey Affleck

Terus terang gue baru ‘melirik’ dia selepas gue nonton The Assassination of Jesse James (by the coward Robert Ford). Tidak dalam artian suka Artinya, karakter Robert Ford masuk banget, dan gue kebawa. Seolah Casey adalah Robert.
Image and video hosting by TinyPic
Intinya Robert Ford bikin gue ilfil sama dia, meskipun anehnya Brad Pitt yang juga main disitu bahkan ga pernah sedikitpun gue reken. Yang penting gue ilfil. Bukan bintang yang pantas di idolakan. Toh dia juga kurang ganteng ( well, jangan pernah membandingkannya dengan sang kakak yang punya wajah nyaris sempurna. Ketauan sih kalo mereka sodaraan. Tampang mirip, apalagi suara dan gaya bicara. Bisa dibilang dia ini versi kurang menarik dari Ben ) apalagi seksi ( hmmm mau ga mau gue jadi membayangkan Johnny Depp, dan membandingkannya dengan dia. Jauh. ). Tapi anehnya namanya mulai tercatat di hati gue diam – diam dalam denial dikarenakan ketidak sempurnaannya. Dengan tidak adil gue juga ga berusaha keras untuk negingat gue ini pernah nonton film-nya yang mana saja, atau mencari di internet apakah ada film – film yang gue tonton pernah ada dia tapi tidak gue perhatikan, atau hunting film – filmnya untuk pembanding. That’s it. Gue ga akan pernah sadar kalau gue mulai memperhatikannya, sampai saat gue mulai nonton Gone Baby Gone ( dimana gue beli film itu karena di-sutradarai oleh Ben, dan ketika ingat Ben sebagai orang dibelakang layar, mau ga mau gue jadi kebayang Good Will Hunting). Tiba – tiba saja gue teringat betapa ia ‘dengan mudah berganti wajah tanpa harus bertopeng’. Gue jadi ingat karakter konyolnya dalam Ocean’s Eleven and it’s sequels, pecundangnya dia dalam Jesse James, dan tiba – tiba menjadi begitu tuff dan berprinsip dalam Gone Baby Gone. Dengan wajah tanpa tambahan polesan, ternyata semua karakter yang dimainkannya masuk di gue. Begitu mengulik internet, gue jadi ingat dia dan tampang culunnya juga muncul di film favorit gue Good Will Hunting, dan jadi penasaran pengen nonton actingya di Drowning Mona, dimana dia berambut straight dan blonde di situ. Ga pantes banget. Gue juga baru tau dia ada di American Pie ( ngapain dia main disini ?!)
Lalu tiba – tiba gue inget kalo gue mulai tertarik sama dia ketika gue ngeliat still photo untuk film Gone Baby Gone yang menunjukkannya ke suami, jauh sebelum gue nonton Jesse James. Pantas saja.
Sekarang gue pengen hunting film – filmnya, dan nonton tanpa ekspektasi apapun. Dan tanpa ekspektasi gue yakin akan menemui hal baru darinya.
Saat itulah gue sadar, gue mulai jatuh cinta sama actor yang satu ini.
Kenapa gue jatuh cinta sama dia ? Well…. imperfection, I think.
Dalam ketidak sempurnaannya, dia mempunyai pesona yang luar biasa.
And you know what ? Rupanya dia seksi juga ! :p

Image and video hosting by TinyPic

Kamis, April 10, 2008

Sebuah Cerita Cinta

“Ma!” wajah belia yang cantik itu memalingkan wajahnya dari layar laptop, menatap wajah matang yang serupa dengannya. Saat itu mereka tengah berada di dalam sebuah cozy resto. Yang dipanggil mengangkat wajah dari novel yang dibacanya.
“Soal quote ‘Love Can Sometimes Be Magic. But Magic Can Sometimes..Just Be An Illusion’. Menurut mama, Javan hanya patah hati atau belum pernah merasakan jatuh cinta ?”
“Yah, Mama rasa dia hanya mengungkap satu dari banyak kemungkinan. Supaya kita aware. Pernah dengar istilah cinta buta kan ?!”
Si belia mengangkat alisnya.
“It is remarkable how similar the pattern of love is, to the pattern of insanity!”
Kata si belia mengutip quote dari The Matrix. Keduanya tertawa.
“Kebanyakan nonton film, kamu!” ibunya menimpali sebelum kembali membaca.
“Trus, gimana dengan yang Grayson bilang : Looking Back, I Have This To Regret, That Too Often When I Loved, I Did Not Say So ? Kebanyakan ngelaba ? Atau takut ditolak karena kondisi fisik ‘kurang’ ?” Gadis itu tertawa sebelum melanjutkan,” Tapi apa iya penyesalan akan datang jika kita tidak berani atau tidak sempat menyatakan cinta pada seseorang yang kita sayangi ? Apa kisahnya selalu sama ? Klasik ? Cliché ?”
Ibunya berhenti membaca. Memandang wajah si belia.
“Mungkin hasil akhir bisa sama dengan berbagai kemungkinan yang orang kenal. Happily ever after atau sad ending. Toh kita sering kesulitan menerangkan apa sesungguhnya itu bahagia, apa itu duka, dan apakah itu akan berlangsung selamanya. Mau tahu hasil akhirnya ? Anggap saja sampai kita mati. Hidup kita bukan fiksi. Saat mati, baru kita akan bertemu ending. Sebelumnya : adventure ! Dan percaya Ayesha sayang, kisahnya tidak ada yang cliché ”
Si belia menatap wajah ibunya. Sang Ibu tersenyum simpul, dengan arti yang rupanya dapat ditangkap oleh sang putri.
“Would you tell your story ? Please..”
***
Pada suatu siang yang terik, ketika Renata tiba – tiba merasakah kejenuhan yang luar biasa. Kepalanya berdeyut dan nafasnya sesak. Ia mengalihkan pandangan dari layar desktop dan yang ditemuinya adalah tumpukan berkas kerja yang belum terselesaikan. Dan ketika kepalanya makin berdenyut, dan ia memutuskan untuk berkemas.
Ia menjalankan Nissan Genesis-nya menuju plaza terdekat. Siapa tahu jalan – jalan sedikit bisa membuat pusingnya hilang. Dalam perjalanan yang singkat, sempat ia berfikir soal sakit kepalanya dan keresahan tak beralasannya. Seingat-nya, dulu ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Jangan – jangan ia mengidap sakit tertentu ! Ia bergidik. Atau mungkin karena faktor usia ? Gila ! Dia masih berusia 26 tahun, dan selalu berusaha hidup sehat.
Ia sampai. Kepalanya masih berdenyut Ada apa sebenarnya ?! Ia gerah.
Buku ! Ya, dalam kondisi aneh begini sebaiknya membeli buku dan segera pulang. Membaca adalah obat paling manjur. Langkahnya baru mengarah ke toko buku ketika samar ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke kiri, kanan lalu ke belakang. Tidak ada orang yang dikenalnya. Namun begitu kembali menatap ke arah depan, matanya tertumbuk pada satu sosok yang berada beberapa langkah di depannya, yang saat itu juga tengah menatapnya dengan takjub.
“Renata ? Renata Amelia Zuhri ? SMA Pelita Bangsa ?”
Ya Tuhan. Dia Adam !
“Adam ya?”
Ia tertawa lebar.
Laki – laki itu. Kedua matanya masih indah seperti dulu. Lebih matang, tapi tetap tampan. Kenangan Renata melayang pada awal masa SMA-nya.
Anak baru pindahan dari Bandung, kelas dua. Tidak sampai seminggu, hampir semua perempuan di sekolahnya tahu, dan hampir semua laki – laki mendadak diserbu rasa cemburu. Tidak sampai sebulan, hampir satu sekolah dikenalnya, termasuk Renata. Anak kelas satu yang kebetulan pandai menari kebetulan mengisi acara sekolah dan Adam salah satu panitianya. Hanya dibutuhkan waktu yang singkat untuk membuat Renata tergila – gila padanya. Dan rupanya ia beruntung. Adam suka berdekatan dengannya. Mereka memang menjadi karib, namun Renata merasa ia membuat suatu kesalahan besar.
