Selasa, Oktober 07, 2008

A Nite To Remember

Malam tanggal 15 July, merupakan malam yang istimewa buat gw. Gw, suami dan adik ipar gw mendapat undangan untuk hadir pada premier pemutaran film horror kita berjudul : KARMA.
Terlepas dari pendapat gw mengenai jalan cerita film itu yang gw anggap istimewa, yang gw pengen sharing adalah suasana yang lihat dan rasakan saat moment sbelum dan sesudah pemutaran premier show itu berlangsung.
Kami bertiga masuk ke lobby bioskop di Plaza Ex pada sekitar jam 19.45 WIB. Suasana sudah mulai ramai. Mega poster Karma dipasang di sudut luar lobby. Poster ini bisa dimaksudkan untuk banyak keperluan, termasuk untuk foto – foto dan wawancara dengan para pendukung filmnya. Pada jam 20.00 hingga menjelang pemutaran film pada jam 21.30, sesi foto dan interview berlangsung. Gw berasa berada di tengah pusaran badai dan bersiap bertabrakan dengan benda2 yang turut melayang bersamanya. Dengan ‘sadis’ tubuh gw berkali – kali terhantam bahu orang – orang yang kebanyakan para pemburu berita dan wartawan gossip yang mengejar deadline. Tapi siapa yang perduli. Gw maklum benar dengan kondisi itu.
Gw melayangkan pandangan dan lihat wajah – wajah mempesona bertebaran dimana – mana. Kami beramah tamah dengan beberapa kenalan kami disana, seraya menyebar pandangan ke sepanjang ruang mencari wajah – wajah pujaan kami. Wajah – wajah mereka nyaris tidak pernah kita temui di layar sinetron (apalagi yang stripping) sehingga kemungkinan besar sebagian orang akan asing mendengar nama : Verdi Solaiman, Tizza Radia, Ario Wahab, Jenny Chan, Dominique Diyose, Poppy Sovia, Lukman Sardi, Joe Taslim, Jonathan Mulya, Sita Nursanti atau Yama Carlos. Setiap sudut ruang selalu terisi sorot kamera dan para artis yang bercuap – cuap. Gw pribadi sudah cukup puas karena sudah sempat bertegur sapa dan berfoto dengan idola gw Lukman Sardi, meskipun sutradara pujaan gw, Joko Anwar, tidak hadir.
Tibalah saat pertunjukan akan segera dimulai.
Keriuhan penonton yang masuk ke dalam ruangan teater tidak jauh berbeda dengan riuhnya penonton pertunjukan regular yang kita kenal, hanya bedanya selain bahwa hampir tiap kursi yang tersedia terisi dan 75% diantaranya adalah para praktisi film.
Perasaan gw luar biasa.
Suami gw yang duduk di sebelah kanan gw seperti kejatuhan durian runtuh tatkala menemui bahwa orang yang duduk di sebelahnya adalah Aksan Syuman, salah satu musisi favoritnya. Dan mengobrollah mereka dengan seru.
Adik ipar di sebelah kiri gw sempat bertegur sapa dengan Ira Wibowo yang duduk disebelahnya.
Gw ? Mereka meninggalkan gw yang duduk diantara mereka berdua. Manyun.
Saat lampu dalam ruangan bioskop mulai meredup dan gelap, suara gw muncul! (he he )Yeah, secara gw adalah pengisi suara untuk radio spot film ini. Saat radio spot diputar, terlihat mulai muncul kepala – kepala dalam keremangan, siap berada di depan screen.
Lampu tiba – tiba menyala sebagian, dan tampak berjejer di depan layar adalah film maker, crew dan cast dari Karma. Penonton bertepuk tangan.
Satu persatu orang – orang yang terlibat di dalam film tersebut disebutkan namanya dan tiap nama – nama itu disebut, penonton kembali memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan. Bahkan untuk beberapa person yang terlibat namun tidak ikut maju ke depan layar, juga akan dihadiahi tepukan tangan saat nama mereka muncul pada opening credit.
Sangat istimewa.
Aaaah… betapa sebuah karya begitu berharga dan patut dihargai.
Film-pun diputar.
Dan sepanjang pemutarannya, gw bisa merasakan betapa teriakan tertahan, emosi yang tampak dan tersamar yang terungkap dari sikap penonton yang menunjukkan mereka terbawa pada alur cerita merupakan kebanggaan bagi film maker-nya.
Saat pertunjukan berakhir, penonton kembali bertepuk tangan.
Seperti biasa, gw dan suami tetap di tempat sampai saat end credit berakhir. Hal ini selalu kami lakukan, pun pada saat kami menonton pertunjukan film regular. Kami selalu excite meneliti satu persatu nama yang terlibat dalam setiap pertunjukan film dan seringkali diikuti ekspresi bete dari petugas bioskop yang siap membersihkan ruang demi persiapan pertunjukan selanjutnya yang siap digelar kembali.
Bedanya, malam itu semua beranjak setelah end credit berakhir.
Orang – orang yang terlibat di dalam Karma kontan diberi selamat dan mungkin juga hmm…. menebar tanda – tanda untuk bekerja sama dalam proyek selanjutnya.
Setelah itu, sesi foto dan wawancara masih berlangsung hingga menjelang tengah malam.
Sebelum pulang, kami mengucapkan terima kasih, mengacungkan jempol padanya sekaligus berpamitan pada seorang kawan kami yang baik hati.
Dan akhirnya, tibalah saatnya kami pulang dengan membawa souvenir dari Karma berupa tas, kaos, poster, amplop angpao berisi foto salah satu cast dan donat dari sponsor.

Malam yang istimewa.

Minggu, Oktober 05, 2008

Two Different World

Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah. Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah

Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah. Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah

Selasa, Juni 10, 2008

Suatu Hari Saat Langit Kelabu

Elephant
Directed By : Gus Van Sant
Cast : Alex Frost, Eric Deulen, Elias McConnell

Image and video hosting by TinyPic

….. ..Alex enters the cafeteria and sits down (where he has apparently already opened fire, as a body can be seen in the background). Eric meets up with him, and they have a brief conversation, after which Alex shoots Eric in mid-sentence. Alex then leaves the cafeteria, showing no emotion over shooting Eric, and discovers Carrie and Nathan in a freezer. He tauntingly recites Eeny, meeny, miny, moe to them to decide whom he should kill first. The film then ends without resolution; the last shot of the film is similar to the opening, a cloudy blue sky.


My Note :

Film ini katanya controversial, dan merupakan adaptasi bebas dari peristiwa Columbine High School massacre yang menghebohkan itu. Seperti yang mungkin sudah kamu tahu, peristiwa permbunuhan yang terjadi di kota Littleton, Colorado tersebut dilakukan oleh dua orang murid SMA bernama Dylan Klebold & Eric Harris dan ‘sukses’ membunuh 12 murid lain, seorang guru dan mereka berdua sendiri terbunuh. Gus Van Sant meng-adaptasi real event itu dengan sebebas – bebasnya, termasuk dari cara penyutradaraannya. Gue dapet film ini dari suami gue yang kebetulan download film ini. Nonton sekali, gue cuma kuat sampai seperempat jam saja. Gaya penyutradaraannya benar – benar melelahkan, nyaris membosankan untuk diikuti. Selain memang lambat, banyak adegan – adegan ga penting yang muncul. Ngapain coba dia shoot awan di angkasa sampai satu menit (jangan – jangan lebih ) Kurang lebih satu minggu setelahnya gue tertantang untuk menuntaskannya. Dan kali ini, gue tidak bergeming. Setelah mengikutinya secara utuh, gue baru bisa merasakan kenikmatannya. Ada gaya penyutradaraannya di film ini yang paling gue suka, yang juga gue temui di film Memento, November, 11:14 atau Before The Devil Knows You’re Dead (mungkin ada yang lain ?). Gue menyebut keempat film itu, karena gue suka setengah mati. Alur-nya yang maju mundur, sambung menyambung dan mengisahkan banyak kepala, sangat menyenangkan untuk diikuti.
Soal cerita, feel-nya juga indie banget. Kamu mungkin akan terkaget – kaget melihat kehidupan anak – anak sekolah seperti casts di film ini (especially untuk 2 anak yang melakukan penembakan tersebut).
Menurut gue, justru dibuat dengan semangat indie maka film ini terlihat real. Tidak dibuat – buat. Apalagi first names untuk karakter dalam film ini kebanyakan tidak berubah dari nama asli mereka.
Gue ga tahu dimana saja film ini diputar, diedarkan atau memang perlukah sebuah promosi. Kalo dari segi komersialitas sih film ini jauh. Ga mungkin bikin film ini untuk cari untung. Tapi ga tahu juga ya kalo banyak yang tertarik dikarenakan magnet real event dari Columbine massacre.
Tapi yang jelas, film ini membuat gue kepingin nonton film – film sejenis, atau paling tidak film – film non Hollywood yang lain.
Yang jelas, film yang diproduseri Diane Keaton ini sangat menarik untuk diikuti.
Ini adalah foto dari kejadian The Columbine Massacre
Image and video hosting by TinyPic

