Kamis, April 24, 2008

Orlando, Engkaulah Matahari !

Pada suatu masa yang belum terlalu lama meninggalkan kita, kita dapat menemui seorang lelaki muda yang suka membuat orang lain senang dengna melakukan hal – hal sederhana. Layaknya, beberapa orang menyukainya, dan beberpa yang lain justru mencurigainya. Namun, pada kenyataannya, kebanyakan dari mereka menganggapnya biasa – biasa saja. Diantara kepala – kepala hitam yang mengetahui keberadaanya, tersebutlah seorang perempuan cantik bernama : Lyn. Perempuan muda yang rumahnya berhadapan dengan tempat tinggal pemuda itu. Perempuan muda berusia 18 tahun. Perempuan muda dengan puluhan laki – laki di belakangnya, yang pernah mendambakan cinta darinya. Dan lepas dari mereka, ia memilih pemuda itu untuk ia puja. Betapa puluhan belaian, ratusan anggukan, ribuan senyuman, dan jutaan keringan tangan-an pemuda itu tidak pernah lepas dari mata Lyn. Siang malam Lyn memimpikannya, mendambakannya, membisikkan namanya. Hanya itu. Tidak ada tindakan lebih jauh. Hanya jendela kamarnya yang menjadi teropong terbaiknya. Busur cintanya. Paling – paling, tindakannya yang paling hebat adalah menunggui pemuda itu di teras depan rumahnya sendiri. Berpura – pura menyiram tanaman atau membaca, ia nikmati sepenuh hati senyuman lelaki itu sesekali kala kebetulan ia menoleh pada Lyn.
Demikianlah. Bagi Lyn, jendela kamarnya adalah jendela dunia, dan pemuda itu adalah dunianya. Diamata Lyn, pemuda itu adalah perwujudan manusia yang sempurna. Wajahnya tampan dengan kulit terang bersih, rambut tebal, ditengahi dengan pandangan mata dan senyum yang menghanyutkan. Merasa ada yang kurang, Lyn kemudian berusaha mengingat – ingat siapa namanya. Dan iapun tiba – tiba terhenyak sebelum kemudian tertawa. ORLANDO ! ya, bagaimana ia bisa lupa ! Namanya Orlando !
“Benar, Bunda ! Orlando ! Masa Bunda tidak tahu ? Bukannya ibu kenal dia?!” begitu tegasnya suatu kali, saat dilihatnya sang Bunda sedikit mengerutkan kening.
“Bunda, hari ini Lando pergi ke tempat kerjanya pakai baju biru laut yang aku suka itu. Cakep deh ! Eh, kenapa ya tiap sore dia pergi ke jalan Mangaan bawa bungkusan ? “ suatu kali ia pernah bertanya pada ibunya. Orang yang setidaknya mau mendengarkan segala puja pujinya untuk pemuda itu meski untuk 5 atau 10 menit saja.
Biasanya sang ibu hanya menatapnya dalam – dalam, tersenyum kecil.
“Iya sayangku. Dia sayang sekali sama ibu anak gelandangan yang tidur di emperan toko Cik Yan. Dia bawakan kue – kue, nasi plus lauk tiap sore” entah mengapa Lyn melihat kelelahan di mata ibunya saat berbicara, meski kemudian beliau tersenyum, “Apa sih yang sebenarnya ingin kamu ketahui tentang dia?”
Hening.
“Apa dia udah punya pacar ya Bunda ?” akhirnya ia berkata dengan wajah memerah.
“ Sepertinya belum, sayangku. Kan kau lihat sendiri ia tidak belum pernah terlihat mesra dengan perempuan ?!” perempuan setengah baya itu berkata sambil beranjak. Sebelum benar – benar meninggalkan putrinya, sempat terlihat kilauan yang sedikit menyilaukan dari mata Lyn.
Sesaat setelah ibunya berlalu, senyum perempuan muda itu menyurut. Ada rasa kesal dan ketidak mengertian yang besar dikarenakan ia merasa orang – orang di sekitanya kurang dapat memahami apa yang tengah bergejolak di hatinya. Seakan semua orang di rumah ini berteriak tatkala suatu hari nanti Lyn bisa mendampingi pemuda itu. Seakan seluruh dunia akan mampu melakukan hal – hal besar yang memungkinkan keduanya tidak dapat bersatu. Hmm, TIDAK DAPAT DIBIARKAN !!
Dan …. karena itulah kemudian Lyn tiba – tiba saja ingin menjadi salah seorang dari para wanita pejuang cinta yang pernah dikenalnya. Seperti Juliet, seperti Satine, seperti Rose, seperti Eng Tay, seperti Shinta, seperti Sayekti. Apapaun yang akan terjadi, siapapun yang kelak menghalangi, ia akan tetap maju ke depan ! Berusaha untuk tetap bertahan demi seorang Orlando !! Ya, aku harus berjuang !! begitu Lyn bertekad.
Dengan begitu, maka iapun tak goyah tatkala kakak perempuannya berujar sinis,
“Kamu mengharapkan laki – laki yang tak mungkin !”
“Tidak mungkin apanya ??! Segalanya serba mungkin ! Lagipula kan Orlando hanya sebatas beberapa langkah kita dari depan rumah !”
“HAH ?? ORLANDO ??”
“Iya ! Memang kenapa ? Namanya kan memang Orlando !”
“Mmmh !” sang kakak mencibir, “Coba lihat kiri kananmu di dinding kamar ini ! Hampir di tiap sudut kamar kamu pasang poster dan fotonya ! Dengar ya, bukankah kamu namai dia dengan nama Orlando, karena kamu demen setengah mati dengan Orlando Bloom, yang bintang film itu ??!!”
“BUKAN!! Kakak jangan mengada- ada ! Namanya memeng Orlando, dan aku tahu persis siapa dia !” Lyn membantah sengit.
Sang kakaku memandangnya dengan pandangan aneh. Entah benar entah tidak, Lyn menangkap sedikit pandangan jijik, iba dan tidak percaya, bahkan ia sampai berkaca- kaca. Jarang kakaknya bisa sampai berkaca – kaca.
“Kamu.. adalah sesuatu yang tidak mungkin ! Kamu terlalu sering mengurung diri di kamar ! Kamu perlu keluar, Lyn. Ikutlah aku jalan – jalan. Cobalah bergaul lagi, Lyn. Kamu banyak berubah !”
“Kakak yang mesti banyak bergaul ! Buktinya, nama tetangga depan rumah saja tidak tahu !”
Dan Lyn tahu, kakak perempuannya kali ini menyerah. Seperti biasanya. Seperti yang lain pula, akhirnya sang kaka beranjak berlalu meninggalkan Lyn. Lyn tahu ia membutuhkan jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di batinnya, tapi jelas bukan dari ibunya, kakak atau Min, pembantu rumah tangganya.
Kemudian, bersualah Lyn dengan Ibu Ros dan Ibu Yun di teras rumahnya pada suatu sore. Kawan – kawan ibunya, yang kebetulan juga tetangga mereka. Dua ibu – ibu yang akan mencibir bila orang lain melakukan hal baik maupun buruk. Tidak ada bedanya. Meskipun hal – hal itu belum tentu benar pada kenyataannya. Namun, nama Orlando tiada pernah tersebut oleh mereka. Padahal Lyn berani sumpah, tidak ada seorangpun di lingkungan kompleks perumahan itu yang luput dari bahan pembicaraaan mereka. Apalagi bila tetangga- tetangga yang mereka bicarakan itu adalah orang kaya, punya pengaruh, cantik, tampan, genit, punya istri banyak, punya suami banyak, punya rumah banyak, punya mobil banyak, puya anak banyak, punya anjing banyak ! BAH !!
Apa iya dia seorang Santo ? Dermawan mulian ? Lelaki sejati ?
Tidak mungkin.
Tempo hari pernah mereka bicarakan dengan nada dengki tentang pak Tio yang menyumbangkan tanahnya untuk dibuat panti asuhan. Atau kisah ibu Nar yang tiap selepas Subuh berkeliling menawarkan sarapan berupa kue dan nasi bungkus nikmat teruntuk tukang sampah, tukang beca atau gelandangan. Tapi bukan tentang Orlando.
Lalu apa sebaliknya-lah yang lelaki itu lakukan ? Apa dia suka main perempuan ? Suka berjudi ? Mafia ? Bandar narkoba ? Pembunih berdarah dingin ? Pemerkosa ? Banci ?
Lyn bergidik membayangkannya, namun kemudian dengan pasti mencoret nama Orlando dari daftar itu. Ia yakin Orlando bukan yang semacam itu, meski bisa saja ia menyembunyikannya dari publik. Kalaupun ada kecurigaan itu, Orlando pasti sudah menjadi sasaran empuk mereka.
“Nak, buka matamu lebar – lebar sayang. Masa sih, orang seperti dia bisa kamu puja – puja setinggi langit ?! Jangan bercanda, ah ! Coba deh, jalan – jalan, cari pemandangan lain. Mandra saja masih jauh lebih mending “ begitu kata Ibu Ros sambil terkikik.
“Masa depan suram kalau kamu jadi sama dia, Nak ! Jangankan ngajak nonton atau membelikanmu baju atau perhiasan ! Cuman jalan – jalan seputar kompleks ini aja susah ! Ha ha ha ha ha !!!” kedua ibu itu tertawa.
“Mau ibu kenalkan dengan ponakan ibu ? Meskipun duda, masih tetap lelaki normal dia !” ibu Yun menimpali.
Mendengar itu, meskipun terheran – heran dengan apa yang mereka katakana, ‘daya juang’ Lyn bangkit.
“Tidak, terima kasih ibu – ibu ! Saya hanya memilih pemuda itu !” begitu ujarnya sambil berlalu meninggalkan kedua ibu itu saling berpandangan. Lyn terrsenyum. Ah, paling –paling sekarang aku jadi sasaran gossip mereka ! Tak akan jauh lebih buruk dari itu, pikir Lyn.
Senyum Lyn masih mengembang tatkala perlahan ia memasuki rumah. Entah mengapa saat ini perasaanya justru makin berbunga – bunga. Rasa gembira yang aneh. Ingin ia bergegas masuk ke kamarnya untuk melihat sang pujaan hati pulang kerja, tatkala ia lihat ibunya duduk di sofa ruang tengah, tepekur membaca.
“Sore bunda !! Cerah sekali sore ini ya ? Masih belum kelar Mansfield Park-nya ?” sapanya riang.
Ibunya tersenyum. Lyn perlahan mendekat dan tiba – tiba sedikit terburu – buru menunduk berusaha mencium pipi ibunya. Sebuah gerakan dan agak mendadak, dan cukup dapat membuatnya oleng. Terdengar bunyi benda terjatuh. Ibunya terkejut. Sekonyong bangkit dengan satu tangan mencengkeram lengan putrinya, dan tangan lain berusaha dengan payah meraih benda yang terjatuh tadi.
Sebuah penyangga kaki.
“Duh, hati – hati dong sayang ! Kamu semangat sekali !” ujar sang ibu ketika penyangga kaki tadi sudah berada pada tempatnya. Sang ibu mengelus wajah putrinya. Kini teraba dan terlihat jelas bekas jahitan panjang dari pelipis hingga pipi ranum gadis itu.
Lyn tersenyum lebar, sebelum kemudian membalikkan badan dan perlahan menuju kamar, membuka pintunya dan berbalik kembali untuk menutup pintu. Sebelum pintu kamarnya benar – benar menutup, sempat satu kerlingan ia arahkan ke sang ibu yang masih berdiri menyaksikannya memasuki kamar. Sempat dilihatnya ekspresi aneh dari ibunya saat itu.

***
Bunda kini tengah menatap pintu yang tertutup.
Perasaan seperti baru tersambar petir baru saja ia rasakan. Nafasnya tiba – tiba menjadi sesak. Beliau terduduk. Di tengah sengalnya, didengarnya pintu depan diketuk. Didengarnya suara dua wanita yang dikenalnya. Ros dan Yun.
Ia menghela nafas. Dua wanita itu sering sekali memperlakukannya seperti ‘tong sampah’. Ia tahu, Lyn berfikir ia dekat dengan keduanya. Hmmh, hanya masalah sopan santun dan etika saja. Setengah berbisik ia memanggil pembantu rumah tangganya yang kebetulan tengah berada di meja makan yang berada bersebelahan dengan ruang tengah. Ia tengah menyiapkan sajian teh jahe hangat kesukaan keluarga tempat ia bekerja.
“Sstt, Min !” dilihatnya sang majikan melambai. Dengan langkah sedikit tergesa Min mendekat.
“Bilang ke mereka, aku sedang ke supermarket beli keperluan bulanan atau kemana gitu, ya..” Min mengangguk dan segara melaksanakan perintah majikannya.
Bunda menghela nafas panjang, merasakan nafasnya yang sudah mulai normal kembali. Ia memejamkan mata. Dapat didengarnya percakapan singkat Min dengan kedua ibu itu. Pikiran Bunda menerawang diwaktu – waktu yang seakan telah berabad lalu ia tinggalkan, seperti sebuah mimpi buruk layaknya.
Kecelakaan itu.
Sebelum kecelakaan itu terjadi, Lyn adalah gadis dengan kecantikan fisik yang kata orang nyaris sempurna. Daya tarik-nya pun luar biasa. Ia menjadi pujaan hampir semua lelaki di sekolah maupun di lingkungan sekitarnya. Dan bahkan banyak diantara mereka yang tiada juga beranjak, tatkala mereka menemui kenyataan bahwa hati Lyn, tidaklah secantik wajahnya. Rupanya kemolekan jasmani dapat sedemikian membius.
Bunda menghela nafas kembali. Anak gadisnya itu memang dulu tinggi hati, sinis pada yang tak berpunya, suka menghamburkan uang, bersenang – senang. Ekonomi keluarga mereka yang berkecukupan, terlebih sebelum ayah Lyn bercerai dengan Bunda, juga menjadi pemicu terbesar. Itu belum termasuk wajahnya yang cantik dan pintar. Bunda merasa ada yang salah dari cara ia mendidik anak gadisnya itu, Rasanya, apapun akan Bunda lakukan untuk dapat merubahnya.
Kamdian terjadilah peristiwa itu. Sebuah kecelakaan yang meminta sebelah kaki Lyn untu diamputasi, ditambah denga luka menganga di bagian pelipis hingga pipinya yang menghadiahinya bekas jahitan panjang yang mungkin tidak akan pernah hilang bekasnya. Belum lagi kemudian diketahui bahwa kondisi kejiwaan Lyn-pun agak terganggu. Pernah sekurang – kurangnya, tiga kali seminggu Bunda harus mengantar Lyn ke dokter maupun ke psikiater. Ah, segalanya memang tidak perlu dirubah, hanya perlu diperbaiki. Begitu Bunda bertekad. Anak gadisnya masih tetap cantik, dan juga tidak gila. Hanya kepribadiannya yang lama, seakan telah terkubur dalam. Mungkin ini pertanda baik. Mungkin hanya diperlukan usaha yang lebih keras lagi, pikir Bunda.
Dan saat itulah Bunda teringat akan pemuda itu.
Bunda menutup matanya rapat.
Lyn memuja anak muda itu.
Oh ya, tentu saja Bunda tahu siapa dia.
Terbayang di pelupuk mata Bunda, wajah pemuda itu. Tubuhnya mungil, kurus dan hitam. Rambutnya kasar dan jarang. Barisan atas dari gigi kuningnya agak menonjol ke depan, sehingga terkadang menyulitkannya untuk berbicara dengan jelas. Mata terlalu besar untuk ukuran wajahnya yang mungil. Ia berjalan pincang, karena satu kakiknya lebih kecil dari kaki yang lain. Ia adalah putra dari suami istri pengurus rumah tangga dari keluarga Singgih yang tinggal di depan rumah mereka. Keluarga miskin yang bersahaja dan setia. Sepadan dengan keluarga Singgih yang baik hati, pada siapa mereka bekerja. Sebelum bekerja pada keluarga Singgih, sempat si anak mereka ajak tinggal pada kelurga dimana mereka bekerja. Namun ternyata keluarga itu merasa jijik padanya, sehingga anak muda itu mereka titipkan di kampung. Beberapa tahun lalu pemuda itu tinggal bersama sang nenek di kampung. Setelah sang nenek wafat, ia tinggal dengan keluarga pamannya. Putus sekolah, dan menjadi bahan olok- olok dari orang – orang di sekitanya. Suatu kali sang paman mengabarkan ke kota, bahwa ia tidak lagi mampu hidup dengan anak muda itu, karena tak kuat menaggung malu. Belum lagi mereka menilai, usaha jahitan mereka menyepi juga dikarenakan adanya pemuda itu. Orang – orang yang bertandang untuk mengirimkan bahan jahitan merasa malas dan jijik melihat pemuda itu sering mengorek koreng.
Mendengar itu, keluarga Singgih mengundang anak itu untuk datang berkunjung, dan meimintanya untuk tinggal bersama orang tuanya. Ia diberi pekerjaan di peternakan milik Pak Singgih. Tiap pagi hingga menjelang Maghrib ia bekerja di sana. Bunda tahu betul hatinya seputih salju, dan juga rajin. Seakan bila ia mampu memindahkan gunung, maka akan ia lakukan untuk dapat membantu orang lain, tampa pamrih. Lagipula ia juga bukan anak yang bodoh. Sesuatu yang sangat sulit untuk dapat terlihat dengan jelas.
Namanya ? Ya, tentu saja Bunda ingat. Namanya SULAT. Sebuah nama yang aneh. Mungkin memang sebaiknya ia gunakan saja nama Orlando pemberian Lyn, atau dihadiahi nama – nama indah yang lain, mengingat betapa indah pribadinya. Namun ternyata, hanya segelintir orang saja yang mampu melihat keindahan sejati itu dengan jelas, dan salah satunya adalah putrinya sendiri, Lyn.

***
Bola mata Lyn bersinar tatkala pandangannya tertuju pada sosok di balik jendela kamarnya. Beberapa langkah di depan rumahnya. Terseok – seok menuju pintu pagar rumah di depan rumah Lyn. Kulitnya hitamnya melegam terpanggang sinar matahari. Agak bersisik bersimbah keringat. Kala itu seseorang melewati depan rumahnya, dan berusaha ia sapa dengan ramah. Sepertinya ia kini sedang tersenyum lebar, karena barisan gigi kuningnya tampak jelas.Rambut kasarnya yang tampak lebih kusut, kali ini dihiasi beberapa batang jerami. Bukan pemandangan indah bagi sebagian orang. Mungkin yang ada hanya rasa jijik atau iba.
Tapi ada sinir pesona yang mengubah pemandangan di seberang jalan itu, dan jatuh ke bola mata indah milik Lyn. Lalu coba kita berkaca pada bola mata itu, dan menatap metamorfosa mengejutkan di dalamnya. Betapa sosok di seberang jalan itu kini tampak begitu mempesona, begitu cantik. Begitu cemerlang dalam sosok lelaki yang luar biasa tampan bersinar. Tubuhnya jangkung dengan rambut yang indah, hidung mancung dan sinar mata ramah yang bahkan terlihat ikut menebar senyum. Kita tidak akan mampu menandingi pesonanya. Kita akan tertangkap arusnya.
Ah, andai saja engkau bisa melihatnya !
Tapi kau tak bisa melihat itu dari wajahnya.
Tapi ada yang bisa engkau lihat.
Lihatlah Lyn yang baru saja menangkap sosok malaikat di matanya.
Dari sini engkau bisa melihat : gadis manis kita, kini sedang jatuh cinta.


***********





Tidak ada komentar: