Rabu, Mei 27, 2009

Differences part 2 : About Their Stories and Ours

(tulisan dibuat Oktober 2008)
“Burns Living Flowers” he introduced himself.
My eyes widened at his name. Fire World – how unexpected.
“Wanderer” I told him.
“It’s…extraordinary to meet you, Wanderer. And here I thought I was one of a kind”
“Not even close” I said, thinking of Sunny (Sunlight Passing Through the Ice) back in the caves. Perhaps we here none of us as rare as we thought.
He raised an eyebrow at my answer, intrigued.
“Is that so ?” he said “Well, maybe there’s some hope for this planet, after all.”
“It’s a strange world,” I murmured, more to myself than to the other native soul.
“The strangest” he agreed.

(salah satu dialog favorit gw dalam The Host)
Image and video hosting by TinyPic

Gw masih mengutip dialog dari novel The Host diatas, karena dari dialog itu tiba – tiba gw kepingin menulis ini.
Tentang hal yang masih terkait dengan perbedaan dan betapa istimewanya kita manusia, dan bumi tempat kita tinggal.
Dalam The Host, Burns dan Wanderer mencintai bumi ini, mereka ingin mati dan dikubur di bumi, dan mereka rela berbuat apa saja untuk manusia – manusia yang mereka kasihi di bumi ini.
Meskipun sebelumnya mereka sudah tinggal di beberapa dunia, bumi adalah yang istimewa.
Kita manusia, istimewa.
Selalu begitu adanya.

Differences.
Humans.
Aliens.
Differences. Again.

Di kepala gw saat ini terlintas cerita2 fantasi. The Host, ET, Little Prince, Twilight, Harry Potter, Terminator, The Matrix dan Lord of The Rings. Mungkin plus berjuta kisah yang lain.
Kisah – kisah itu kurang lebih mengetengahkan kisah manusia yang terkait dengan makhluk2 lain yang dalam berbagai karakter, bentuk dan asal muasalnya gw sebut mereka semua : The Aliens.
Dalam kisah2 ini, hampir selalu terdapat yang tokoh jahat dan yang baik, naturally.
Tapi kita tidak akan berbicara soal itu. That’s another story. That comes naturally.

Namun yang membuat kita terpukau adalah betapa banyak makhluk lain yang ternyata mempunyai hati yang jauh lebih bersih dari hati kita, manusia.
But still, anehnya kita manusia selalu dijunjungnya. Kita tetap ditempatkan pada posisi yang tinggi.
Kita, manusia, dipuja, dibela, dicinta, dikagumi. Menjadikan kita makhluk yang pantas diperhitungkan, dihormati, disayangi.
Takluk, dalam arti yang positif.
Well, yes of course.
Dalam sejarah sudah tercatat bahwa kita sudah membuat iblis bersumpah sekuat tenaga untuk mempengaruhi kita mengikuti jejaknya, dan telah membuat malaikat iri terhadap kita.

Ada apa dengan kita ??
Apa yang kita miliki sebenarnya ??

Ya, kita bisa mengizinkan mereka untuk mengagumi dan menyayangi kita. Itu hak kita. Bahkan mungkin menjadi wajib jika mereka memang punya hati yang baik. Kita punya hak untuk itu, sekuat hak prerogative kita untuk menentukan kepada apa dan siapa kita akan menaruh hormat, dan kasih.

Tokoh2 manusia dalam cerita2 merelakan diri mereka bersahabat, dihormati, disayangi , dicintai oleh The Aliens meskipun mereka adalah cacing, vampire, werewolf, robot, peri, iblis yang bertobat, makhluk neraka yang bertobat, bidadari, hantu atau makhluk berbentuk aneh yang lain.
Differences. Cara hidup mereka berbeda, tempat hidup mereka berbeda, apa yang mereka makan berbeda, bentuk tubuh mereka berbeda, cara memperlakukan kita berbeda.
Semuanya dalam arti yang benar2 ekstrim.
Toh, tokoh2 manusia dalam cerita itu menerima dan baik2 saja. Bahkan menyambut sikap mereka dengan tangan terbuka dan juga penuh kasih.
Kita pembaca juga baik2 saja, rela. Seolah kita menyetujui bahwa memang begitulah kondisi idealnya.
Para pengarang juga tentu saja baik – baik saja. Mereka yang me- reka2 tokoh yang ada, seolah berharap memang begitulah kondisi idealnya.

Lalu jika kita merubah bentuk The Aliens, menjadi orang2 sesama manusia diluar diri kita, bisakah kita baik – baik saja ?
Bagaimana jika sebutan ‘alien’ hanya representative dari ‘ketidaksempurnaan dan perbedaan’ ?
Imperfections in this un-perfect world.
Perbedaan.
Bisakah kita menerima meraka selayaknya kita menerima The Aliens ?
Di dunia dimana beda selera dalam berpakaian saja bisa jadi masalah besar.
Jangan – jangan malah bisa jadi pemicu perang.
Jangan – jangan memang lebih baik jika ada invasi dari alien saja, supaya hal – hal semacam itu terlupakan.

If other creatures can love us-humans- that much, then why can’t we-humans- love each other ?

Differences… hmmm…
Are they a curse or a gift for us to have ?

Differences part 1 : About novel ‘The Host’ by Stephenie Meyer

(tulisan dibuat bulan Oktober 2008)
“Burns Living Flowers” he introduced himself.
My eyes widened at his name. Fire World – how unexpected.
“Wanderer” I told him.
“It’s…extraordinary to meet you, Wanderer. And here I thought I was one of a kind”
“Not even close” I said, thinking of Sunny (Sunlight Passing Through the Ice) back in the caves. Perhaps we here none of us as rare as we thought.
He raised an eyebrow at my answer, intrigued.
“Is that so ?” he said “Well, maybe there’s some hope for this planet, after all.”
“It’s a strange world,” I murmured, more to myself than to the other native soul.
“The strangest” he agreed.

(salah satu dialog favorit gw dalam The Host)
Image and video hosting by TinyPic


Akhirnya kelar juga The Host gw baca. Thank’s to Andrea Hirata dan Laskar Pelangi The Series-nya yang memukau, yang membuat gw menemukan kembali passion gw terhadap buku. Dan thank’s to Stephenie Meyer, karena sejak gue - mengikuti jejak milyaran cewe sedunia - membaca – plus memesan jauh2 hari sebelumnya di Times Bookstore karena stok serial saga ini habis melulu – bukunya Twilight Saga, gw jadi kembali menemukan cinta gw terhadap buku2 dunia.
Seperti juga untuk Andrea Hirata, of course, gw jatuh hati pada Meyer. Gw menyukai cara bertutur mereka dalam membawakan sebuah cerita. Cinta, keindahan dan harapan. Rasanya tiga hal itu yang selalu ada dalam karya2 mereka. Tiga kombinasi yang bisa dihadirkan sekaligus dalam kondisi yang biasa2 saja, kondisi yang memilukan atau bahkan menakutkan sekalipun.
Khusus untuk Stephenie Meyer, well, yeah yeah, gw akui gw masih mabuk kepayang dengan Twiligt Saga-nya dan ikutan geram tatkala Midnight Sun (Edward’s Story) urung naik cetak karena beberapa chapternya bocor di internet.
Masih di bawah pengaruh sihir Twilight, gw mencoba mencari karya Meyer yang lain, dengan harapan kerinduan gw terhadap Twilight terobati.
Dan gw hanya menemukan The Host.
Sebentar gw timbang2 apakah gw harus membeli novelnya, dan apakah impact yang dihadirkannya akan dapat menetralisir this crazy unbelievable passionate terhadap Twilight. Gw tahu gw butuh itu. Akhirnya gw beli juga bukunya yang nyaris dua kali lipat lebih mahal dari masing2 buku serial Twilight Saga, dengan membawa 70 persen harapan dalam diri gw, dan 30 persen keraguan. Buku ini tidak akan bisa membawa pengaruh apapun yang bisa membuat gw berpaling dari Twilight, begitu pikir gw waktu itu.
Alien ?!! PUAH !
I almost hate aliens stories. Bosan, tepatnya.
But well, ini karya Stephenie Meyer, bukan yang lain. So beat it.
Lagipula Twilight juga kurang lebih bercerita soal alien, dalam bentuk yang beda. Hanya saja mereka bukan datang dari planet lain.
Don’t judge a book by it’s cover … or by it’s synopsis laah
THEN VOILA !
Sekarang gw malah mengharapkan tokoh2 seperti Wanderer, Melanie and Jamie Stryder, Jared Howe, Ian O’Shea atau Uncle Jeb muncul lagi tatkala Meyer ‘berbaik hati’ membuat The Host menjadi Dwilogy, Trilogy atau bahkan Tetralogy seperti Twilight.
Tapi mungkin lebih indah jika The Host berakhir sampai disini.

Seperti yang gw harapkan, Meyer masih memiliki kekuatan dalam cara bertutur, in her way of course. In a way that made me thrilled.
Satu yang pasti, seperti juga pada Twilight, Meyer suka sekali membuat tokoh2 utamanya miserable, full of pain, suffering. Namun tidak pesimis. Atmosfir yang dihasilkannya adalah full of hope.
Dan anyway, gw suka tokoh2 yang dibuat miserable ( ha ha ).
Mengharapkan The Host adalah full sci-fi adalah sia – sia.
Yang gw tangkap, selain bahwa novel itu membawa kita pada petualangan, aksi, kasih sayang dan asmara, adalah bahwa bagaimana kita manusia menghadapi adanya sebuah perbedaan.
Jika dalam Twilight kita dipertemukan dengan makhluk cantik luar dalam bernama Edward Cullen, dalam The Host sosoknya berubah menjadi makhluk perempuan berbentuk semacam cacing berwarna perak yang diberi nama : Wanderer.
Ia ‘menempati’ tubuh seorang manusia perempuan kuat yang baik hati bernama Melanie Stryder.
Tentu saja, kita akan langsung jatuh hati padanya, dan jatuh iba pada perlakuan manusia – manusia yang hanya melihatnya sebagai parasit dan musuh.
But she’s strong, she’s a fighter and she has a beautiful pure heart (and/or soul).
Tiga hal yang jika kita punya, rasanya dunia sudah ada di tangan kita, dan seluruh manusaia di dunia punya, rasanya dunia bisa kiamat :D

Who is alien ? what is it, anyway ?

Kita bisa menjadi alien dimana saja, bagi siapa saja. Di tempat yang baru, bertemu dengan orang baru.
Difensif.
Sering kita bersikat difensif tatkala bertemu dengan orang baru, orang yang kita anggap bodoh, miskin, terlalu kaya, terlalu pintar, tidak sama hobinya, yang aneh, yang jorok, yang gila, yang menakutkan, yang menyebalkan. Tidak seiman, tidak se-prinsip, tidak se-suku, tidak se-negara, Orang yang kita anggap musuh. Orang yang kita anggap : beda.
Kadangkala malah kita adalah alien bagi diri kita sendiri.
Manusiawi ? Yes, of course.
Jangan anggap gw ga pernah merasakan itu.
Sering, malah.

SO LADIES ‘N GENTLEMENT,
WE’RE ALL ALIEN.

It means, tanpa alien, dunia kiamat.
Pada akhirnya gw tidak lagi membenci cerita2 tentang alien :p
B’coz it’s all about us.