Selasa, Mei 13, 2008

Re - Birth

Sekarang ini gue baru bantuin adik gue bikin film indie, judulnya Re-Birth. Bukan ngebantuin juga sih, cuman kebetulan sesekali dimintai saran, karena katanya mengingat gue pemerhati film dan pernah gabung di salah satu production house yang memproduksi sandiwara radio.Nyambung ?? Mungkin juga ngga, tetapi bisa juga iya. Paling tidak gue tahu bahwa sebelum acara Reading dimulai, sebaiknya kita senam mulut terlebih dahulu agar tiap kata yang kita produksi jelas artikulasi-nya dan tidak belibet. Gue juga tahu bahwa sebaiknya seluruh cast konsentrasi penuh pada tiap adegan pada saat reading, bahkan pada saat scene dimana kita tidak ada atau bukan scene disaat kita perlu berdialog, supaya kita lebih ‘in’ pada keseluruhan cerita. Dan gue tahu, acting itu capek, jadi kondisi kesehatan juga mesti prima. Sama dengan tahunya gue kalo orang diminta ngomong terus itu capek. Itu gue alami sewaktu pernah membawakan acara talk show selama satu jam penuh. Meskipun tergunting iklan, gue tetap berasa tenaga terkuras.
Image and video hosting by TinyPicSelebihnya ? Hmm.. rasanya gue belum pernah terlibat pembuatan film yang serius, sehingga bisa dibilang pengetahuan gue nol. Tapi karena gue pemerhati film, dan kebetulan juga punya temen orang film, yah paling tidak gue tahu sedikiiit apa itu reading, perlunya story board, mengerti bahwa setiap posisi personel itu penting, dari mulai produser, sampai dengan bagian umum.
Adek gue dan kawan – kawannya bekerja di stasiun TV swasta, dan mereka jauh lebih tahu mengenai proses produksi sebuah acara, dan ini membantu banyak dalam mereka membuat sebuah film indie.
Selebihnya, adalah kemauan dan kerja keras.
Tatkala personil inti telah menyiapkan segalanya, sekarang hanya tinggal pelaksanaan. Lepas masa penggodokan ide, brainstorming, casting dan hunting lokasi yang melelahkan, tiba masa reading yang berjalan parallel dengan pembuatan story board. Saat itu bulan April dan kita berencana reading 4x sebelum kemudian GR, fitting dan foto untuk poster film. Gue sendiri takjub. Mereka serius kali ini, batin gue. Reading berlangsung dua kali dan sukses, meskipun harus ‘menyingkirkan’ satu pemeran karena dianggap kurang serius. Padahal ia pegang peran utama. Casting ulang yang melelahkan akan kembali diberlakukan tatkala gue usul kalau salah satu pemeran pembantu ditarik, karena anak ini sudah pernah main sinetron. Mengingat yang dibutuhkan adalah pemeran utama wanita, gue usulkan dia karena akan lebih mudah mencari pemeran pengganti dengan dialog sederhana daripada pencari pemeran utama.
Apakah gue ikutan main ?
Yeah, film ini adalah film teenage action dengan semangat manga. Gue ga mungkin main sebagai peran utama maupun peran pembantu jika tidak diperlukan peran mature di situ. Gue sudah bersorak kegirangan saat didapuk untuk menjadi seorang wanita karir yang kebetulan lembur hingga nyaris tengah malam, dikejar – kejar monster dan nyaris mati ! :p
Yang gue perlukan cuma fisik yang prima karena mesti lari – lari dalam jarak yang lumayan jauh dan rute yang ga mudah, disertai ekspresi yang harus membuat penonton ikut merasa ngeri. Seperti korban2 dalam film horror slasher kan ?!:p
Aaah, gue seneng banget.
Hanya saja, kelar dua kali reading, permasalahan mulai bermunculan. Masalah tempat, masalah pribadi, dll. Akhirnya proses reading macet. Adek gue memutuskan untuk melakukan hal yang secepatnya bisa dilakukan.Ia melakukan personal reading dengan siapa saja yang dapat ia temui. Rencana syuting di bulan Mei-pun batal, diundur hingga akhir Juni atau awal Juli. Dia optimis jadi, sementara terus terang gue khawatir jika terlalu lama tertunda, film ini akan terbengkalai. Mengingat kerja keras dan pencapaian-nya, hal itu jangan sampai terjadi. Apalagi mereka men-targetkan film ini bisa ikut festival dan diputar di Blitz.
Yang bisa gue lakukan adalah sering – sering menelpon-nya sebagai reminder.
Pokoknya jangan sampai gagal apalagi batal sama sekali.

Senin, Mei 12, 2008

Nobody's Perfect

Kamu pasti sangat meng-akrabi quote : tidak ada manusia yang sempurna, atau nobody’s perfect atau apalah itu. Gue juga. Namun tetap saja gue tidak jarang merasa minder menghadapi orang – orang yang gue anggap ‘lebih’ sebelum kemudian gue kenal dekat dengan orang tersebut.
Di kota Solo (kota tempat kelahiran gue dan tempat gue tinggal selama 15 tahun, more or less ), gue ga terlalu banyak ketemu jenis – jenis pribadi unik dan menarik, sementara di Jakarta sini, mereka ada dimana - mana.
Di tempat gue kerja, ada seorang yang menurut gue punya banyak potensi yang bisa membuatnya dapat menguasai banyak hal.
Kondisi orang tuanya yang cukup, tempat kuliahnya dulu yang merupakan salah satu universitas swasta ternama di Jakarta, betapa ia mencintai dunia seni dan menjadi salah satu aktifis gereja, betapa ia mengajari anak-anak menari, dan betapa rasa toleran, helpful dan no negative thinking-nya membuatnya semakin disayang (meskipun dia sering disebut sebagai : girl with no expression :p).
Saat ini, dia sedang cari kerja di Singapura. Gayanya yang santai membuatnya seolah tidak gentar pada aral apapun. Entah manusia ke berapa yang menasehati dia jika mencari kerja di luar negeri, tidak bisa main gedubrak beres. Tapi dia cuek aja tuh. Gue rasa kalo sekarang dia dilepas di kutub utara pun juga dia tetep cuek, dan bisa survive
Seharusnya dengan kondisi dan pergaulannya, ia bisa saja memiliki segalanya.

Gue ingat siang itu gue, dia dan seorang sahabat lagi, sedang berjalan menuju mal untuk makan siang (sumpah makan siang di mal boros benget). Kita berbicara soal mobil, karena kebetulan temen gue yang satu lagi menangani salah satu benefit yang bisa diterima oleh karyawan yang bekerja di tempat gue, yaitu fasilitas kepemilikan mobil.
“Apa sih mobil yang sekarang paling laku ?” tanya gue
“Avanza. Untuk yang plafon lebih besar sih City. Ada juga lho, yang kekeuh pengen pesen mobil Amerika,” jawab temen gue yang urus soal mobil itu.
“Mungkin karena mobil Amerika katanya lebih kuat, neng. Contohnya Ford gitu,” jawab gue.
“Bukannya lebih bagus mobil Eropa ya ?” timpalnya lagi.
Tiba – tiba teman gue yang menjadi pembicaraan gue di awal artikel ini, yang semula diam, mulai bicara
“Hah ? Amerika dan Eropa ?”
“Iya, mobil Amerika katanya lebih awet daripada mobil Eropa. Tapi ga tau juga deh. Tapi di sini sih tetep mobil Jepang yang paling laku,” gue dan temen yang urus mobil itu menjawab.
Gadis sempurna gue itu tiba – tiba mengerutkan kening.
“Jadi Eropa dan Amerika itu beda ya ??”
“?????”
“Hua ha ha ha ha !!” dengan jahatnya kita berdua tertawa, tanpa bermaksud untuk menghina.
Gadis ini jadi kesal dan merengut,”Yaaah, maklum guys, Geografi gue payaah !”
Sialnya itu membuat kita berdua terbahak lagi.
“Yah, geografi gue juga parah kali ! Tapi elo lebih parah ! he he he.. Itu baru Amerika dan Eropa, belum lagi Arab yang lebih ruwet posisinya,” teman yang urus mobil itu makin memperburuk situasi.
“Iya, Arab kan ada bagiannya yang berada di benua Asia dan ada yang di Afrika. Kalo ga salah sih,” gue dengan jahat menimpali. Gadis itu makin mengerutkan kening, dan kita berdua tertawa lagi.

Dilain waktu, gue sarankan dia nonton ‘Across The Universe’ karena gue tahu dia menyukai musical movie ( satu hal lagi yang membuatnya istimewa).
“Lagunya bagus2 Jo?”
“Iya, keren2, semuanya lagu-lagunya Beatles yang diaransemen ulang,”
“Ow gitu,”
“Iya. Tapi jangan kuatir, biar aransemen baru tapi tetep bagus. Bahkan lebih bagus”
“Gitu ya…”
“Iya, jadi kaya lagu baru,”
“Bagus dong,”
“Iya. Makanya entar cari aja,”
“Iya, gue cari deh entar DVD-nya,”
“Sip,”
“Iya,”
“Iya”
“Jo..”
“Iya ?”
“Ngg…”
“Apaan ??”
“Lagu – lagu Beatles itu kaya apa sih ??”
"........"

See, nobody’s perfect :P
Dan asal kamu tahu saja, gue yang banyak cengo soal program2 computer, soal games, soal komik Jepang, soal tari – tarian bisa belajar banyak tuh dari dia. Belum lagi belajar bersikap friendly tanpa perlu banyak basa basi, belajar untuk tidak panik menghadapi situasi kerja yang seperti apapun juga bisa dari dia.

Jadi dimanapun kamu, siapun kamu dan bagaimanapun kondisi kamu, rasanya ga perlu minder – minder amat. Usaha untuk kenal banyak orang aja, meskipun gue tahu itu ga gampang. Tapi kalo udah berhasil, selain kamu jadi punya banyak pengetahuan, kamu bakal terkejut bahwa ternyata hal – hal sederhana yang kamu tahu bisa bermanfaat buat orang lain. Dan tentunya makin membuatmu percaya diri karena ‘hey, they don’t know something that I already known years ago,’

Rabu, Mei 07, 2008

Indahnya Cinta

Love
Directed By : Kabir Bhatia
Cast : Sophan Sophiaan, Widyawati, Acha Septriasa, Fauzi Baadila, Darius Sinathrya, Luna Maya, Irwansyah, Laudya Chintya Bella, Surya Saputra, Wulan Guritno
Image and video hosting by TinyPic

Note :
Gue akui, gue lagi suka film Indonesia. Rasanya yang worth to wait untuk gue tonton di bioskop juga film Indonesia. Kecuali memang ada beberapa film Hollywood yang ada di list gue yang pengen banget (baca : harus ) gue tonton di bioskop, misalnya contoh Indiana Jones, Harry Potter atau James Bond.
Diantara tebaran film Indonesia yang gue cintai itu, ternyata ada satu mutiara di dalamnya. Beneran gue jatuh cinta mati sama film ini, dalam kelemahan dan segala kelebihannya. Terserah apa kata orang.

Sebenarnya banyak film Indonesia yang bagus. Entah dari segi cerita/ide cerita, cinematografi, acting pemainnya, karakter di dalamnya atau paduan dari semuanya. Dari mulai AADC, Petualangan Sherina, Gie, 9 Naga, Mengejar Matahari, Janji Joni, Jomblo, 3 Hari Untuk Selamanya, Kala, dan masih banyak lagi. Film – film yang ga akan terlupakan bahkan lama setelah menontonnya. Namun seiring waktu, biasanya kecintaan itu akan terkubur sedikit melengkapi datangnya film – film baru yang juga bagus, dan baru akan tergali kembali jika diingatkan. Namun untuk yang satu ini, rasanya gue belum bisa pindah ke lain hati. Mungkin juga karena setelah menonton film ini, belum ada lagi film Indonesia maupun Hollywood yang mampu membuat gue jatuh cinta. Sebagai info saja, setelah nonton film ini, gue sudah menonton dua film Indo lagi, yaitu Ayat – Ayat Cinta dan In The Name of Love. Keduanya tidak meninggalkan kesan apapun buat gue selepas menontonnya (mohon maaf bagi penggemar Ayat – Ayat Cinta). Belum lagi beberapa film Hollywood dan film Indie yang gue tonton melalui DVD. Banyak. Bukan berarti film2 yang lain itu buruk, tetapi mau gimana lagi, gue tergila - gila sama film ini.

Pengungkapan cinta-nya yang universal sangat indah. Tidak ada batasan – batasan kepercayaan, suku ataupun lembaga apapun dan dari manapun bagi pengungkapan cinta di sini. Jangan harap menemukan salah satu dari mereka menikah, atau mungkin menunjukkan cara beribadah mereka kepada Tuhan dengan suatu kepercayaan tertentu. Tidak ada. Yang ada hanya cinta.
Ekspresi dalam film ini berbicara, gambar - gambar di film ini pun juga. Score dan soundtrack juga selalu tepat penempatannya.
Singkatnya, film ini indah.
Karakter dari lima pasang tokoh yang ditampilkan dan disatukan dalam satu tema-pun dapat tergali dalam, tanpa harus berpanjang – panjang. Bahkan karakter – karakter penting lain selain lima pasang manusia itu, ternyata juga dapat tergali dalam. Kamu akan dapat merasakan cinta dan kasih mereka hanya dari tatapan mata.
Pemain – pemainya ? Hmm… favorit saya adalah Acha Septriasa. Tetapi yang lain tidaklah buruk. Semua pas dengan karakter masing – masing, dan dapat memainkannya dengan baik.
Siapa yang tidak kenal Widyawati – Sophan Sophiaan, Acha Septriasa – Fauzi Baadilah, Surya Saputra – Wulan Guritno, Irwansyah – Laudya Chintya Bella, Darius Sinathrya – Luna Maya ?!
Gue nonton film ini di bioskop dua kali, dan sekarang-pun masih kangen. Suami gue bilang kalo film ini mengingatkannya pada Love Actually. Memang benar, terkesannya gue dengan film ini, sama rasanya dengan setelah gue nonton Love Actually. Rasa kangennya juga sama. Tetapi kok gue merasa kedua film itu berbeda. Love Actually lebih ceria. Dari segi cerita-pun berbeda, hanya ide untuk mengangkat cerita dari beberapa pasang manusia saja yang sama.

Sayangnya memang, ide-nya bukan orisinil punya Indonesia. Film ini di adaptasi / ditulis kembali (baca : di Indonesiakan) oleh Titien Wattimena dari film berjudul ‘Cinta’ asal negeri jiran Malaysia. Bahkan sutradara film Love-pun tetap Kabir Bhatia, sama dengan sutradara Cinta. Sungguh disayangkan. Tetapi mau tidak mau gue tertarik untuk hunting film ‘Cinta’. Gue pengen tahu apakah film Cinta seindah film Love. Siapa tahu kan, karena tulisan Titien Wattimena lebih mengena, atau siapa tahu DOP film Love ternyata lebih mumpuni, siapa tahu juga Kabir Bhatia telah mengetahui kelemahan film Cinta dan memperbaikinya dalam Love.
Tetapi Christo Damar Alam, produser film ini sempat berujar, bahwa film Love bukan sepenuhnya mirip dengan Cinta. Katanya ide Love memang timbul dari kisah pertemuan sepasang manusia di usia tua dalam Cinta. Namun kemudian pengembangan empat cerita yang lain, adalah ide yang baru.
Entahlah, gue ga terlalu perduli.

Terus terang, film ini membuat gue menangis. Tetapi bukan karena termehek – mehek. Alasan gue menangis saat menonton film ini, sama dengan saat gue menangis untuk film Love Actually yang cerah ceria itu.
Karena apa ya ?
Mungkin juga karena : love actually… is all around.

Important Things

Dua hari lalu Ayah gue menelpon. Dua kali.
Yang pertama diceritakannya bahwa ia menemukan jam yang berjalan mundur, mirip dengan penunjuk waktu yang ada pada sebuah Negara di Eropa Timur (is that right?) Dengan nada ceria ia sangat beruntung mendapatkan jam tersebut (belakangan melalui browsing di internet, pada sebuah web on line shopping gue ketahui bahwa jam seperti itu memang di produksi di Surabaya, meskipun gue ga tahu yang dibeli Ayah gue itu produksi mana ).
Yang kudua kali (kira-kira setengah jam kemudian), masih berkisar mengenai penunjuk waktu terbalik itu, ia bertanya ke gue apakah gue pernah menyaksikan salah satu acara di Metro TV bertajuk ‘Do You Know’. Di Negara itu, selain bahwa penunjuk waktu atau jam diberitakan terbalik (waktu tetap maju, namun letak angka-nya terbalik, misalnya angka 3 menjadi angka 9, dsb.) Arah jarum-nya pun bukan ke kanan namun ke kiri. Dia pun bercerita bahwa di Negara tersebut segalanya serba terbalik.
Gue mendengarkannya baik – baik dan ber’ooh’ beberapa kali hanya dengan maksud menyenangkan hatinya saja.
Dua minggu yang lalu gue sempat mengajak teman yang datang dari luar kota untuk jalan – jalan. Mengingat bahwa sineplex yang ada di kotanya hanyalah satu jenis sineplex saja seperti banyak kota – kota lain di Indonesia, maka gue menawarkan ajakan untuk nonton di Blitz Megaplex. Well, gue sangat mencintai bioskop dan film.
Tapi dia menolak.
Dia menganggap bahwa menonton film di bioskop adalah kegiatan yang tidak menarik dan tidak penting, dan hanya orang – orang yang sudah tidak tahu lagi mau kemana untuk membuang uangnya-lah yang akan menuju bioskop untuk menonton film.
Gue jadi berpikir bahwa hal yang dianggap penting atau begitu menariknya bagi orang lain, belum tentu sepenting dan semenarik itu bagi kita.
Demikian pula sebaliknya, jika saat ini kita tengah begitu bahagia karena menemukan / melakukan hal yang sedemikian penting dan menarik bagi kita, maka kita perlu juga meningkatkan kesadaran bahwa di suatu tempat (bisa saja tempat yang sangat dekat) akan selalu ada orang yang menganggapnya tidak penting, atau bahkan tidak menarik sama sekali.
It happens !

Pada Suatu Siang di Mangga Besar

Suatu siang, adik ipar dan mama mertua gue berjalan – jalan ke daerah Mangga Besar, sekaligus potong rambut ke hair stylist langganan mereka di daerah tersebut.
Sudah tengah hari ketika mereka mampir di sebuah food court di tengah pusat perbelanjaan. Sang mama sibuk menelpon sementara adik gue duduk diam, berusaha santai dengan menyandarkan tubuh pada punggung kursi makannya. Dan saat itulah ia mendengarkan pembicaraan singkat yang cukup menarik perhatian, yang datang dari arah tempat duduk di belakangnya.

“Iya, gue pernah nganterin temen gue gugurin kandungan. Serem banget, dikorek – korek gitu,”
“Lo sendiri gimana ngejalaninnya ?”
“Yah, gitu deh. Yang penting kalo lagi begitu lo jangan bawa perasaan lo. Anggep aja Om lo sendiri,”
“Lo pertamanya gimana sih ?”
“Gue sebenarnya ga niat kaya gini. Ini bermula dari temen gue. Dia sempat bikin janji sama dua orang dalam waktu yang sama, dan itu ga mungkin. Gue ditawarin untuk mengencani salah satu Om yang udah terlanjut dia janjikan buat kencan. Yah, karena kondisi gue saat itu lagi butuh duit, ya akhirnya gue terima. Om-nya baik, gue dibeliin macem – macem. Dia cerita dia punya rumah di Sumedang.”
“….”
“Yah, yang namanya sekarang orang butuh macem – macem ya. Pengen beli baju baru, pengen perhiasan. Yah, gue mau aja ngejalaninnya,”

Tiba – tiba muncul seorang kawannya lagi yang tampaknya waria.

“Iye bow, kerjaannya enak. Lo bakalan suka dah. Cuma begini – begini doang (dengan gaya yang bermaksud kocak dan nakal ia menggoyang – goyangkan tubuh bagian bawahnya ke depan dan ke belakang ) dapet duiiiit!”

Tawa membahana.

Dan saat itu juga terbersit rasa iba dari adik gue kepada mereka

Jumat, April 25, 2008

Hell No !

Kemaren itu gue sempat menyinggung soal surga, nah sekarang ini gilirannya neraka.
Jika surga adalah tempat terindah yang bisa saja berbeda – beda bentuknya, tergantung seperti apa kita memandang sebuah kebahagiaan dan keindahan, berarti bisa dikatakan bahwa neraka adalah penggambaran dari mimpi terburuk, segala hal yang paling menakutkan, menjijikan atau yang paling kita benci, atau gabungan dari semuanya.

Ada temen gue yang amat sangat membenci sekaligus jijik dengan bulu ayam. Dan tiba – tiba dia berkata bahwa habislah dia jika dia bernasib buruk dan masuk neraka, sementara nereka itu adalah sebuah tempat yang berisi bulu ayam !
Well, kita semua tahu di dunia ini banyak sekali hal yang mungkin biasa saja bagi sebagian orang ternyata begitu menyeramkan bagi sebagian yang lain. Hal seperti ini paling banyak sih terkait dengan yang sifatnya phobia. Ada yang jijik dengan peniti atau kancing baju, ada yang histeris hanya dengan melihat motif baju polkadot, pun ada pula yang membenci kucing.
Ga bisa gue bayangkan bahwa tempat yang menyeramkan seperti neraka adalah tempat dengan banyak kancing, tempat dimana kita dipaksa memakai baju motif polkadot dan berpeniti banyak, atau tempat dimana kita diharuskan memelihara seratus ekor kucing.

Lalu, gue tiba - tiba teringat teman gue yang lain. Dia paling takut dengan berbagi jenis serangga, termasuk salah satunya adalah kupu – kupu.
Ya, kupu – kupu.
Sementara bayangan gue tentang surga adalah tempat dengan aneka warna kupu – kupu.

Apakah dengan demikian sebenarnya surga atau neraka adalah tergantung bagaimana kita menerimanya ?

By the way, jika nanti gue juga bernasib buruk dan juga masuk neraka, bisa tidak ya, minta tukar tempat ? (^0^)
Yaah, siapa tahu kan, ada penghuni neraka yang merupakan penyayang jenis-jenis binatang melata sementara ia membenci bunga….

Kamis, April 24, 2008

I Dream of Heaven

Seorang sahabat pernah berkata bahwa kita sebenarnya hidup pada dua dimensi yang berbeda. Kita yang sekarang ada di dunia ini dan kita yang lain ada di suatu tempat. Yang sama sekali asing. Bukan Negara, bukan wilayah. Hanya suatu tempat tertentu.
Kita yang hidup di tempat itu, memiliki link yang langsung terhubung ke kita yang saat ini hidup di dunia.
Mugkinkah itu adalah personifikasi dari jiwa, pikiran dan keinginan kita. ? Entahlah.
Terus terang gue ingin sekali percaya bahwa beneath or above this world, ada sebuah dunia maha indah dimana kita diterima dengan tangan terbuka di dalamnya. Tempat yang begitu luas sehingga bisa menampung siapa saja.
Dan meskipun gue belum berada pada tahap itu, rupanya nyaman juga jika memulai pembicaraan mengenainya.
Image and video hosting by TinyPic
Kerena memiliki link langsung kepada kita di sini, kegiatan kita disana juga seharusnya bisa terbaca dari apa yang tengah berkecamuk dalam jiwa kita.
A perfect analogy, I presume.
Contoh saja, jika kita mengalami kelelahan yang amat sangat, kita akan terlihat tertidur dengan pulas di sebuah tempat ternyaman yang pernah kita impikan. Jika deep down inside kita memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sangat membutuhkan jawaban, atau otak kita sedang berputar keras tatkala menyelesaikan sesuatu masalah, bisa jadi kita terlihat sedang membaca.

Saat berbicara dengannya, gue menanyakan sedang apa ‘gue’ sekarang, dan saat itu ia menjawab bahwa gue sedang membaca buku yang sangat tebal dibawah sebuah pohon. Nyaman sekali tampaknya
Diwaktu yang lain, dilihatnya gue sedang tidur di bawah pohon.
Gue lalu bertanya, kenapa gue menyukai pohon itu.
Hmm.. banyak hal. Bisa jadi pohon itu adalah penggambaran perlindungan dan kenyamanan, atau keinginan akan hal itu. Tetapi bisa jadi gue memang sudah memimpikannya sejak lama.
Saat gue teringat sesuatu, gue tanya lagi apakah tempat dimana pohon itu berada adalah tempat yang dipenuhi dengan bunga ?
Dan ia meng-iyakan.
Hmm.. surgakah ? Atau hanya suatu tempat misterius yang berada di suatu titik tertentu dari otak kita yang mem-visualisasi diri ?

Gue selalu membayangkan surga adalah tempat yang penuh warna. Dan warna – warna itu muncul dari bunga, tumbuhan dan pepohonan disana. Tidak ada apa – apa lagi. Hanya pohon, tumbuhan dan jutaan bunga.
Binatangnya ? well burung Phoenix, kupu – kupu dan Pegasus, mungkin.
Well, sangat imaginative, bukan ? ;p
Mungkin saja mimpi gue ini sama saja dengan mimpi banyak orang tentang surga, atau bahkan mimpi anak balita. Tetapi gue tidak bisa membayangkan tempat lain yang senyaman dan sedemikian bersahabat kecuali tempat seperti itu.

It is what it is.
Suami gw bilang bahwa ia yakin penggambaran surga bagi masing2 orang berbeda2. Tergantung seseorang seperti apa orang tersebut melihat sebuah keindahan, dan pada kondisi apa dan bagaimana seseorang merasakan paling bahagia, terlindungi dan nyaman, maka disitulah surga-nya berada.


Lalu kira – kira seperti apa surgamu kelak ?
Ataukah seperti John Constantine, kamu yakin bahwa surga sebenarnya ada di tempat kita berpijak sekarang, berdampingan dengan neraka ?

Orlando, Engkaulah Matahari !

Pada suatu masa yang belum terlalu lama meninggalkan kita, kita dapat menemui seorang lelaki muda yang suka membuat orang lain senang dengna melakukan hal – hal sederhana. Layaknya, beberapa orang menyukainya, dan beberpa yang lain justru mencurigainya. Namun, pada kenyataannya, kebanyakan dari mereka menganggapnya biasa – biasa saja. Diantara kepala – kepala hitam yang mengetahui keberadaanya, tersebutlah seorang perempuan cantik bernama : Lyn. Perempuan muda yang rumahnya berhadapan dengan tempat tinggal pemuda itu. Perempuan muda berusia 18 tahun. Perempuan muda dengan puluhan laki – laki di belakangnya, yang pernah mendambakan cinta darinya. Dan lepas dari mereka, ia memilih pemuda itu untuk ia puja. Betapa puluhan belaian, ratusan anggukan, ribuan senyuman, dan jutaan keringan tangan-an pemuda itu tidak pernah lepas dari mata Lyn. Siang malam Lyn memimpikannya, mendambakannya, membisikkan namanya. Hanya itu. Tidak ada tindakan lebih jauh. Hanya jendela kamarnya yang menjadi teropong terbaiknya. Busur cintanya. Paling – paling, tindakannya yang paling hebat adalah menunggui pemuda itu di teras depan rumahnya sendiri. Berpura – pura menyiram tanaman atau membaca, ia nikmati sepenuh hati senyuman lelaki itu sesekali kala kebetulan ia menoleh pada Lyn.
Demikianlah. Bagi Lyn, jendela kamarnya adalah jendela dunia, dan pemuda itu adalah dunianya. Diamata Lyn, pemuda itu adalah perwujudan manusia yang sempurna. Wajahnya tampan dengan kulit terang bersih, rambut tebal, ditengahi dengan pandangan mata dan senyum yang menghanyutkan. Merasa ada yang kurang, Lyn kemudian berusaha mengingat – ingat siapa namanya. Dan iapun tiba – tiba terhenyak sebelum kemudian tertawa. ORLANDO ! ya, bagaimana ia bisa lupa ! Namanya Orlando !
“Benar, Bunda ! Orlando ! Masa Bunda tidak tahu ? Bukannya ibu kenal dia?!” begitu tegasnya suatu kali, saat dilihatnya sang Bunda sedikit mengerutkan kening.
“Bunda, hari ini Lando pergi ke tempat kerjanya pakai baju biru laut yang aku suka itu. Cakep deh ! Eh, kenapa ya tiap sore dia pergi ke jalan Mangaan bawa bungkusan ? “ suatu kali ia pernah bertanya pada ibunya. Orang yang setidaknya mau mendengarkan segala puja pujinya untuk pemuda itu meski untuk 5 atau 10 menit saja.
Biasanya sang ibu hanya menatapnya dalam – dalam, tersenyum kecil.
“Iya sayangku. Dia sayang sekali sama ibu anak gelandangan yang tidur di emperan toko Cik Yan. Dia bawakan kue – kue, nasi plus lauk tiap sore” entah mengapa Lyn melihat kelelahan di mata ibunya saat berbicara, meski kemudian beliau tersenyum, “Apa sih yang sebenarnya ingin kamu ketahui tentang dia?”
Hening.
“Apa dia udah punya pacar ya Bunda ?” akhirnya ia berkata dengan wajah memerah.
“ Sepertinya belum, sayangku. Kan kau lihat sendiri ia tidak belum pernah terlihat mesra dengan perempuan ?!” perempuan setengah baya itu berkata sambil beranjak. Sebelum benar – benar meninggalkan putrinya, sempat terlihat kilauan yang sedikit menyilaukan dari mata Lyn.
Sesaat setelah ibunya berlalu, senyum perempuan muda itu menyurut. Ada rasa kesal dan ketidak mengertian yang besar dikarenakan ia merasa orang – orang di sekitanya kurang dapat memahami apa yang tengah bergejolak di hatinya. Seakan semua orang di rumah ini berteriak tatkala suatu hari nanti Lyn bisa mendampingi pemuda itu. Seakan seluruh dunia akan mampu melakukan hal – hal besar yang memungkinkan keduanya tidak dapat bersatu. Hmm, TIDAK DAPAT DIBIARKAN !!
Dan …. karena itulah kemudian Lyn tiba – tiba saja ingin menjadi salah seorang dari para wanita pejuang cinta yang pernah dikenalnya. Seperti Juliet, seperti Satine, seperti Rose, seperti Eng Tay, seperti Shinta, seperti Sayekti. Apapaun yang akan terjadi, siapapun yang kelak menghalangi, ia akan tetap maju ke depan ! Berusaha untuk tetap bertahan demi seorang Orlando !! Ya, aku harus berjuang !! begitu Lyn bertekad.
Dengan begitu, maka iapun tak goyah tatkala kakak perempuannya berujar sinis,
“Kamu mengharapkan laki – laki yang tak mungkin !”
“Tidak mungkin apanya ??! Segalanya serba mungkin ! Lagipula kan Orlando hanya sebatas beberapa langkah kita dari depan rumah !”
“HAH ?? ORLANDO ??”
“Iya ! Memang kenapa ? Namanya kan memang Orlando !”
“Mmmh !” sang kakak mencibir, “Coba lihat kiri kananmu di dinding kamar ini ! Hampir di tiap sudut kamar kamu pasang poster dan fotonya ! Dengar ya, bukankah kamu namai dia dengan nama Orlando, karena kamu demen setengah mati dengan Orlando Bloom, yang bintang film itu ??!!”
“BUKAN!! Kakak jangan mengada- ada ! Namanya memeng Orlando, dan aku tahu persis siapa dia !” Lyn membantah sengit.
Sang kakaku memandangnya dengan pandangan aneh. Entah benar entah tidak, Lyn menangkap sedikit pandangan jijik, iba dan tidak percaya, bahkan ia sampai berkaca- kaca. Jarang kakaknya bisa sampai berkaca – kaca.
“Kamu.. adalah sesuatu yang tidak mungkin ! Kamu terlalu sering mengurung diri di kamar ! Kamu perlu keluar, Lyn. Ikutlah aku jalan – jalan. Cobalah bergaul lagi, Lyn. Kamu banyak berubah !”
“Kakak yang mesti banyak bergaul ! Buktinya, nama tetangga depan rumah saja tidak tahu !”
Dan Lyn tahu, kakak perempuannya kali ini menyerah. Seperti biasanya. Seperti yang lain pula, akhirnya sang kaka beranjak berlalu meninggalkan Lyn. Lyn tahu ia membutuhkan jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di batinnya, tapi jelas bukan dari ibunya, kakak atau Min, pembantu rumah tangganya.
Kemudian, bersualah Lyn dengan Ibu Ros dan Ibu Yun di teras rumahnya pada suatu sore. Kawan – kawan ibunya, yang kebetulan juga tetangga mereka. Dua ibu – ibu yang akan mencibir bila orang lain melakukan hal baik maupun buruk. Tidak ada bedanya. Meskipun hal – hal itu belum tentu benar pada kenyataannya. Namun, nama Orlando tiada pernah tersebut oleh mereka. Padahal Lyn berani sumpah, tidak ada seorangpun di lingkungan kompleks perumahan itu yang luput dari bahan pembicaraaan mereka. Apalagi bila tetangga- tetangga yang mereka bicarakan itu adalah orang kaya, punya pengaruh, cantik, tampan, genit, punya istri banyak, punya suami banyak, punya rumah banyak, punya mobil banyak, puya anak banyak, punya anjing banyak ! BAH !!
Apa iya dia seorang Santo ? Dermawan mulian ? Lelaki sejati ?
Tidak mungkin.
Tempo hari pernah mereka bicarakan dengan nada dengki tentang pak Tio yang menyumbangkan tanahnya untuk dibuat panti asuhan. Atau kisah ibu Nar yang tiap selepas Subuh berkeliling menawarkan sarapan berupa kue dan nasi bungkus nikmat teruntuk tukang sampah, tukang beca atau gelandangan. Tapi bukan tentang Orlando.
Lalu apa sebaliknya-lah yang lelaki itu lakukan ? Apa dia suka main perempuan ? Suka berjudi ? Mafia ? Bandar narkoba ? Pembunih berdarah dingin ? Pemerkosa ? Banci ?
Lyn bergidik membayangkannya, namun kemudian dengan pasti mencoret nama Orlando dari daftar itu. Ia yakin Orlando bukan yang semacam itu, meski bisa saja ia menyembunyikannya dari publik. Kalaupun ada kecurigaan itu, Orlando pasti sudah menjadi sasaran empuk mereka.
“Nak, buka matamu lebar – lebar sayang. Masa sih, orang seperti dia bisa kamu puja – puja setinggi langit ?! Jangan bercanda, ah ! Coba deh, jalan – jalan, cari pemandangan lain. Mandra saja masih jauh lebih mending “ begitu kata Ibu Ros sambil terkikik.
“Masa depan suram kalau kamu jadi sama dia, Nak ! Jangankan ngajak nonton atau membelikanmu baju atau perhiasan ! Cuman jalan – jalan seputar kompleks ini aja susah ! Ha ha ha ha ha !!!” kedua ibu itu tertawa.
“Mau ibu kenalkan dengan ponakan ibu ? Meskipun duda, masih tetap lelaki normal dia !” ibu Yun menimpali.
Mendengar itu, meskipun terheran – heran dengan apa yang mereka katakana, ‘daya juang’ Lyn bangkit.
“Tidak, terima kasih ibu – ibu ! Saya hanya memilih pemuda itu !” begitu ujarnya sambil berlalu meninggalkan kedua ibu itu saling berpandangan. Lyn terrsenyum. Ah, paling –paling sekarang aku jadi sasaran gossip mereka ! Tak akan jauh lebih buruk dari itu, pikir Lyn.
Senyum Lyn masih mengembang tatkala perlahan ia memasuki rumah. Entah mengapa saat ini perasaanya justru makin berbunga – bunga. Rasa gembira yang aneh. Ingin ia bergegas masuk ke kamarnya untuk melihat sang pujaan hati pulang kerja, tatkala ia lihat ibunya duduk di sofa ruang tengah, tepekur membaca.
“Sore bunda !! Cerah sekali sore ini ya ? Masih belum kelar Mansfield Park-nya ?” sapanya riang.
Ibunya tersenyum. Lyn perlahan mendekat dan tiba – tiba sedikit terburu – buru menunduk berusaha mencium pipi ibunya. Sebuah gerakan dan agak mendadak, dan cukup dapat membuatnya oleng. Terdengar bunyi benda terjatuh. Ibunya terkejut. Sekonyong bangkit dengan satu tangan mencengkeram lengan putrinya, dan tangan lain berusaha dengan payah meraih benda yang terjatuh tadi.
Sebuah penyangga kaki.
“Duh, hati – hati dong sayang ! Kamu semangat sekali !” ujar sang ibu ketika penyangga kaki tadi sudah berada pada tempatnya. Sang ibu mengelus wajah putrinya. Kini teraba dan terlihat jelas bekas jahitan panjang dari pelipis hingga pipi ranum gadis itu.
Lyn tersenyum lebar, sebelum kemudian membalikkan badan dan perlahan menuju kamar, membuka pintunya dan berbalik kembali untuk menutup pintu. Sebelum pintu kamarnya benar – benar menutup, sempat satu kerlingan ia arahkan ke sang ibu yang masih berdiri menyaksikannya memasuki kamar. Sempat dilihatnya ekspresi aneh dari ibunya saat itu.

***
Bunda kini tengah menatap pintu yang tertutup.
Perasaan seperti baru tersambar petir baru saja ia rasakan. Nafasnya tiba – tiba menjadi sesak. Beliau terduduk. Di tengah sengalnya, didengarnya pintu depan diketuk. Didengarnya suara dua wanita yang dikenalnya. Ros dan Yun.
Ia menghela nafas. Dua wanita itu sering sekali memperlakukannya seperti ‘tong sampah’. Ia tahu, Lyn berfikir ia dekat dengan keduanya. Hmmh, hanya masalah sopan santun dan etika saja. Setengah berbisik ia memanggil pembantu rumah tangganya yang kebetulan tengah berada di meja makan yang berada bersebelahan dengan ruang tengah. Ia tengah menyiapkan sajian teh jahe hangat kesukaan keluarga tempat ia bekerja.
“Sstt, Min !” dilihatnya sang majikan melambai. Dengan langkah sedikit tergesa Min mendekat.
“Bilang ke mereka, aku sedang ke supermarket beli keperluan bulanan atau kemana gitu, ya..” Min mengangguk dan segara melaksanakan perintah majikannya.
Bunda menghela nafas panjang, merasakan nafasnya yang sudah mulai normal kembali. Ia memejamkan mata. Dapat didengarnya percakapan singkat Min dengan kedua ibu itu. Pikiran Bunda menerawang diwaktu – waktu yang seakan telah berabad lalu ia tinggalkan, seperti sebuah mimpi buruk layaknya.
Kecelakaan itu.
Sebelum kecelakaan itu terjadi, Lyn adalah gadis dengan kecantikan fisik yang kata orang nyaris sempurna. Daya tarik-nya pun luar biasa. Ia menjadi pujaan hampir semua lelaki di sekolah maupun di lingkungan sekitarnya. Dan bahkan banyak diantara mereka yang tiada juga beranjak, tatkala mereka menemui kenyataan bahwa hati Lyn, tidaklah secantik wajahnya. Rupanya kemolekan jasmani dapat sedemikian membius.
Bunda menghela nafas kembali. Anak gadisnya itu memang dulu tinggi hati, sinis pada yang tak berpunya, suka menghamburkan uang, bersenang – senang. Ekonomi keluarga mereka yang berkecukupan, terlebih sebelum ayah Lyn bercerai dengan Bunda, juga menjadi pemicu terbesar. Itu belum termasuk wajahnya yang cantik dan pintar. Bunda merasa ada yang salah dari cara ia mendidik anak gadisnya itu, Rasanya, apapun akan Bunda lakukan untuk dapat merubahnya.
Kamdian terjadilah peristiwa itu. Sebuah kecelakaan yang meminta sebelah kaki Lyn untu diamputasi, ditambah denga luka menganga di bagian pelipis hingga pipinya yang menghadiahinya bekas jahitan panjang yang mungkin tidak akan pernah hilang bekasnya. Belum lagi kemudian diketahui bahwa kondisi kejiwaan Lyn-pun agak terganggu. Pernah sekurang – kurangnya, tiga kali seminggu Bunda harus mengantar Lyn ke dokter maupun ke psikiater. Ah, segalanya memang tidak perlu dirubah, hanya perlu diperbaiki. Begitu Bunda bertekad. Anak gadisnya masih tetap cantik, dan juga tidak gila. Hanya kepribadiannya yang lama, seakan telah terkubur dalam. Mungkin ini pertanda baik. Mungkin hanya diperlukan usaha yang lebih keras lagi, pikir Bunda.
Dan saat itulah Bunda teringat akan pemuda itu.
Bunda menutup matanya rapat.
Lyn memuja anak muda itu.
Oh ya, tentu saja Bunda tahu siapa dia.
Terbayang di pelupuk mata Bunda, wajah pemuda itu. Tubuhnya mungil, kurus dan hitam. Rambutnya kasar dan jarang. Barisan atas dari gigi kuningnya agak menonjol ke depan, sehingga terkadang menyulitkannya untuk berbicara dengan jelas. Mata terlalu besar untuk ukuran wajahnya yang mungil. Ia berjalan pincang, karena satu kakiknya lebih kecil dari kaki yang lain. Ia adalah putra dari suami istri pengurus rumah tangga dari keluarga Singgih yang tinggal di depan rumah mereka. Keluarga miskin yang bersahaja dan setia. Sepadan dengan keluarga Singgih yang baik hati, pada siapa mereka bekerja. Sebelum bekerja pada keluarga Singgih, sempat si anak mereka ajak tinggal pada kelurga dimana mereka bekerja. Namun ternyata keluarga itu merasa jijik padanya, sehingga anak muda itu mereka titipkan di kampung. Beberapa tahun lalu pemuda itu tinggal bersama sang nenek di kampung. Setelah sang nenek wafat, ia tinggal dengan keluarga pamannya. Putus sekolah, dan menjadi bahan olok- olok dari orang – orang di sekitanya. Suatu kali sang paman mengabarkan ke kota, bahwa ia tidak lagi mampu hidup dengan anak muda itu, karena tak kuat menaggung malu. Belum lagi mereka menilai, usaha jahitan mereka menyepi juga dikarenakan adanya pemuda itu. Orang – orang yang bertandang untuk mengirimkan bahan jahitan merasa malas dan jijik melihat pemuda itu sering mengorek koreng.
Mendengar itu, keluarga Singgih mengundang anak itu untuk datang berkunjung, dan meimintanya untuk tinggal bersama orang tuanya. Ia diberi pekerjaan di peternakan milik Pak Singgih. Tiap pagi hingga menjelang Maghrib ia bekerja di sana. Bunda tahu betul hatinya seputih salju, dan juga rajin. Seakan bila ia mampu memindahkan gunung, maka akan ia lakukan untuk dapat membantu orang lain, tampa pamrih. Lagipula ia juga bukan anak yang bodoh. Sesuatu yang sangat sulit untuk dapat terlihat dengan jelas.
Namanya ? Ya, tentu saja Bunda ingat. Namanya SULAT. Sebuah nama yang aneh. Mungkin memang sebaiknya ia gunakan saja nama Orlando pemberian Lyn, atau dihadiahi nama – nama indah yang lain, mengingat betapa indah pribadinya. Namun ternyata, hanya segelintir orang saja yang mampu melihat keindahan sejati itu dengan jelas, dan salah satunya adalah putrinya sendiri, Lyn.

***
Bola mata Lyn bersinar tatkala pandangannya tertuju pada sosok di balik jendela kamarnya. Beberapa langkah di depan rumahnya. Terseok – seok menuju pintu pagar rumah di depan rumah Lyn. Kulitnya hitamnya melegam terpanggang sinar matahari. Agak bersisik bersimbah keringat. Kala itu seseorang melewati depan rumahnya, dan berusaha ia sapa dengan ramah. Sepertinya ia kini sedang tersenyum lebar, karena barisan gigi kuningnya tampak jelas.Rambut kasarnya yang tampak lebih kusut, kali ini dihiasi beberapa batang jerami. Bukan pemandangan indah bagi sebagian orang. Mungkin yang ada hanya rasa jijik atau iba.
Tapi ada sinir pesona yang mengubah pemandangan di seberang jalan itu, dan jatuh ke bola mata indah milik Lyn. Lalu coba kita berkaca pada bola mata itu, dan menatap metamorfosa mengejutkan di dalamnya. Betapa sosok di seberang jalan itu kini tampak begitu mempesona, begitu cantik. Begitu cemerlang dalam sosok lelaki yang luar biasa tampan bersinar. Tubuhnya jangkung dengan rambut yang indah, hidung mancung dan sinar mata ramah yang bahkan terlihat ikut menebar senyum. Kita tidak akan mampu menandingi pesonanya. Kita akan tertangkap arusnya.
Ah, andai saja engkau bisa melihatnya !
Tapi kau tak bisa melihat itu dari wajahnya.
Tapi ada yang bisa engkau lihat.
Lihatlah Lyn yang baru saja menangkap sosok malaikat di matanya.
Dari sini engkau bisa melihat : gadis manis kita, kini sedang jatuh cinta.


***********





Rabu, April 23, 2008

When A Man Loves A Woman

Apa sih yang kita tahu soal cinta ?
Mungkin kamu tahu banyak, dan gue enggak.
Mungkin juga kita lebih banyak merasakan daripada mengetahui.
Meng-artikan dengan jelas cinta itu apa dan yang mana juga kita masih sering agak kebingungan
Ada teman yang memandang, cinta sama saja dengan asmara. Baginya, cinta sedikit lebih ‘kotor’ karena dipengaruhi oleh nafsu. Kedudukan yang lebih tinggi darinya ditempati oleh Kasih.
Sementara gue sendiri menilai cinta itu segalanya.
Didalam cinta itu lah ada kasih, sayang, kemuliaan, keindahan, asmara, keceriaan, menerima, memberi, suci, dsb.
Dari panggung cinta asmara, banyak cerita – cerita yang setiap saat dapat kita dengar, baca dan lihat.
Dari pengalaman kita dan kawan, dari cerita di buku, lagu, televisi dan film.
Entah karena gue ini kurang gaul atau apa, gue selalu berpikiran bahwa sosok – sosok ‘Romeo’ dalam film adalah sosok murni rekaan (terutama pada jaman kini), meskipun gue tahu, karakter dalam film merupakan hasil pengamatan dari karakter sosok manusia yang sebenarnya ada.
Katanya, sekarang ini perempuan lebih banyak jumlahnya daripada laki – laki. Dan karena gue perempuan dan semuanya gue lihat dari sudut pandang perempuan, gue tidak terlalu percaya pada romantisme harlequin milik laki - laki.
Bagi gue, ketulusan tidak akan pernah ada pada bunga dan cokelat.
Beberapa sahabat dan saudara perempuan pernah bertekuk lutut pada bunga dan coklat, dan akhirnya kecewa. Beberapa dengan cara yang masih bisa diterima, beberapa yang lain dengan cara keji. Contohnya : mereka ternyat hanya menjadi bahan taruhan.
Saat ini, katanya strategi lelaki sudah berubah. Sekarang ini jamannya segala hal yang real dan masuk akal. Mereka tidak lagi umbar janji yang muluk. Sebagai gantinya, mereka berusaha untuk tampil apa adanya dan bahkan seolah tidak perduli, playing hard to get. Perempuan-pun mulai gemas dan tergoda, tanpa menyadari itu hanya taktik belakadc. Cuma beda strategi saja. Ujung – ujungnya sama.

Berada diluar garis memuja dan dipuja, mencinta dan dicinta, gue malah jadi tahu, Romeo sesungguhnya memang ada.
Dia ada dalam diri orang – orang yang bisa gue sebut dan anggap saudara, sahabat dan teman.
Dan gue takjub.
Dalam kapasitas mereka masing – masing, rasanya mereka bisa saja berpindah hati kapan saja dan kepada siapa saja yang mereka mau. Dan menurut gue, mereka sebenarnya punya ‘modal’ yang cukup untuk itu. Satu hal yang lucunya sering tidak mereka sadari.
Yang jelas terlihat adalah, paling tidak dalam kurun waktu tertentu yang cukup panjang ( beberapa diantaranya hingga saat ini ), Romeo dalam diri mereka masih tertaut pada Juliet yang sama.

Bunga dan coklat adalah hal yang mengada - ada ?
Ternyata gue salah .
Mungkin gue mesti merubah pendapat bahwa keduanya hanya merupakan sarana, yang tujuannya tidak selalu sama buruknya.
Pemuda yang bisa dibilang sangat dekat dengan gue ini, bukan hanya akan menghujani perempuan pujaannya dengan bunga dan coklat. Dia akan bersedia melakukan apa saja untuk perempuannya. Sebut apa saja. Hal – hal yang tadinya kamu pikir cuma ada di novel – novel roman picisan, dan ia melakukannya dengan tulus.
Gue cuma ternganga mendengarnya.
Komen gue cuma singkat “lo idup di taon berapa sih ?” . Dan dia cuma meringis, tidak perduli.
Gue rasa, jika kemudian ia dikecewakan, toh ia tidak akan berubah. Dia akan melakukan hal yang sama untuk perempuan yang selanjutnya.

Ada juga Romeo yang tetap memilih perempuan yang sama, bahkan setelah si perempuan sempat main api dengan orang lain yang secara umum terlihat kualitasnya jauh dibawah Romeo gue ini. Orang tua dari laki – laki ini, yang mengetahui tingkah si perempuan, mulai tidak respek. Tetapi bisa ditebak, Romeo ini tetap kekeuh. Bukan tidak berarti ia tidak mencoba berpaling dan bukan berarti tidak ada perempuan yang mencoba menggoda dan mendekatinya.
Tetapi siapa yang bisa melawan kukuhnya hati seorang Romeo.
Begitu si perempuan kembali kepadanya, dengan proses yang cukup panjang dan berhati – hati mereka kembali mendapatkan kepercayaan dari kedua orang tua dari si lelaki.
Dan sekarang mereka berencana menikah.

Romeo berikutnya, adalah sosok yang bisa dibilang tahan banting dan tahan malu. Ia terus menerus mengejar orang yang sama bahkan setelah beberapa kali ditolak.
‘The more you ignore me, the closer I get”.

Lalu tiba – tiba muncul Romeo pecinta yang lain. Sahabatku ini adalah pemuda ber-etnis Tionghoa, yang beragama kristiani. Dengan segala kesadaran ia menjatuhkan pilihan kepada seorang perempuan ber-etnis Arab dan berjilbab. Baginya masa depan untuk mereka berdua masih fatamorgana. Dalam usianya yang muda ia tidak dulu mau berpikir ke arah sana, dan ketakutan akan kehilangan masih terlihat waktu ia bercerita soal itu ke gue.
Tetapi jika suatu saat nasib menuntun mereka kesana, apa iya mereka mesti di pisahkan ?

Apa kamu juga pernah menemui laki – laki yang rela dimaki, rela tidak diperdulikan, dan ia masih tetap memilih orang yang sama ? Gue kenal baik lelaki seperti itu. Sebelum dengan perempuannya, ia sempat putus sambung dengan beberapa perempuan, hingga ia bertemu dengan Juliet-nya ini. Tidak banyak yang ia ingin perempuannya lakukan. Hanya memberi kabar sesekali sehingga tidak hilang kontak, dan yang diterimanya adalah makian dan hujatan. Bahkan saat sang Juliet memuntuskan agar mereka ‘break’ untuk memberi ruang bagi masing – masing mereka, sang Romeo tetap intens menghubungi dan menghujaninya dengan kata – kata rindu.
Karena satu hal.
He’s still not over her.
Dan gue ga tahu sampai kapan.

Ada dua orang lelaki yang gue kenal mirip seperti itu. Yang seorang lagi sekarang bahkan sudah berbahagia hidup dengan perempuannya (or not?). Saat pacaran, gue lebih sering geleng – geleng kepala. Juliet pujaannya ini seolah memiliki kepribadian ganda. Dari detik pertama yang begitu terbakar bara, meledak – ledak membanting apa saja, dapat berubah menghiba pada beberapa detik berikutnya.

Sementara itu di tempat yang lain, gue mengenal karib seorang yang sampai saat terakhir gue kontak dengannya, hatinya masih tertaut pada seorang perempuan yang dikenalnya dulu.
Kekasih lamanya.
Saat ini ia itu sudah menikah dan tetap mengakui masih sangat mencintai perempuannya yang dulu, dan bukan istrinya.

Gue ga tahu apakah sebenarnya alasan – alasan inilah yang membuat banyak lelaki berselingkuh atau menemui kehidupan yang tidak bahagia bersama pasangan mereka masing - masing. Yang jelas kedua hal itulah yang banyak gue tahu tentang laki – laki. Selingkuh dan tidak berbahagia dengan pasangannya saat ini.

Apa ada cerita lain lagi dari kamu ?

Yang jelas, ternyata diantara riuhnya perempuan di dunia saat ini, ternyata tempat mereka yang tinggi belum juga mampu tergantikan.
Dan ini juga menyadarkan gue akan satu hal : laki – laki seperti mereka ternyata ada !