Ia jatuh cinta pada laki – laki itu. Sesuatu yang sia – sia.
Kecocokan tentu tidak menjamin seseorang jatuh cinta padamu, tidak juga Adam. Renata sadar hal itu. Ia tersiksa, namun bertahan, karena tidak mungkin seorang sahabat menjauh tanpa sebab.
Lalu, diam – diam ada rasa bersyukur tatkala lelaki itu sudah hampir menginjak akhir masa sekolahnya. Adam kembali ke Bandung, kuliah. Dulu Adam memilih sekolah di Jakarta dengan alasan simple : Bosan. Dan entah apalagi alasannya kini ketika memilih kuliah kembali ke Bandung, karena toh tiap akhir pekan ia ke Jakarta untuk menemui Renata. Ketika ditanya mengapa, ia selalu menjawab enteng “Kangen sama kamu,” dengan cengirannya yang khas.
Rutinitas itu terus berlangsung sampai tahun kedua kuliah Renata, sampai Renata bertemu dengan Ari. Laki – laki yang sebaya dengannya, putra dari Almarhum ayahnya. Baik hati, pintar dan lumayan tampan. Dan mulailah Renata menata hatinya. Dengan upaya, ia bisa mencintai Ari dan memposisikan Adam hanya sebagai karib. Ari membuatnya merasa inilah cinta yang sesungguhnya. Enam bulan setelah Ari memperoleh pekerjaan, mereka menikah.
Sementara Adam ?
Lelaki itu tiba – tiba disibukkan kuliahnya bersamaan dengan kedekatannya dengan Ari. Tak ada lagi weekend di Jakarta. E-mail dan telpon juga semakin jarang, dan akhirnya terputus saat Renata mendengar Adam melanjutkan kuliah di Australia. Tentu saja Renata sedih, karena ia merasa ditinggalkan seorang karib, namun ia berusaha maklum.
Renata tiba – tiba ingat sesuatu. Ya, mulai saat itu dimulailah peperangannya melawan kepala berdenyut dan hati galau.
Semuanya itu berkelebat selama detik – detik Renata menatap tawa lebar sahabat lamanya itu ditengah keriuhan plaza.
Renata tersadar ketika lelaki itu mengulurkan tangannya,
“APA KABAR KAMU ??!!” sahutnya riang sambil menggenggam tangan Renata erat “ Maunya sih peluk kamu, tapi bisa disangka porno aksi, ntar !”
Dia masih seperti dulu. Renata merasakan keharuan menerpanya. Ia rindu sahabatnya itu.
“Well, kayanya ga enak kita ngobrol di jalan gini. Cafe?”
Dan mereka berpuas – puas berkelakar tentang masa SMA dulu.
“Dam, kamu kok dulu itu tiba – tiba raib sih ?” Renata bertanya.
“Oh iya. Maaf banget soal itu. Tiba – tiba ribet, terutama urusan kuliah. Tapi aku pikir juga kamu juga udah jarang bales sms dan e-mail dari aku. Begitu lulus kuliah aku ngelanjutin ke ANU, Australian National University di Canberra, ambil Asian Studies, dan sekarang kerja di Kedutaan”
“Aku juga minta maaf deh. Sama – sama lupa satu sama lain. Kamu nenikah ?”
“Iya, doooong ! Aku bertemu Vanda di Australia, dan langsung menikah setahun setelahnya. Dia mahasiswa juga. Isriku baru hamil sekarang.”
“Kalah kamu ! Anakku sudah satu. Pre-school! Ha ha ”
Tak terasa jam telah menunjukkan pukul delapan malam.
“Well, aku ke toilet bentar ya Dam ! Udah nahan dari tadi!” Renata nyengir.
Perempuan itu beranjak. Adam memandangnya berjalan menuju toilet hingga menghilang dari pandangan matanya. Ia menghela nafas. Renata masih cantik. Ia teringat betapa dunianya jungkir balik saat melihatnya menari dulu. Melihatnya tertawa. Dunia seakan ikut tertawa jika ia tertawa. Adam jatuh cinta padanya, bahkan mungkin bermula dari pandangan pertama. Sejuta kali ia ingin menyatakan cinta namun entah mengapa sesuatu kekuatan besar menahannya. Ketidak pedulian Renata membuatnya tersiksa. Tanda – tanda kecil yang ia lontarkan selalu dimentahkan dengan lelucon, sampai ia kemudian mengambil suatu kesimpulan. Renata tidak mencintainya. Saat kuliah tiba, dan ia tak kuasa untuk berdekatan dengannya, dan memilih kembali ke Bandung. Namun ternyata ia tidak sanggup menahan kerinduannya. Ia bersorak tiap akhir pekan, karena ia bisa pergi ke Jakarta menemui Renata. Tolol ! Ia mengutuk kepengecutannya, namun tak urung merana memikirkan jika ia ditolak, ia akan kehilangan Renata selamanya. Dan ia akhirnya pasrah pada nasib, siapa tahu ada keajaiban. Toh gadis itu masih sendiri.
Hingga suatu saat ia mendengar nama Ari disebut. Sakitnya luar biasa sebelum ia memutuskan sepenuhnya mundur, dan terbang ia ke Aussie. Ia bersyukur dengan keputusannya, karena di Negara inilah ia bertemu dengan Vanda, asli Malang – Manado. Indonesia. Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, ia langsung menyatakan cinta dan tidak menunggu lama untuk kemudian memutuskan untuk menikah.
Ia mencintai pekerjaannya, namun menurutnya pekerjaan menuntut konsentrasi penuh yang membuatnya sering sakit kepala dan resah tak beralasan. Ia perlu rest. Besok ia ambil cuti tiga hari. Hari ini sakit kepala menyerangnya lagi dan Ia memutuskan pulang siang saja, namun ia teringat titipan istrinya dan mampir sebentar ke tempat ini. Tempat yang mengantarnya kembali bertemu Renata.
Perempuan itu terlihat sudah kembali dari kamar kecil. Dan seperti biasa, tertawa lebar menatapnya. Adam ingat betapa ia dulu terpesona dengan tawa itu.
“By the way Nat, kayaknya kita mesti kembali ke balik deh. Udah malam,” Adelmar menatap jam tangannya.
“Yah, iya sih, kasian anakku cuma ditinggal sama mbak-nya. Ari sedang tugas luar kota, ”
“Yuk kita bareng ke parkiran,”
Mereka masih mengobrol dan tertawa dalam perjalanan ke tempat parkir,
“Nah, mobilku aku parkir di ujung sebelah sana. Kamu ?”
“Tuh, mobil Genesis tua terkasihku,” Renata menunjuk Nissan hitam metalik-nya.
“So, thank you so much untuk semuanya ya Nat,” laki – laki itu mengulurkan tangannya.
“Take care ya Dam. Jangan bandel – bandel,” Renata membalas uluran tangan itu.
“See you,”
Renata masih berdiri di tempat sementara Adam berbalik dan melangkah. Baru beberapa langkah, ia terhenti dan berbalik kembali
“Nat,”
Renata menoleh,”Ya ?”
“You know what…. aku dulu pernah jatuh cinta sama kamu. Well, bahkan pernah sangat mencintai kamu,”
Sepersekian detik Renata terhuyung, takjub. Dan tersenyum,
“Dan aku juga pernah jatuh cinta sama kamu, sampai kemudian aku putus asa. Aku pikir cintaku bertepuk sebelah tangan karena kamu tidak pernah menyatakan cinta kamu ke aku,”
Mereka saling bertatapan dalam kebisuan selama beberapa detik, sebelum kemudian sama – sama tersenyum.
“Oke Adam my friend, aku mesti pulang. Jaga diri dan keluarga kamu ya,”
“Iya. Kamu juga. Salam untuk Ayesha dan Ari. Bye Renata,”
Adam berbalik, begitu juga dengan Renata. Tanpa bertukar no telpon, tanpa bertukar alamat. Tanpa berjanji bertemu lagi.
Semenjak saat itu, Renata dan Adam tidak pernah bertemu kembali.
***
“Nah, Yesha. Cukup untuk membuat artikel cinta di majalahmu itu ? Masih betah kerja part time ?”
Gadis itu mengangguk dan tersenyum.
“Let me guess Ma. Semenjak itu mama tidak lagi diserang kepala berdenyut dan kerisauan tak beralasan ?” mata Ayesha melebar indah. Mamanya tersenyum.
Saat itu mereka telah berjalan menuju ke tempat dimana mobil mereka diparkir.
“Life is an adventure, right Ma ?! Bila akhir adalah kematian, apa ada pikiran bahwa ada kemungkinan kalian memang diciptakan untuk bersama ?”
Mamanya menggeleng “ Harapan dan cinta Mama adalah kamu dan Papamu.”
“Tetapi Mama belum tahu kisah akhirnya,”
“Memang belum sayang. Life should be a mystery “ sahut Mamanya tersenyum, “Yuk ! Kita mesti pulang dan masak. Besok kalo Papamu pulang biar terkaget – kaget kita masak buat dia”
“Sip deh Ma !”
Dan mereka berangkulan berjalan menuju ke arah mobil dan pulang ke rumah.
***

Ketika Ia Mulai Berfikir

Aku sekarang ini sedang berfikir tentang hidup, begitu ia menyebut.
Padahal hanya menurut anggapannya saja ia berfikir soal hidup karena orang lain akan berpendapat bahwa ia hanya menocba untuk mengingat – ingat. Mengingat – ingat tentang hari – harinya saja.
Kebiasaannya ‘berfikir’ seringkali membuat berang penyelianya di tempat kerja. Ia dianggap sering melamun. Tapi ia adalah seorang pekerja yang baik. Paling tidak begitulah menurut anggapannya, karena ia merasa telah menjalankan Job Description sebagai Telephone and Fax Operator & Administrator yang diberikan Perusahaan pembuat limun lokal itu dengan baik.
Telephone berdering nyaring mengakhiri waktu ‘berfikir’ nya. Suara seorang wanita dengan nada tegas mencari Kepala Bagian Pembelian, dan seperti yang sudah diduganya, pak kepala dengan bicara yang tersendat memintanya untuk memberikan jawaban ‘tidak ada di tempat’. Dan seperti juga dugaannya, wanita di seberang telephone menyumpah panjang pendek, pun menyumpahi dirinya.
Hal ini membuatnya merenung. Berpikir apakah memang ia pantas untuk disumpahi mengingat dengan perpeluh dingin ia memberanikan diri untuk menyampaikan pada induk semangnya bahwa ia harus menunggak biaya kost bulan ini sementara ia juga ingat pernah berpeluh dingin saat menyampaikan surat dari kedua orang tuanya kepada kepada bagian Tata Usaha di sekolahnya dulu saat ia mesti menunggak biaya sekolah sampai tiga bulan.
Hari ini sampai menjelang siang, terhitung sudah ada lima telephone yang ia terima dari para supplier yang kecewa karena tagihan mereka belum juga kunjung lunas terbayar, atau tagihan jatuh tempo yang harus mundur lagi.
Akhir – akhir ini memang sering sekali ada telephone semacam itu, dan itu membuat perasaannya tidak enak.
“Perempuan harus lebuh pintar mengatur pengeluaran” begitu pernah ibunya berujar suatu hari. Namun, untuk tiga bulan mendatang rasanya agak sulit baginya untuk dapat mengatur pengeluaran sedemikian rupa, semenjak tanpa ia sadari apa yang sesungguhnya terjadi, ia bersama dua rekan kerjanya dituduh menjadi penyebab kerusakan yang cukup serius pada alat penerima telephone di ruang kerjanya. Perusahaan bersikeras menyatakan bahwa mereka harus menaanggung 100 % biaya perbaikan, dan dicicil selama tiga bulan gaji. Itu berarti mereka harus kehilangan kurang lebih 50 % dari gaji mereka per bulannya.
Telephone tiba-tiba berdering lagi.
Kali ini dari Pak Sudarman, pemilik Perusahaan. Beliau minta disambungkan dengan Pak Rubyanto, direktur. Kali ini tentu saja ia tidak perlu menjawab ‘tidak ada di tempat’. Hanya saja yang membuatnya heran adalah entah kenapa suara Pak Sudarman terdengar lesu akhir – akhir ini, padahal biasanya bicara pelan saja sudah terdengar menggelegar.
Yah, mungkin sedang banyak pikiran, ia membatin. Tapi kemudian tiba – tiba menghela nafas dan tersenyum.
“Ya, tidak mungkin,” ia berkata pelan. Mana bisa seseorang yang segala kebutuhan hidupnya telah tercukupi harus merasa lesu,meskipun ia sedikit banyak tahu bahwa hasil penjualan produk limun lokal perusahaannya beberapa bulan belakangan banyak pengalami penurunan. Drastis, begitu kata Ibu Andini dari bagian Penjualan. Tapi itu pasti bukan hal yang membuat Pak Sudarman menjadi lesu. Bahkan orang seperti dirinya, adik kecilnya beserta kedua orang tuanyapun tidak pernah bener – benar merasa lesu menghadapi hidup, pun ketika dalam satu hari mereka harus ‘puas’ makan nasi berlauk garam, atau dengan satu bungkus mie rebus yang dijadikan lauk untuk mereka berempat, atau bahkan dengan gembira menangkap beberapa bekicot yang berkeliaran di kebun untuk dimasak.
Ayahnya bahkan masih sempat terbahak sesaat setelah ia diperhentikan dengan hormat dari pekerjaannya, karena fitnah dari salah satu rekan kerjanya ayahnya yang semula beliau anggap sebagai karib.
“Ayah baca di koran, katanya banyak restoran terkenal memasak bekicot. Malah ada yang dijadikan menu istimewa Apa salahnya sekarang kita coba. Malahan hari ini kita bisa makan daging, “ kata ayahnya sambil tersenyum.
Mungkin hal itu yang menyebabkan ibunya bisa memasak bekicot dengan berbagai macam bumbu yang sedap. Yah, sebetulnya tidak sedap sekali, tapi lebih nikmat daripada cuma nasi garam.
Telephone berbunyi lagi. Kali ini bukan dari luar, melainkan dari ruang Pak Rubyanto.
“Ada beberapa lembar surat penting yang harus kamu fax. Rahasia. Sekretaris saya yang akan membawanya ke ruangan kamu dalam keadaan tertutup. Jangan sampai ada satu orangpun yang tahu, dan kalau ada pihak atau orang lain yang tahu, kamu yang harus bertanggung jawab,”
Pesan Pak Ruby jelas, dan sebenarnya di tidak pernah ambil peduli dengan ratusan lembar surat atau pesan yang ia fax, atau fax yang ia terima untuk Perusahaannya. Tapi rupanya kata ‘rahasia’ malah tak urung membuatnya tertarik, meskipun ia bukan termasuk orang yang selalu ingin tahu. Tapi toh ketika akhirnya setelah ia menerima beberapa lembar surat yang dimaksud, ia sama sekali tidak mengerti isinya dan itu lebih melegakan. Rahasia atau bukan, lebih baik ia memang tidak usah mengerti. Tapi yang cukup mengherankan adalah bahwa akhir-akhir ini memang sedikit lebih banyak surat – surat rahasia yang di-fax, mungkin juga banyak surat rahasia yang dikirim.
“Jangan terlalu ingin tahu urusan yang bukan urusan kita, tidak sehat untuk jasmani maupun rohani. Apalagi hal yang memang tidak semestinya kita tahu. Bisa kena sakit mental kita,” tiba-tiba ia teringat ayahnya pernah berujar tatkala mendengar ibunya membicarakan salah satu tetangga yang kata orang sudah menjadi istri simpanan seorang pejabat, dan masih tetap berganti – ganti pasangan hampir setiap malam, “ Yaah, meskipun kalo harus berpikir soal urusan kita terus kita juga bisa sakit mental !” sambung ayahnya lagi sambil terbahak saat ia mencoba menyalakan puntung rokoknya.
Dan hal itu juga akhirnya membuatnya bisa tersenyum, apalagi sekarang adalah waktunya istirahat siang.
Namun rupanya saat istirahat tidak membuatnya berhenti untuk berfikir. Hari ini merebak berita burung bahwa gaji pokok mereka akan dipotong sekian persen karena tidak mampunya Perusahaan membayar penuh gaji karyawan sebab penjualan produk terus merosot. Ada juga yang bilang masing – masing karyawan ‘dipersilahkan’ untuk ‘menikmati’ libur selama satu minggu tiap bulannya, dan begantian bekerja.
Aaaah, rupanya sekarang bukan cuma Pak Sudarman yang lesu, karena mulai siang ini hampir seluruh penghuni Perusahaan ini mulai menunjukkan ekspresi ‘ kurang sehat’. Dan hal ini ( enatah itu berita burung atau bukan ) kembali membuatnya berfikir.
Ooh, bukan berpikir, tapi memijit-mijit kepala karena tiba – tiba pusing.
Saat itu beberapa orang di tempat kerjanya masih sibuk berbisik-bisik dan menyebar berita burung, mereka tidak ada capek-capeknya mengatakan bahwa sebenarnya Perusahaan masih cukup kuat kalau saja keuntungan Perusahaan tidak jatuh ke tangan – tangan yang tidak bertanggung jawab, sehingga gaji karyawan mesti disunat. Ada juga yang mengatakan bahwa Pak Sudarman memiliki wanita di luar kota, dan mesti mengeluarkan banyak uang untuk menghidupi wanitanya itu. Bahkan bukan hanya satu wanita. Selebihnya mereka, orang-orang di tempat kerjanya Cuma berbisik-bisik sambil terkadang terkikik, terkadang bicara panjang lebar bagai menganalisa apa yang tengah terjadi dan mengahkimi keadaan.
Dia cuma diam, karena ia masih pusing.
Ia jadi teringat bagaimana ibunya setiap bulan harus menyiapkan tiga puluh buah amplop yang masing-masing diisinya dengan sejumlah uang.
“Selain supaya uangnya cukup untuk belanja dan keperluan satu bulan, dengan ini kita juga bisa belajar untuk menahan diri dan belajar mengatur diri sendiri,” begitu ibunya berujar. Namun tak urung ketika adik kecilnya sakit campak, beberapa buah amplop mesti dikosongkan dalam sehari, dan setelah itu dilihatnya sang ibu sering memijit-mijit kepala.
Saat ini ia mengetahui bagaimana sepenuhnya persaan ibunya saat itu . Yang dia merasa heran adalah mengapa mendengarkan orang bicara saja sudah membuatnya pusing.
Ketika waktu istirahatnya usai, dan ia kembali masuk ke ‘bilik’ kerjanya, ia mulai memikirkan bagaimana cara ia mengatur keuangan nanti apabila gajinya yang tinggal 50% itu mesti disunat lagi. Saat itulah telephone berbunyi.
“PT. Jaya Makmur Abadi, selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” ia menyapa.
Seorang wanita. Dan ia menjadi Pak Ruby yang kebetulan memang tidak ada di tempat semenjak saat istirahat siang.
“Wah, keluar ya ? Padahal jam segini Bapak paling ngga suka dihubungi melalui Phone Cell .Begini saja mbak , tolong sampaikan ke Bapak istrinya menelphone.Bilang saya jadi beli cincin berliannya yang kemarin dilihat-lihat. Bilang juga tiket yang untuk ke Singapore sudah saya pesankan untuk lusa. Jangan tidak disampaikan lho mbak, soalnya hari ini mungkin saya tidak bisa ketemu Bapak. Mungkin baru sore atau malam nanti saya telephone untuk menegaskan lagi, “
Sesaat setelah gagang telephone ia letakkan, ia tersenyum kecut. Cincin berlian. Bagaimana rasanya kalau ia bisa membelikan sebentuk cincin berlian untuk ibunya. Pasti ibunya akan sangat gembira, karena setahunya untuk cincin perkawinan saja mesti beberapa kali dijual dan dibeli lagi, sampai kemudian mesti memakai cincin sepuhan supaya pantas dilihat orang.
“Ya, menurut ibu sih kalau bisa mesti pakai, apapun bahannya,” jawab ibunya ketika ia bertanya. Ibunya tersenyum sambil terus memandangi sebentuk cincin sepuhan yang sampai saat ini masih melingkar di jari manis beliau itu. Entah kenapa ibunya masih bisa tersenyum, sementara ia tahu persis saat itu ibunya sedang gundah.
Kala ia diterima bekerja, setelah dengan susah payah ayahnya membiayai pendidikannya yang D1 itu, kedua orang tuanya senang bukan kepalang. Serasa mereka telah berhasil menyelesaikan satu babak dari kehidupan mereka, dan mulai membuka babak baru. Bukan berarti mudah, tapi juga bukan tidak mungkin akan lebih baik dari babak sebelumnya. Dan ketidak mudahan itu mulai tercermin saat satu-satunya lapagan kerja yang menerimanya terletak di luar kota. Tak jauh dari kota tempat tinggalnya memang, namun tetap saja di luar kota. Sempat ia harus bolak-balik setiap hari, namun ternyata itu merupakan pemborosan yang luar biasa, karenanya ia memilih kost, ditempat yang bukan saja paling dekat di tempat kerjanya, tapi juga paling murah.
Tidak mudah mencari tempat seperti itu, dan akhirnya ia mendapatkannya, meski tetap saja ia harus berjalan selama hampir setengah jam dari tempat kostnya ke tempat kerja. Itu tidak masalah baginya, karena ia sering kali tidak perlu berjalan, disebabkan pada jam-jam masuk kerja, ia bisa menunpang teman kerjanya yang kebetulan lewat berkendaraan.
Hari itu ditutup dengan adanya satu buah pengumuman yang terpampang di papan pengumuman karyawan, yang menyatakan bahwa minggu depan akan diadakan General Meeting. Pak Rubyanto sendiri yang akan memimpin, dan seluruh karyawan tanpa terkecuali diharuskan untuk datang.
Hmm.. ada apa kiranya ? dia mulai berfikir, padahal General Meeting terakhir seingatnya sudah kira- kira dua tahun lalu, ketika dibahas soal pergantian pimpinan dan kebijakan, dan setelah itu sama sekali tidak pernah diadakan. Dalam khayal manisnya ia mengharapkan sesuatu yang bagus bakal disampaikan besok, entah itu kenaikan gaji, bonus, uang makan, kredit pemilikan rumah, atau hal semacam itu. Namun tak urung ternyata ‘sesuatu yang gelap’ terasa lebih berkuasa memenuhi pikirannya saat ini, dan ia sangat takut hal yang buruk benar-benar akan terjadi.
Kalau ada yang mengatakan, jangan berpikir tentang hal yang buruk, karena pikiranmulah yang membuatnya benar- benar terjadi, mungkin hal semacam itulah yang terjadi seminggu kemudian. Ia tidak tahu teori itu benar atau tidak, tapi yang pasti apa yang sudah bertengger dalam sudut gelap di kepalanya selama hampir satu minggu ini ternyata benar adanya, pun kabar burung yang didengarnya lewat kasak kusuk saat istirahat siang seminggu yang lalu, disusul hari – hari berikutnya.
Acara General Meeting diwarnai dengan wajah – wajah tegang dari karyawan, pun saat pihat Perusahaan memulai dengan kata maaf berkali-kali dan Pak Rubyanto mengucapkan kalimat panjang yang mengharu biru, yang pada intinya dengan berat hati Perusahaan menyampaikan hal – hal yang kurang lebih sama dengan yang menjadai topik hangat para karyawan selama satu minggu ini. Banyak rekan kerjanya yang langsung ribut, marah-marah dan beberapa diantaranya langsung mengajukan pertanyaan bertubi-tubi sehingga membuat pihak Management kewalahan.
Tapi ia cuma diam.
Tiba-tiba saja berbagai wajah-wajah muncul di kepalanya. Ayah, ibu, adik, bahkan dirinya sendiri. Dan berbagai peristiwa silih berganti dalam adegan yang begitu cepat melompat lompat dalam satu ritme yang tidak berurutan antara masa lalu dan khayalan kemungkinan masa depannya. Lalu muncul wajah lain. Kawan-kawan lamanya, bekas rekan kerja ayahnya, pengurus tata usaha di sekolahnya dulu.
Keesokan harinya keadaan semakin parah. Beberapa karyawan melancarkan demo. Ketika Management Perusahaan meminta waktu untuk membicarakannya dan dianggap terlalu lama, diantara mereka mulai melakukan perusakan pada lading tempat mereka mencari nafkah. Kaca-kaca dipecah, meja dan kursi dirusak, mobil Pak Direktur dibakar, sampai kemudian yang berwajib datang.
Telephone di ruang opereter berdering ratusan kali, tapi ia tidak perduli. Siapa yang perduli telephone karena saat ini ia sedang merasa heran. Keheranan yang amat sangat, karena mengingat bahwa setiap hari dia selalu bisa berfikir tentang sesuatu, ternyata hari ini otaknya terasa buntu.
Dua hari setelah kejadian tersebut, ada beberapa kebijakan Perusahaan yang akhirnya diralat. dan bersedia mengabulkan beberapa hal yang menjadi tuntutan karyawan, tapi dengan satu konsekwnsi yang juga mesti harus diterima dengan lapan dada oleh karyawan, karena Perusahaan mengaku sudah benar-benar pailit. Perusahaan menyatakan akan mengadakan perampingan !
Bagi karyawan yang belum dua tahun bekerja, atau dianggap kurang mampu, dengan hormat dimohon untuk mengundurkan diri, dan yang satu ini tidak bisa dibantah lagi. Pihak Perusahaan telah mengundang beberapa wakil karyawan untuk berunding, dan memang begitulah hasilnya.
Sebuah dilema, ada yang mengatakan begitu.
Tapi ada juga yang tenang – tenang saja. Oh, ya, tentu saja, masa kerja mereka sudah melewati tahun kedua, dan sepanjang bertemu dengan juniornya mereka menepuk – nepuk punggung mereka dan berusaha untuk menenangkan. Basa basi mungkin saja, karena sinar mata mereka tetap saja tidak bisa berbohong bahwa saat ini mereka sedang berlega hati.
Baginya, dilema atau bukan, basa basi atau bukan, hasilnya tetap sama baginya.
Kosong.
Kalau dipikir seharusnya ia tidak perlu terkejut mendengar berita buruk, ia sudah terlalu sering mendengar berita yang kurang bagus. Hanya saja baru entah kenapa baru kali ini ia merasa ada sebuah tanggung jawab besar yang terpaksa harus direnggut darinya. Tanggung jawab besar dirinya kepada segenap anggota keluarga.
Ia tidak tahu apakah ia sudah tidak bisa lagi berpikir, atau karena terlalu banyak berpikir.
“Kamu mendapatkan pesangon lima bulan gaji, dipotong pelunasan kerusakan pesawat penerima telephone tempo hari, dan kamu masih diwajibkan masuk kerja sampai akhir minggu ini, dimana saat kamu terima uang pesangon kamu. Kami ucapkan terima kasih atas pengabdianmu selama hampir dua tahun ini, yang tentu saja tidak akan pernah kami lupakan. Dan bila ada kesempatan lagi, pasti kami akan memanggil kamu kembali. Kamu akan selalu menjadi prioritas utama. Ada yang ingin kamu sampaikan pada Perusahaan ? “ begitu penyelianya berujar, dan ia menggelengkan kepala. Penyelianya tersenyum dan menyalaminya.
Entah bagi orang lain, tapi baginya itu adalah senyum paling memuakkan yang pernah ia lihat, dan berharap sepanjang hidup selanjutnya tidak akan menemui senyum semacam itu lagi, dan ingin sekali rasanya ia menyumpah kali ini, membayar makian orang – orang di pesawat telephone yang ia terima setiap hari.. Menyumpah pada orang di depannya, pada Pak Ruby, pada teman kerjanya yang masih bisa bekerja, pada kawan sekolahnya dulu, pada guru-gurunya, rekan kerja ayahnya, semua ! Bahkan pada dirinya sendiri.
Tapi ia cuma diam, berterima kasih dan pergi meninggalkan ruang kantor penyelianya, dan kembali ke biliknya yang sempit. Ya, ia harus kembali ke bilik kerjanya lagi.
Telephone berdering berkali - kali, dan ..
“Selamat siang, PT. Jaya Makmur Abadi, ada yang bisa kami bantu ? …”
Suara para penagih yang suka memaki itu lagi . Suara – suara yang masih bisa terngiang bahkan saat gagang telephone sudah berada pada tempatnya.
Disentuhnya perlahan beberapa bagian dari peralatan kerja yang ada di sekitarnya lembut, dan ia teringat kembali ayahnya berkata,
“Makanlah daging bekicot ini. Enak rasanya. Restoran – restoran terkenal saja menyajikan daging bekicot sebagai menu istimewa,……..”

Calon Mahaduta

Hari itu di negeri Tantra Samirana sebenarnya sama saja dengan hari – hari lain. Para pelancong masih berseliweran memenuhi pasar terdekat memborong oleh – oleh dan cindera mata. Anak – anak berangkat menuju Tempat Pendidikan ( TP ) gratis Hukama Edukata, semacam sekolah yang diperuntukkan bagi anak berusia 5 hingga 16 tahun. Tidak jauh beda dengan SD hingga SMU di negeri kita. Remaja yang menjelang dewasa menuntut ilmu di Silvika Universita, yang juga gratis. Para orang tua berangkat bekerja ke beberapa tempat, seperti misalnya gedung pemerintahan, pabrik manisan khas, pabrik coklat khas atau pabrik cindera mata. Ya, Tantra Samirana adalah negeri elok nan makmur dan sangat terkenal dengan pemandangan alam yang indah, dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak. Pemerintah setempat memang berkonsentrasi pada bidang pariwisata, dan hampir semua lapangan kerja, berhubungan dengan wisata.
Namun hari – hari di negeri Tantra memang selalu istimewa, terutama bagi anak – anak. Pemerintah setempat tahun ini kembali mencari seorang anak yang akan dijadikan calon Mahaduta negeri itu. Mereka akan dididik pada pusat pendidikan khusus bernama Imakulata Mahardika yang berada di negeri seberang yang indah. Ia akan mendapat perlakuan khusus, sementara kehidupan keluarganyapun dijamin oleh Negara. Pencarian semacam ini cuma setahun sekali diadakan, dan setiap negeri hanya diperkenankan mengirim satu wakil saja. Tentu saja, semua anak di negeri Tantra menginginkannya.
Namun, pencarian calon Mahaduta ini termasuk unik. Tidak akan ada audisi pencarian bakat atau test ilmu pengetahuan. Bahkan tidak ada seorangpun tahu kapan waktunya pihak pemerintah memulai pencarian ini, dan dengan cara apa. Tiga tahun lalu, ada seorang anak yang gagal menjadi wakil hanya gara – gara ia berkata ‘tidak’ pada ibunya saat sang ibu memintanya mengambil cucian bersih ke binatu. Dua tahun lalu pencarian calon diadakan di sebuah pasar malam, dan pilihan jatuh pada seorang anak yang memberi maaf pada anak lain yang dengan sengaja merebut dan merusakkan mainan milik anak baik itu, yang baru saja dibeli. Dan tahun lalu, terpilihlah seorang anak yang menjahili teman sekolahnya yang luar biasa nakal dengan menempeli bangku sekolahnya dengan permen karet agar anak itu jera, namun hari berikutnya ia menyesal. Mengakui perbuatannya pada orang tua dan gurunya, serta meminta maaf pada anak yang dijahilinya. Ia bahkan meminta sebuah hukuman yang setimpal baginya. Maka ia kemudian diganjar membersihkan ruang kelasnya selama seminggu penuh sendirian.
Tahun ini juga sama saja. Tidak ada yang tahu kapan datangnya utusan dari pemerintah yang dikirim untuk memilih, dan dengan cara apa. Yang beberapa anak tahu adalah hari itu datang seorang tua dari kampung Kantaka Kemala, menanyakan sebuah alamat rumah ke hampir setiap orang yang ditemui, sampai tibalah ia bertanya pada seorang anak bernama Jamawa yang sedang terburu – buru berangkat ke sekolah.
“Tanya saja pada orang lain Kek, kakek kan lihat saya sedang keburu - buru,” jawab Jamawa dengan marah tanpa memandang orang yang diajaknya berbicara.
Kemudian sorenya sang kakek bertemu dengan Azul yang sedang sibuk dengan tugas sekolahnya yang rumit di teras rumahnya.
“Tidak tahu, saya tidak tahu” Demikian jawab Azul menggeleng asal – asalan dengan wajah kusam karena kesal dengan konsentrasi yang terpecah. Harapannya adalah sang kakek cepat berlalu dari hadapannya.
Setelah kembali melanjutkan perjalanan, akhirnya bersua-lah sang kakek dengan Malim yang kala itu sedang kerepotan menenteng lima kilogram beras, berjalan tertatih – tatih.
“Nak, apakah kamu tahu alamat ini ada dimana ? Katanya sih disekitar sini” Tanya sang kakek sambil menunjukkan selembar kertas pada Malim. Malim berhenti sambil tetap menenteng beras. Keringatnya bercucuran. Ia membacanya dan keningnya berkernyit.
“Wah, maaf kek, saya tidak tahu alamat ini ada dimana,” jawab Malim sambil tersenyum sopan. Setelah pamit, Malim-pun berlalu. Namun baru beberapa langkah, ia berbalik,
“Kek, begini saja. Saya antar kakek ke rumah pak Ansar. Beliau sudah lama sekali tinggal disini, jauh sebelum daerah ini menjadi kota besar. Kemungkinan besar beliau tahu dimana alamat yang Kakek cari,”
Saat itulah, Malim terpilih menjadi calon Mahaduta. Setelah memberitahu berita menggembirakan itu pada Malim, sang kakek berkata dengan tersenyum,
“Sebenarnya, tatkala kau menjawab dengan sopan pertanyaanku ditengah kerepotanmu membawa beras yang harus segera kau bawa pulang karena ibumu menunggu, kami sudah memutuskan untuk memilihmu sebagai calon. Namun begitu engkau berbalik dan berniat menolongku, kami semakin yakin bahwa kami tidak salah memilih,”
Satu hal yang dipelajari anak – anak di negeri Tantra adalah bahwa berbuat baik harus dilakukan tanpa pamrih. Tapi satu hal yang pasti, mereka tahu bahwa cara pemilihan calon Mahaduta adalah salah satu cara yang baik untuk membiasakan diri mereka berbuat baik. Hingga suatu saat nanti, mereka akan terus berbuat baik karena telah terbiasa dan karena ikhlas, meskipun tanpa adanya pemilihan calon Mahaduta atau imbalan dalam bentuk apapun.

Tentang Maya

Kau boleh memanggilku dengan sebutan apa saja. Seorang anak di gang depan sana memanggilku ‘monster gurita’, sedangkan yang diseberang jalan sebelah situ memanggilku ‘pangeran jaring’, sementara di kompleks tengah kota ada yang memanggilku ‘Troll menari’, tapi ada juga yang memanggilku ‘bidadari Barbie’. Kau juga boleh memanggilku dengan sebutan tertentu, sesuai dengan apa yang kau lihat dari diriku. Dan itu semua juga tergantung bagaimana sifat dan keseharianmu. Bila kau nakal dan tidak menurut pada orang tua, maka semakin seramlah wajahku dimatamu. Tetapi semakin kau memperbaiki sikap, aku akan semakin cantik, tampan atau lucu. Kawan, aku memang selalu ada bersamamu. Menemanimu, melindungimu, namun juga mengawasimu. Memberikan pelajaran – pelajaran agar kau kelak menjadi orang yang baik. Dan perlu kau ingat, berhati-hatilah dalam berucap dan berharap, karena siapa tahu hal itu akan menjadi kenyataan. Aku tidak dapat menghukummu, kecuali engkau tanpa sadar mengharapkannya. Kemarin ada anak yang ingin seterusnya bermain game PS tanpa henti, dan itulah yang terjadi. Ia tidak dapat berhenti bermain, meskipun ia ingin sekali berhenti karena letih dengan mata pedih. Ada juga yang tidak mau makan sebelum ia dibelikan balon, maka ia tidak dapat membuka mulutnya untuk makan meskipun ia sangat lapar. Dan ada banyak kejadian lainnya. Jadi kawanku, berhati – hatilah.
Diantara anak – anak yang mengenalku, tersebutlah seorang anak bernama Maya. Sejak pertama melihatku ia menyebutku ‘si tangan raksasa’. Besar, mempunyai jari banyak dan selalu bergoyang saat berbicara. Maya, kawanku itu, tadinya adalah anak yang nakal. Sering sekali berbicara sambil terteriak – teriak, tidak bersikap sopan pada orang lain dan sulit dinasehati. Apapun keinginannya harus selalu terpenuhi. Di mal atau pusat perbelanjaan, ia akan menangis selama mungkin, berteriak – teriak, atau bergulung di lantai toko demi mainan yang ia inginkan. Ia juga selalu ingin menjadi pusat perhatian. Ia akan merengek, cemberut, atau melempar sesuatu jika perhatian orang beralih darinya. Di sekolah ia juga tidak jarang membuat kawannya menangis karena mainan atau makanan mereka ia rebut, atau karena dicubit bahkan dipukul. Di rumah, ia susah disuruh makan atau belajar. Terus menerus di depan TV, dan akan mengamuk bila ada yang memindah saluran TV yang ditontonnya. Naaaah, bagaimana menurutmu ? Nakal sekali kan ?! Yaah, aku sudah berusaha memperingatkan dan menasehatinya, juga kedua orang tuanya, namun ternyata tidak digubrisnya. Kenakalannya terus menjadi!
Sampailah pada suatu hari, tercetuslah keinginan itu. MAYA INGIN BISA MENGHILANG!. Ia tidak puas dengan segala apa yang diterimanya. Dapat menghilang dan bisa berkeliling tanpa diketahui orang seperti Harry Potter dengan jubah gaibnya, sepertinya menyenangkan, pikirnya. Bisa tahu rahasia orang, bisa mengintip ke kamar temannya yang kaya untuk melihat apa saja mainan yang mereka punya, supaya bisa ia minta pada ayah ibunya, bisa main kemana saja dan tidak ada yang melarang. Makin ia pikirkan, makin kuat keinginannya untuk bisa menghilang.
Yah, begitulah kawanku. Terjadilah apa yang diinginkan si kecil Maya. Suatu hari didapatinya dirinya tidak tampak dalam pandangan siapapun. Mulanya ia gembira. Namun kemudian tawanya lenyap tatkala ia memperhatikan dengan lebih jelas dalam rumahnya ini. Selain ayah, ibu dan mbok Nah, ada seorang anak kecil yang mirip dengan dia di rumah itu ! Oh, bukan cuma mirip, tapi itu adalah DIRINYA ! Maya ingin berteriak, menangis, melempar sesuatu agar orang tuanya bahwa Maya yang asli bukan yang berada di depan mereka, tapi tentu saja tidak ada yang dapat melihat atau mendengarnya.Percuma. Maya lain yang dilihatnya adalah anak yang baik. Menurut pada orang tua, rajin belajar dan sopan. Dengan sikapnya yang baik itu, ia mendapatkan segalanya tanpa harus merengek, berteriak apalagi memukul. Semua orang menyukainya, semua orang sayang padanya. Indah sekali kawan – kawanku.
Kawan-kawanku, maka tinggallah Maya temanku yang dapat menghilang ini sendirian. Melihat segalanya yang indah-indah, tanpa ia dapat menikmatinya. Ia menjalani kesendiriannya sambil menangis, meratap dan menyesali segala kenakalan dan sikapnya selama ini. Ya, tentu saja kawanku, Maya akan kembali pada orang tuanya kelak, saat ia benar – benar sudah berubah. Suatu saat nanti, ia akan muncul menggantikan Maya kembarannya yang baik hati itu, kembali pada orang tuanya menjadi anak yang baik.
Tapi bukan sekarang.
Dan sampai saat itu tiba, aku masih menemani dalam kesendiriannya, dimana berkali – kali ia berjanji pada dirinya dan pada diriku, bahwa : ia tidak mau menjadi anak nakal lagi.

Pasar Malam

Angkot berguncang hebat ketika roda – rodanya menghantam polisi tidur yang tanggung sementara kendaraan umum mungil itu melaju kencang. Udara begitu panas hari ini meskipun saat itu sudah petang. Namun sepanas apapun cuaca, sekencang apapun umpatan supir angkot dan semuram apapun wajah penumpangnya, sama sekali tidak mempengaruhi sumringahnya dua wajah mungil yang ada di depan Lasma.
Ya, hari ini ia dan suaminya, Imam, mengajak kedua putra dan putri mereka pergi ke Pasar Malam, yang terletak di Lapangan Bola dekat Pasar. Membutuhkan dua kali naik angkot dari rumah mereka, dan masing – masing perjalanan angkot dibutuhkan waktu sekitar 7 dan 25 menit jika lalu lintas lancar plus 2 menitan berjalan kaki untuk sampai di lapangan tempat Pasar Malam diadakan. Tidak dekat, tidak juga terlalu jauh. Yang penting happy, begitu kata orang. Saat ini mereka berada di angkot yang kedua.
Itulah paling tidak yang bisa Lasma lihat dari mata kedua buah hatinya, begitu juga wajah suaminya, meskipun ada sinar lelah dari mata mudanya yang terlihat jauh lebih tua dari usia. Lasma teringat ketika suaminya mengajaknya bicara ketika saat itu sedang tidak ada order pekerjaan bangunan, dan Lasma baru saja pulang dari mencuci dan menyetrika untuk dua rumah tetangga.
“Aku kepingin bisa ajak anak – anak ke Pasar Malam. Katanya sejak kemarin yang ada di lapangan dekat pasar mau buka lagi,”
“Memangnya akang punya uang ? Sekarang saja Bang Kosim yang katanya mau kasih order besar sejak seminggu lalu juga ga nongol – nongol. Abang sudah tiga hari ini tidak kerja,” jawab Lasma terbawa lelah.
“Aku masih punya simpanan. Dan hari ini barusan tadi Kang Surip datang, bilang ada kerjaan bongkar bangunan. Kerjaan empat hari. Lumayan duitnya. Kasian anak – anak. Sejak sebulanan ini ngomongin soal Pasar Malam terus. Pasar Malam yang ada di lapangan ujung situ sudah tutup, dan mereka cuma bisa lihat dari jauh, menghayal naik kuda – kudaan dan kincir angin.”
Tak ayal Lasma terbawa keharuan. Ia mendekati suaminya.
“Akang punya uang berapa untuk membawa anak – anak ke Pasar Malam ? Kalau kurang, Lasma mau bantu tambahin. Kebetulan besok ada tiga kerjaan nyuci. Mudah – mudahan hari Minggu kita bisa ajak mereka jalan – jalan, ya.”
Lasma teringat suaminya tersenyum dan memeluknya saat itu. Hari – hari menjelang kepergian mereka ke Pasar Malam memang melelahkan, namun pikiran untuk dapat membahagiakan anak – anak membuat mereka bersemangat.
Anggot berguncang lagi.
Lasma memandang anak pertamanya, Aris, yang saat ini duduk diantara kedua paha ayahnya tepat di seberang pintu angkot. Wajah legamnya ceria, menerawang menatap jalanan berdebu di luar. Ia baru berumur 8 setengah tahun, kelas tiga SD. Lasma dan suaminya bertekad untuk tetap menyekolahkan anak itu, apapun yang terjadi. Masa depan Aris harus lebih baik daripada mereka. Berkat Tuhan bagi mereka, karena ternyata Aris anak yang cerdas. Memang terbilang nakal, tapi pintar. Ia selalu serius belajar. Dia pantas mendapatkan yang terbaik.
Pandangan Lasma berpindah pada gadis mungil yang ada dalam rengkuhannya.
Dinda baru berumur empat tahun, lima tahun bulan depan. Belum sekolah. Tiba – tiba Lasma merasa sentimentil. Sampai saat ini belum terbersit secara serius dalam pikirannya dan Imam soal sekolah Dinda. Mereka hanya berkonsentrasi pada pendidikan Aris. Menabung dan mengusahakan pinjaman sana sini demi Aris. Ada semacam pemikiran yang Lasma dan Imam tahu pasti terdapat di benak mereka, namun tidak pernah terucap. Dinda masih kecil, dalam keseharian Dinda terlihat tidak secerdas Aris, dan….. karena Dinda perempuan.
Lasma mempererat pelukannya dan ia mencium kepala mungil di pangkuannya. Ada keputusan yang mesti mereka ambil dalam waktu singkat, karena mereka bukan orang berada, yang dapat kapan saja membiayai pendidikan anak – anak. Namun dalam hati Lasma berjanji, “Semoga Tuhan mendengar keinginanku, karena setelah ini, aku akan membuatmu dapat terbang kemanapun cita dan cintamu berada, membahagiakanmu, dan kau bisa memilih tempat pendidikanmu, dimanapun itu, di tiap jengkal tanah di bumi ini . Nak, aku tidak akan mengorbankanmu untuk apapun,”
Angkot tiba – tiba berbelok ke samping dengan kecepatan kilat dan pada detik kedua kembali ke posisi semula, menghindari gundukan berupa karung plastik raksasa yang entah apa isinya. Lasma mendengar Dinda meringik. Aduh, dia mual, pikir Lasma. Dilihatnya wajah itu sepucat kapas. Namun tetap saja anak itu masih telihat cantik. Berbeda dengan kakaknya, Dinda mempunyai kulit yang putih bersih, dan wajah secantik dewi. Rambut hitam tebalnya terurai hingga nyaris menyentuh pundak mungilnya yang kini menegang.
Lasma menengok kearah suaminya yang saat itu juga sedang memandangi wajah si kecil dengan iba.
“Kang, tolong ambilkan kantong plastik di tas-ku,” ia melirik tas besar yang berada di sampingnya, yang secepat kilat dilakukan suaminya.
Lasma memandangi wajah mungil itu dengan cemas. Jangan tumpah dulu ya sayang, penumpang lain bisa mengumpatmu, dan aku tidak akan bisa terima itu, pikir Lasma. Namun ternyata hal itu tidak perlu Lasma cemaskan. Jelas terlihat Dinda sudah menahan diri selama kantong plastik untuknya belum tersedia. Dengan ketabahan penuh anak itu memandang ayahnya mengambil kantong plastic, membukanya, mengarahkan padanya. Setelah setengah wajahnya tenggelam dalam kantong, ia tahu inilah saatnya. Ia tidak perlu membuat malu kedua orang tuanya dan membuat penumpang lain terbakar emosi. Lasma tiba – tiba tersadar, selain cantik, putri kecilnya ini juga kuat.
“Sudah lega sayang ? Tolong kantong plastik-nya di dobel sebelum nanti kita buang diluar ya kang,” Ia menoleh kearah suaminya, sebelum kemudian ke arah putrinya lagi.
“Dinda mau naik kincir angin kan ? Trus habis itu makan arum manis ?”
Wajah mungil yang mulai merona merah itu mengangguk dengan mata berbinar.
“Kalau begitu yang kuat ya sayang, kan sudah mau sampai”
Dan si kecil-pun setuju, Sehebat apapun goncangan angkot , sekencang apapun lajunya, Dinda bertahan hingga sampai di tempat.
Menjelang mereka turun, sudah terlihat kincir angin Pasar Malam itu, meskipun mereka masih harus menyeberang jalan, dan kurang lebih dua menit berjalan kaki. Kedua anak – anaknya bersorak. Surga sudah terlihat, dan waktu menunjukkan jam 6.50 malam. Lasma-pun tiba – tiba terbawa suka, pun suaminya. Biasanya ada yang jual baju juga, pikirnya. Siapa tahu ada baju anak – anak yang murah. Dan rasanya ia juga ingin membelikan sepotong baju kemeja untuk suaminya. Baju – bajunya sudah kusam, sehingga seringkali kebingungan jika ada acara kondangan atau selamatan.
“Yah, biar aku yang bawa kantong plastik yang tadi. Aku cari tempat sampah buat buang,” Aris menawarkan jasa. Biar suka berkelahi, ia bukan anak yang tidak memahami kondisi keluarganya. Sekecil apapun tugas yang sekiranya bagi dia bisa menjadi sumbangsih dalam membantu kedua orang tuanya, ia akan lakukan. Imam tersenyum dan mengangguk. Lasma tiba – tiba teringat, baru dua minggu lalu mereka mendengar kabar dari salah satu guru Aris, bahwa anak itu sering terbakar emosi jika ada anggota keluarganya diejek kawan sekolahnya. Singkatnya, jangan sekali – kali membicarakan hal buruk mengenai Ibu, Ayah atau adiknya, atau tempat tinggal mereka maka ia akan menghadihi orang itu dengan bogem mentah.
Meskipun haru, Lasma dan Imam sering menasihati Aris untuk tidak melakukan hal itu, karena justru akan merugikan dirinya dan keluarganya. Akhir – akhir ini memang emosinya agak terkontrol, namun kenakalannya masih sering terjadi, yang terutama dipicu oleh keingin tahuannya yang besar akan berbagai hal. Membongkar pasang tape recorder, membuka sambungan saluran air di rumah mereka dan mengintip cafe internet yang berdinding kaca sehingga ia bisa sepuas hati melihat bagaimana orang membuka internet dan apa saja yang mereka buka adalah beberapa kegiatannya. Bagi mereka, itu adalah bagian dari konsekuensi dan tugas mereka untuk mengarahkan jagoan mereka untuk melakukannya demi tujuan yang baik.
Dan tibalah mereka di tempat itu. Berlari kecil Aris menyusul mereka setelah membuang kantong plastik tong sampah di pinggir jalan yang sampahnya telah membumbung. Kebahagiaan melingkupi keluarga itu. Aris tampak bersemangat dan tidak bisa diam, Dinda adiknya justru lebih tenang, meskipun wajahnya yang bersemu merah dan kedua bola matanya yang bersinar menunjukkan apa yang dirasakannya. Sejenak mereka berhenti di pinggir Pasar Malam, menikmati sensasi yang mereka rasakan, menatap segalanya. Tiba – tiba saja mereka merasa, segala halang rintang akan dapat mereka atasi bersama.
“Ayo, kita masuk ke dalam,” Imam mengajak, “ Nah, Aris sama Dinda mau naik apa dulu nih ?”
“KINCIR ANGIIIIN !!” kedua anaknya berteriak bersemangat.
“SIAAAP ! Kita semua menuju kincir angin !! “ Ayahnya ikut setengah berteriak dan disambut dengan ‘Hiyee’ yang meriah dari kedua putra putrinya.
Sampai di depan kincir angin, Lasma melihat Imam merogoh kantung celana panjangnya untuk meraih dompet. Semula ia tidak terlalu memperhatikan, namun tak urung ia menatap suaminya kembali lebih lama karena ada sesuatu yang aneh dari gerakannya.
“Ada apa kang ?”
“DOMPET ! Dompetku tidak ada !” dengan panik imam merogoh kantungnya lebih dalam, kanan dan kiri, dilanjutkan dengan menyisir perlahan jalan yang mereka lalui. Kedua anaknya terdiam tiba – tiba.
“Yang bener ? Tadi akang bawa ? Tidak ketinggalan di rumah?”
“Ya aku bawa laaah. Tadi bayar angkot kan masih buka dompet !”
Setelah beberapa saat, Imam memandang wajah istrinya dengan lesu dan entah mengapa ia melihat suaminya seperti nyaris menangis
“Las, aku kecopetan…..”
Keduanya menyadari kenyataan pahit itu, dan saling menatap. Mereka lemas. Lasma teringat kedua anaknya. Mereka harus kuat, mereka jangan dikecewakan.
“Kang…” bisiknya pada Imam. “Pakai uangku dulu saja untuk anak – anak. Ada di tasku…. Astaga ! TAS !!! YA TUHAAAN !”
Imam menutup mulutnya. Ia teringat pada tas tangan besar istrinya tadi diletakkan di bangku angkot. Tas dimana ia mengambil kantong plastik untuk Dinda. Dan gemerlapnya Pasar Malam rupanya membuat mereka melupakannya dan meninggalkan benda itu tetap berada di sana. Imam menggosok – gosok wajahnya dengan tangan.
“Aku bodoh. Bodoh. Mestinya aku lebih waspada, dan untuk tas-mu mestinya aku lebih memperhatikan sementara kau menggendong Dinda… Ya Tuhan,”
Lasma sejenak seperti berdiri di awang – awang. Hasil kerja suaminya selama hampir seminggu, hasil kerjanya selama tiga hari. KTP, SIM, beberapa surat penting, tas-nya, baju ganti Dinda, raib, Yang paling menyakitkan adalah pikiran bahwa mereka harus mengecewakan kedua anaknya.
“Jadi untuk angkot pulang juga tidak ada uang kang ?” ujar Lasma lesu.
Imam merogoh kantong. Beberapa lembar ribuan dan receh masih ada, jumlahnya Rp. 5.500,-.
“Kita bisa naik angkot sekali, dan dari jalan Haji Toyib kita jalan kaki ke rumah,” Dan ia tahu, itu berarti kemungkinan mereka harus berjalan hamper dua kilometer jauhnya.
“ Ya sudah kang, masih bisa pulang masih bersyukur,”
Imam menghadap pada anak – anaknya, nyaris tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Entah mengapa ia merasa keduanya memahami situasi itu.
“Tidak jadi ya Yah ?”
Ayahnya terdiam. Mencoba mengumpulkan kata – kata.
“Besok – besok juga ga apa – apa kok. Pasar Malam biasanya buka sampai dua minggu. Siapa tahu malah besok Pasar Malam yang dekat rumah buka lagi, jadinya ga perlu naik angkot. Jadinya Dinda ga muntah – muntah, dan Ibu sama Ayah bisa bawa duit secukupnya saja.”
Lasma dan Imam tidak dapat berkata – kata. Detik berikutnya mereka saling berpandangan dengan sejuta makna yang mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu artinya.
Lasma memeluk Dinda erat – erat. Anak itu balas memeluk perlahan. Imam menggandeng tangan Aris,
Mereka pulang kembali ke rumah.

***