Kamis, April 10, 2008

Hidup

Ia selalu berpendapat bahwa hidupnya sangat berharga. Punya kemampuan yang mumpuni di suatu bidang, punya karir yang mantap, punya pola hidup yang mapan. Pun setelah ia bercerai dengan istrinya dan kemudian terpisah dari ketiga orang putra putrinya, ia masih punya pendapat yang sama. Disebut suatu prinsip yang kokoh atau kebodohan yang telah mengakar, ia tidak perduli. Yang ia tahu adalah tiap pagi ia harus bangun tidur jam 4.30 pagi, minum kopi dengan sarapan yang diselang seling kadang roti bakar dengan selai kacang kesukaannya, cereal sachet atau dua telur ayam digoreng kacau, berangkat ke kantor dan berada di sana sampai sekitar jam 10 malam, pulang, beres – beres sedikit dan tidur. Itu saja. Dan ia merasa itu berharga. Meski tinggal dengan satu orang pembantu rumah tangga yang bekerja hanya dari pagi hingga sore hari, meski tidak pernah ada acara keluarga dan rekreasi, baginya tidak ada masalah.Malah begini lebih baik, begitu menurutnya.
Orang – orang berkata macam – macam tentangnya, namun hanya ia yang benar – benar tahu apa yang ia rasakan. Sesuatu yang sering disebutnya sebagai ‘sindroma umum kemapanan ringan’ sering menyergapnya. Ia merasa gugup apabila pagi hari ia temukan sleeper tidak tepat berada di samping bawah tempat tidurnya, atau terbangun 5 menit lebih lambat, atau tas kerjanya berada di atas kursi dan bukan diatas meja kerja seperti biasanya. Atau tiba – tiba ada nasi goreng dan susu hangat diatas meja makannya untuk sarapan. Atau tempat parkirnya di kantor ditempati orang. Bila hal – hal semacam itu terjadi, ia merasa akan ada sesuatu yang buruk menimpa. Seharian ia akan merasa resah, gelisah, marah. Tapi ia menolak jika ada yang menyebutnya paranoid. Bila ada yang menyebut begitu, akan ia paparkan bukti – bukti. Ia akan bicara panjang lebar, hingga pada akhirnya orang – orang malas mengomentari. Dan ia merasa senang, merasa menang. Kemudian ia membatin bahwa merekalah yang tidak memiliki perencanaan hidup yang rapi. Baginya - dalam hal ini - alam membaca tiap jengkal dan detil segala tingkah polah kita. Bila segalanya serba teratur dan rapi, maka hari-haripun akan berjalan sesuai rencana.Itu mutlak. Sebuah ketersiksaan bagi sebagian orang. Katakanlah bila mesti disebut begitu, maka itu adalah ketersiksaan yang telah ia relakan.
Namun sekali lagi kubilang, tidak ada yang benar- benar tahu apa yang ia rasakan. Ia menghindari ratusan cuti, puluhan day off, beberapa hari Minggu, demi hidup dan kerjanya. Dua hal yang tidak akan dapat ia pisahkan .Sudah tiga kali ia memenangkan Emplyee Of The Month, dan hanya karena tidak mungkin menghadiahinya gelar itu pada bulan ke-4 ( bisa mengurangi motivasi kerja, begitu kata salah satu rekan kerjanya yang vokal ), maka orang lain yang mengambil posisinya. Tentu ada beberapa orang yang menganggapnya pekerja teladan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia pun ragu. Ia harus mengakui bahwa hal itu dilakukan untuk lari dari kengerian dan kecemasan hebat yang seringkali menyerangnya tiap kali ia bediri berdekatan dengan ratusan cuti, puluhan day off, beberapa hari Minggu, ia merasa jantungnya berdegup keras, keringat dingin membasahi tubuh. Ia berdekatan dengan berbagai sumber anti kemapanan ! Ia bisa bangun tidur sesuka hati, sarapan apa saja, dan setelah itu bisa mengerjakan apa saja selain bekerja. MENGERIKAN! Kepalanya seperti mau pecah, berdeyut-deyut cepat sekali.
Namun tak urung beberapa kali ia harus bersua dengan yang disebutnya sumber anti kemapanan.Tidak mungkin ia menolak tiap tamu yang datang ke rumahnya. Dan bila itu terjadi, ia akan melaksananakan ritualnya sendiri demi menebus ketidak mapanan yang terjadi hari itu. Ia mulai menggumamkan kalimat yang menyatakan bahwa segala sesuatunya akan baik – baik mengawasi tiap jengkal rumah dan mulai menilik tiap mili letak tiap barang yang terdapat di sekelilingnya. Ketika semua sudah rapi pada tempatnya, baru ia merasa lebih tenang. Tamu yang datang tidak terlalu bermasalah baginya. Hari libur adalah yang paling menyakitkan. Pagi hari ia akan terbangun dalam cemas. Ia biarkan dirinya terbaring dalam diam selama hampir dua jam. Sebelum kemudian perlahan – lahan bangun. Pasti telah didengarnya kegiatan – kegiatan yang dilakukan pembantu rumah tangga kepercayaannya tiap kali ia membuka pintu kamar. Ia tak akan sudi menengok dapur atau ruang cuci. Aku bisa gila, begitu pikirnya. Lebih baik ia langsung menuju kamar makan dan menikmati sarapan paginya seperti biasa. Dengan menu yang sama. Setelah itu, ia bimbang. Duduk diam di kursi makannya selama satu jam sebelum kemudian membaca koran pagi. Sekedar untuk mencemooh bahwa diluar sana, ternyata banyak orang yang tidak mampu me-manage hidupnya dengan rapi. Lalu berpindah duduk di kursi ruang tengah. Dan diam selama satu jam. Ia coba menghidupkan televisi dan hanya akan dapat bertahan selama seperempat jam saja. Bukan apa – apa, hanya lebih banyak mencibir sajian – sajian televisi saja. Sinetron picisan, talk show picisan, kuis picisan, iklan picisan, berita picisan. Makanya lebih baik ia matikan. Selebihnya, waktu akan ia habisakan dikamar kerjanya dan berhenti hanya di waktu makan siang dan malam, lalu tidur dengan pil – pil yang membantunya lelap.
Pernah ia mencoba untuk menikmati hawa pagi di hari liburnya. Ia buka pintu dan meskipun pintu pagar rendahnya tertutup fiber glass, masih terlihat kegiatan pagi di balik pintu pagar rumahnya. Penjaja makanan yang hilir mudik, orang berbelanja, tukang sayur yang berteriak – teriak, orang – orang berolah raga dari mulai yang sendirian, anak – anak yang keluar beramai – ramai sembari mengobrol dan terkikik, satu keluarga, hingga beberapa pasangan tua muda yang berjalan mesra, dan beberapa orang yang berangkat bekerja karena jadwalnya libur mereka berbeda dengan yang lain, sementara dia melihat dirumah seberang seorang ibu sedang menyiram rumput di halaman rumahnya. Namun kemudian segalanya membuat kepalanya berdenyut. Membayangkan segala ketidak teraturan membuatnya tidak nyaman. Apalagi satu keluarga yang baru lewat barusan. Suami istri dan 4 orang anak – anak mereka. Pasti hari – hari mereka akan berisik. Tas, sepatu, alat bermain, gelas – gelas dan piring, sampah bertebaran dimana – mana. Letak segala benda bisa berubah setiap saat. Jadwal makan, tidur, belajar, bekerja berantakan, rumah berantakan. Hidup berantakan. Namun sekejap sebelum kemudian ia gugup, menyerah dan menutup pintu depan rumah, ia sempat merasakan rasa kehilangan itu. Sesuatu yang tidak dapat ia mengerti. Rasa senyap yang menyakitkan, tapi ia bertekad bahwa ia harus bertahan. Ia lalu masuk kekamarnya, mencoba melakukan sesuatu demi semua apa yang diyakininya. Pernah ia coba menangis dan iapun tertawa. Pernah ia coba teriak, dan iapun mendesis. Pernah ia coba untuk bersenandung, dan iapun meringkik . Pernah dicobanya menari dan iapun melompat –lompat. Lalu ia memilih diam. Berdiri. Diam. Dan akhirnya sisa hari habiskan di ruang kerja. Membayangkan esok hari yang penuh kerja, ia tersenyum. Namun tak urung, ada rasa pilu. Kepiluan yang dianggapnya sebagai hantu – hantu penggoda yang mencoba merayapi hatinya dengan rayuan – rayuan dunia cinta. Tidak akan ada yang tersisa dalam dunia penuh perih itu, dan tidak akan ada yang bisa merayunya untuk terbang bersamanya. Ia memutuskan berhenti tersenyum, dan kembali tenggelam dalam dunia senyapnya yang hanya berisi irama gemerisik kertas kerjanya sebelum kemudian tidur bersama pil – pil yang berenang bersama sisa makan malam dan cairan – cairan ditubuhnya.
Ia tidak tahu kapan segalanya bermula. Ia sudah lupa. Apakah sejak ayahnya raib dan ibunya punya pekerjaan kotor dan akhirnya pergi dengan laki – laki yang menawarinya pekerjaan tersebut ? Apakah sejak kakak laki – lakinya permainan uang, terlilit hutang, hingga ia dan kakaknya mesti hidup dengan segudang ketakutan dan rumah mereka harus pindah beberapa kali demi menghindar dari penagih hutang, sebelum kemudian kakaknya menghilang entah kemana ? Atau sejak sahabat dekatnya pernah memfitnahnya dan menyebabkan ia dikeluarkan dari pekerjaan pertama yang ia idam-idamkan sejak ia remaja ? Atau sejak ia bercerai dengan istrinya, dan dengan proses peradilan yang panjang akhirnya ia kehilangan ke tiga anak – anaknya ? Ia lupa. Yang ia tahu adalah ia tiba – tiba sendirian. Mencari pekerjaan baru yang tidak ia sukai demi secentong nasi, sampai sekarang.
Dan hari itupun tiba. Dengan segala sisa kelelahan yang masih ia bawa, ia terbangun seperti biasa, pukul 4.30 pagi. Entah mengapa tubuhnya penat dan lunglai disana sini. Lain dari biasanya, ia tertarik untuk mengamati dirinya di cermin lemari pakaian untuk beberapa saat. Rambutnya telah dipenuhi uban, pun kerut merut malang melintang berhamburan di hampir tiap sudut wajah dilengkapi kantung mata yang menghitam. Sejak kapan wajahnya berubah begitu menyedihkan, ia tidak perduli. Ia mandi dan seperti biasa menghampiri meja makan dimana telah tercium olehnya aroma kopi. Ia duduk di kursi ujung yang biasa. Dan sejurus kemudian, dan arah samping kanan, Murni pembantu setengah harinya menyajikan roti panggang selai kacang. Seingatnya Murni adalah pembantu ke 5 atau ke-6nya tahun ini. Sudah biasa.Ia menyeruput kopinya, dan dari sudut mata, dilihatnya Murni masih berdiri di samping kanannya. Ia jengkel dengan ketidak biasaan ini, tapi lucunya ia sedang tidak berselera untuk merasa panik.
“Ngapain kamu disitu ?” tanyanya
“Saya jadi keluar hari ini Pak, saya pamit. Seharusnya hari ini saya sudah tidak kemari, tapi saya pikir apa salahnya membuatkan sarapan untuk Bapak. Sehabis ini saya pamit. Seperti yang saya bilang kemarin, saya diterima bekerja di pabrik. Seperti yang sudah saya katakan, saya janji untuk mencarikan pembantu pengganti untuk Bapak. Maaf dan terima kasih banyak Pak,”
Majikannya masih duduk di kursi makan ketika Murni mengambil tasnya dan berjalan keluar melewatinya sambil sekali lagi berpamitan. tapi sebelum benar - benar keluar dari ruang makan, Murni berhenti, berputar dan berkata,
"Mungkin ada baiknya Bapak sekarang banyak mengistirahatkan pikiran, jangan capek - capek. Akan saya carikan pembantu yang bisa seharian disini, sehingga bisa menyediakan segala kebutuhan Bapak. Kan sekarang Bapak seharian di rumah menikmati masa cuti. Selamat pagi pak. Permisi."
Sebelum Murni benar - benar membalikkan badan, sekilas masih dapat dilihatnya pandangan aneh dari majikannya. Keterkejutan yang dalam namun tak terungkap bisa ia tangkap. Sebelum membuka pintu depan, Murni menengok. Nun dilihatnya diruang makan, di kursi paling ujung yang masih bisa dilihat dari ruang tamu, sang majikan masih duduk dalam diam. Hanya diam. Tidak sambil menyeruput kopinya, atau menyantap roti panggangnya. Murni sudah berpuluh kali menyaksikan majikannya terdiam tiba - tiba seperti itu selama hampir 4 bulan ia bekerja di rumah itu, namun ia merasakan hari ini keterdiaman majikannya sedikit aneh. Murni prihatin, namun seperti banyak orang lain, ia tidak bisa berbuat banyak.
Hari ini adalah hari pertama masa pensiunnya. Semestinya dia ingat. Seharusnya lima tahun lalu, namun Perusahaan mengabulkan permohonannya untuk mengabdi lima tahun lebih lama. Dan sekarang, hal ini tidak terhindarkan. Ia rasakan itu sekarang. Ia rasakan ada perang besar dalam batinnya. Tapi dia hanya diam. Membisu. Bahkan wajahnya tetap tenang. Pun ia tak mencoba untuk menangis, berteriak menyanyi atau menari. Hanya saja tiba – tiba saja seperti siaran ulang, ia menyaksikan kembali hampir seluruh kisah hidupnya seperti film dalam fast backward mode. Dalam gerakan lambat ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan yang mulai berkeriput itu.Dan perang itu masih berlangsung di batinnya.Mungkinkan ini cuma mimpi buruk ? Masih tercium bau harum kopinya dan jelas ini bukan mimpi.
Sampai pukul 9.17 pagi ia masih duduk di kursi yang sama, dalam posisi yang sama. Melihat ia duduk tegak bagai arca ( selain tarikan nafas dan satu dua kedipan mata ), cukup mengejutkan juga melihat ia kemudian perlahan bergerak. Perlahan ia berdiri, meregangkan otot sedikit dan juga dengan perlahan bergerak menuju kamar tidurnya. Dan sesampainya disana, ia duduk diam dipinggir ranjang selama beberapa menit. Perang masih meletus didadanya. Ia berpikir apakah ia sebaiknya tidur sebentar untuk memusnahkan perang itu. Atau bisa jadi ini cuma mimpi, jadi sebaiknya tidur dulu. Dirasakannya perang makin menghebat tiap menitnya.
Dan iapun menengok ke samping kanannya. Di meja kecil di samping kasurnya, ia melihat pil – pil itu. Pil itu sudah bisa membuatnya bisa lelap dan tenang dihari - hari lalu, dan dapatkah kali ini mereka membantunya mendamaikan perang ini ? Pasti bisa !Ia rasakan debaran itu. Harapan bahwa sulutan peperangan itu akan mampu ia patahkan dengan bantuan benda – benda kecil ini. Matanya berkilat saat pil – pil itu jatuh ke tangannya. Mungkin perlu sedikit lebih banyak pil untuk sebuah perang hebat. Atau mungkin tiga atau empat kali lebih banyak dari biasanya. Ya, tiga, empat atau lima kali lebih banyak. Dan dalam dua kali tegukan air putih, laskar pil – pil itupun masuk ke tubuhnya. Mampuslah kau musuh – musuh jiwa !
Ia lalu tersenyum. Ia mulai mengantuk, dan ia tersenyum. Ada didengarnya sepintas ada suara yang berteriak kencang. “Ini salah !” Tapi hanya sebentar. Suara itu tidak mengganggu lagi. Bagai meluncur ia jatuhnya dirinya di kasur, dan pemandangan di seputar ruang kamarnya makin lama makin memudar. Untuk sesaar ia masih ingin tetap terjaga, namun laskar – laskarnya lebih berkuasa. Sesaat kembali ia lihat fast backward mode perjalanan hidupnya.
Dan ia merasakan itu.
Melayang, terbang, berputar – putar. Belum pernah ia rasakan kebahagiaan seperti itu. Ada dentuman – dentuman di dadanya. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup.Ia selalu ingin tersenyum, tersenyum, tersenyum. Ada warna – warna, ada lelaguan, ada kesejukan, ada kehangatan. Lama.
Lalu tiba – tiba senyap.
Ia terbangun. Masih dalam senyum ia membuka mata. Dan ia terkejut.
Ia terpana.
Ia takjub.
Ia tergugu.
Ia melihat, ia mendengar. Hal – hal yang belum pernah dilihat dan didengar sebelumnya.
Ia selalu berpendapat bahwa hidupnya sangat berharga. Dan kini baru ia sadari bahwa ia sama sekali tidak mengerti apapun tentang hal itu. Ia tidak tahu apapun soal hidup.
Dan perlahan senyumpun pudar dari wajahnya.

Tidak ada komentar: