Kamis, April 10, 2008

Pasar Malam

Angkot berguncang hebat ketika roda – rodanya menghantam polisi tidur yang tanggung sementara kendaraan umum mungil itu melaju kencang. Udara begitu panas hari ini meskipun saat itu sudah petang. Namun sepanas apapun cuaca, sekencang apapun umpatan supir angkot dan semuram apapun wajah penumpangnya, sama sekali tidak mempengaruhi sumringahnya dua wajah mungil yang ada di depan Lasma.
Ya, hari ini ia dan suaminya, Imam, mengajak kedua putra dan putri mereka pergi ke Pasar Malam, yang terletak di Lapangan Bola dekat Pasar. Membutuhkan dua kali naik angkot dari rumah mereka, dan masing – masing perjalanan angkot dibutuhkan waktu sekitar 7 dan 25 menit jika lalu lintas lancar plus 2 menitan berjalan kaki untuk sampai di lapangan tempat Pasar Malam diadakan. Tidak dekat, tidak juga terlalu jauh. Yang penting happy, begitu kata orang. Saat ini mereka berada di angkot yang kedua.
Itulah paling tidak yang bisa Lasma lihat dari mata kedua buah hatinya, begitu juga wajah suaminya, meskipun ada sinar lelah dari mata mudanya yang terlihat jauh lebih tua dari usia. Lasma teringat ketika suaminya mengajaknya bicara ketika saat itu sedang tidak ada order pekerjaan bangunan, dan Lasma baru saja pulang dari mencuci dan menyetrika untuk dua rumah tetangga.
“Aku kepingin bisa ajak anak – anak ke Pasar Malam. Katanya sejak kemarin yang ada di lapangan dekat pasar mau buka lagi,”
“Memangnya akang punya uang ? Sekarang saja Bang Kosim yang katanya mau kasih order besar sejak seminggu lalu juga ga nongol – nongol. Abang sudah tiga hari ini tidak kerja,” jawab Lasma terbawa lelah.
“Aku masih punya simpanan. Dan hari ini barusan tadi Kang Surip datang, bilang ada kerjaan bongkar bangunan. Kerjaan empat hari. Lumayan duitnya. Kasian anak – anak. Sejak sebulanan ini ngomongin soal Pasar Malam terus. Pasar Malam yang ada di lapangan ujung situ sudah tutup, dan mereka cuma bisa lihat dari jauh, menghayal naik kuda – kudaan dan kincir angin.”
Tak ayal Lasma terbawa keharuan. Ia mendekati suaminya.
“Akang punya uang berapa untuk membawa anak – anak ke Pasar Malam ? Kalau kurang, Lasma mau bantu tambahin. Kebetulan besok ada tiga kerjaan nyuci. Mudah – mudahan hari Minggu kita bisa ajak mereka jalan – jalan, ya.”
Lasma teringat suaminya tersenyum dan memeluknya saat itu. Hari – hari menjelang kepergian mereka ke Pasar Malam memang melelahkan, namun pikiran untuk dapat membahagiakan anak – anak membuat mereka bersemangat.
Anggot berguncang lagi.
Lasma memandang anak pertamanya, Aris, yang saat ini duduk diantara kedua paha ayahnya tepat di seberang pintu angkot. Wajah legamnya ceria, menerawang menatap jalanan berdebu di luar. Ia baru berumur 8 setengah tahun, kelas tiga SD. Lasma dan suaminya bertekad untuk tetap menyekolahkan anak itu, apapun yang terjadi. Masa depan Aris harus lebih baik daripada mereka. Berkat Tuhan bagi mereka, karena ternyata Aris anak yang cerdas. Memang terbilang nakal, tapi pintar. Ia selalu serius belajar. Dia pantas mendapatkan yang terbaik.
Pandangan Lasma berpindah pada gadis mungil yang ada dalam rengkuhannya.
Dinda baru berumur empat tahun, lima tahun bulan depan. Belum sekolah. Tiba – tiba Lasma merasa sentimentil. Sampai saat ini belum terbersit secara serius dalam pikirannya dan Imam soal sekolah Dinda. Mereka hanya berkonsentrasi pada pendidikan Aris. Menabung dan mengusahakan pinjaman sana sini demi Aris. Ada semacam pemikiran yang Lasma dan Imam tahu pasti terdapat di benak mereka, namun tidak pernah terucap. Dinda masih kecil, dalam keseharian Dinda terlihat tidak secerdas Aris, dan….. karena Dinda perempuan.
Lasma mempererat pelukannya dan ia mencium kepala mungil di pangkuannya. Ada keputusan yang mesti mereka ambil dalam waktu singkat, karena mereka bukan orang berada, yang dapat kapan saja membiayai pendidikan anak – anak. Namun dalam hati Lasma berjanji, “Semoga Tuhan mendengar keinginanku, karena setelah ini, aku akan membuatmu dapat terbang kemanapun cita dan cintamu berada, membahagiakanmu, dan kau bisa memilih tempat pendidikanmu, dimanapun itu, di tiap jengkal tanah di bumi ini . Nak, aku tidak akan mengorbankanmu untuk apapun,”
Angkot tiba – tiba berbelok ke samping dengan kecepatan kilat dan pada detik kedua kembali ke posisi semula, menghindari gundukan berupa karung plastik raksasa yang entah apa isinya. Lasma mendengar Dinda meringik. Aduh, dia mual, pikir Lasma. Dilihatnya wajah itu sepucat kapas. Namun tetap saja anak itu masih telihat cantik. Berbeda dengan kakaknya, Dinda mempunyai kulit yang putih bersih, dan wajah secantik dewi. Rambut hitam tebalnya terurai hingga nyaris menyentuh pundak mungilnya yang kini menegang.
Lasma menengok kearah suaminya yang saat itu juga sedang memandangi wajah si kecil dengan iba.
“Kang, tolong ambilkan kantong plastik di tas-ku,” ia melirik tas besar yang berada di sampingnya, yang secepat kilat dilakukan suaminya.
Lasma memandangi wajah mungil itu dengan cemas. Jangan tumpah dulu ya sayang, penumpang lain bisa mengumpatmu, dan aku tidak akan bisa terima itu, pikir Lasma. Namun ternyata hal itu tidak perlu Lasma cemaskan. Jelas terlihat Dinda sudah menahan diri selama kantong plastik untuknya belum tersedia. Dengan ketabahan penuh anak itu memandang ayahnya mengambil kantong plastic, membukanya, mengarahkan padanya. Setelah setengah wajahnya tenggelam dalam kantong, ia tahu inilah saatnya. Ia tidak perlu membuat malu kedua orang tuanya dan membuat penumpang lain terbakar emosi. Lasma tiba – tiba tersadar, selain cantik, putri kecilnya ini juga kuat.
“Sudah lega sayang ? Tolong kantong plastik-nya di dobel sebelum nanti kita buang diluar ya kang,” Ia menoleh kearah suaminya, sebelum kemudian ke arah putrinya lagi.
“Dinda mau naik kincir angin kan ? Trus habis itu makan arum manis ?”
Wajah mungil yang mulai merona merah itu mengangguk dengan mata berbinar.
“Kalau begitu yang kuat ya sayang, kan sudah mau sampai”
Dan si kecil-pun setuju, Sehebat apapun goncangan angkot , sekencang apapun lajunya, Dinda bertahan hingga sampai di tempat.
Menjelang mereka turun, sudah terlihat kincir angin Pasar Malam itu, meskipun mereka masih harus menyeberang jalan, dan kurang lebih dua menit berjalan kaki. Kedua anak – anaknya bersorak. Surga sudah terlihat, dan waktu menunjukkan jam 6.50 malam. Lasma-pun tiba – tiba terbawa suka, pun suaminya. Biasanya ada yang jual baju juga, pikirnya. Siapa tahu ada baju anak – anak yang murah. Dan rasanya ia juga ingin membelikan sepotong baju kemeja untuk suaminya. Baju – bajunya sudah kusam, sehingga seringkali kebingungan jika ada acara kondangan atau selamatan.
“Yah, biar aku yang bawa kantong plastik yang tadi. Aku cari tempat sampah buat buang,” Aris menawarkan jasa. Biar suka berkelahi, ia bukan anak yang tidak memahami kondisi keluarganya. Sekecil apapun tugas yang sekiranya bagi dia bisa menjadi sumbangsih dalam membantu kedua orang tuanya, ia akan lakukan. Imam tersenyum dan mengangguk. Lasma tiba – tiba teringat, baru dua minggu lalu mereka mendengar kabar dari salah satu guru Aris, bahwa anak itu sering terbakar emosi jika ada anggota keluarganya diejek kawan sekolahnya. Singkatnya, jangan sekali – kali membicarakan hal buruk mengenai Ibu, Ayah atau adiknya, atau tempat tinggal mereka maka ia akan menghadihi orang itu dengan bogem mentah.
Meskipun haru, Lasma dan Imam sering menasihati Aris untuk tidak melakukan hal itu, karena justru akan merugikan dirinya dan keluarganya. Akhir – akhir ini memang emosinya agak terkontrol, namun kenakalannya masih sering terjadi, yang terutama dipicu oleh keingin tahuannya yang besar akan berbagai hal. Membongkar pasang tape recorder, membuka sambungan saluran air di rumah mereka dan mengintip cafe internet yang berdinding kaca sehingga ia bisa sepuas hati melihat bagaimana orang membuka internet dan apa saja yang mereka buka adalah beberapa kegiatannya. Bagi mereka, itu adalah bagian dari konsekuensi dan tugas mereka untuk mengarahkan jagoan mereka untuk melakukannya demi tujuan yang baik.
Dan tibalah mereka di tempat itu. Berlari kecil Aris menyusul mereka setelah membuang kantong plastik tong sampah di pinggir jalan yang sampahnya telah membumbung. Kebahagiaan melingkupi keluarga itu. Aris tampak bersemangat dan tidak bisa diam, Dinda adiknya justru lebih tenang, meskipun wajahnya yang bersemu merah dan kedua bola matanya yang bersinar menunjukkan apa yang dirasakannya. Sejenak mereka berhenti di pinggir Pasar Malam, menikmati sensasi yang mereka rasakan, menatap segalanya. Tiba – tiba saja mereka merasa, segala halang rintang akan dapat mereka atasi bersama.
“Ayo, kita masuk ke dalam,” Imam mengajak, “ Nah, Aris sama Dinda mau naik apa dulu nih ?”
“KINCIR ANGIIIIN !!” kedua anaknya berteriak bersemangat.
“SIAAAP ! Kita semua menuju kincir angin !! “ Ayahnya ikut setengah berteriak dan disambut dengan ‘Hiyee’ yang meriah dari kedua putra putrinya.
Sampai di depan kincir angin, Lasma melihat Imam merogoh kantung celana panjangnya untuk meraih dompet. Semula ia tidak terlalu memperhatikan, namun tak urung ia menatap suaminya kembali lebih lama karena ada sesuatu yang aneh dari gerakannya.
“Ada apa kang ?”
“DOMPET ! Dompetku tidak ada !” dengan panik imam merogoh kantungnya lebih dalam, kanan dan kiri, dilanjutkan dengan menyisir perlahan jalan yang mereka lalui. Kedua anaknya terdiam tiba – tiba.
“Yang bener ? Tadi akang bawa ? Tidak ketinggalan di rumah?”
“Ya aku bawa laaah. Tadi bayar angkot kan masih buka dompet !”
Setelah beberapa saat, Imam memandang wajah istrinya dengan lesu dan entah mengapa ia melihat suaminya seperti nyaris menangis
“Las, aku kecopetan…..”
Keduanya menyadari kenyataan pahit itu, dan saling menatap. Mereka lemas. Lasma teringat kedua anaknya. Mereka harus kuat, mereka jangan dikecewakan.
“Kang…” bisiknya pada Imam. “Pakai uangku dulu saja untuk anak – anak. Ada di tasku…. Astaga ! TAS !!! YA TUHAAAN !”
Imam menutup mulutnya. Ia teringat pada tas tangan besar istrinya tadi diletakkan di bangku angkot. Tas dimana ia mengambil kantong plastik untuk Dinda. Dan gemerlapnya Pasar Malam rupanya membuat mereka melupakannya dan meninggalkan benda itu tetap berada di sana. Imam menggosok – gosok wajahnya dengan tangan.
“Aku bodoh. Bodoh. Mestinya aku lebih waspada, dan untuk tas-mu mestinya aku lebih memperhatikan sementara kau menggendong Dinda… Ya Tuhan,”
Lasma sejenak seperti berdiri di awang – awang. Hasil kerja suaminya selama hampir seminggu, hasil kerjanya selama tiga hari. KTP, SIM, beberapa surat penting, tas-nya, baju ganti Dinda, raib, Yang paling menyakitkan adalah pikiran bahwa mereka harus mengecewakan kedua anaknya.
“Jadi untuk angkot pulang juga tidak ada uang kang ?” ujar Lasma lesu.
Imam merogoh kantong. Beberapa lembar ribuan dan receh masih ada, jumlahnya Rp. 5.500,-.
“Kita bisa naik angkot sekali, dan dari jalan Haji Toyib kita jalan kaki ke rumah,” Dan ia tahu, itu berarti kemungkinan mereka harus berjalan hamper dua kilometer jauhnya.
“ Ya sudah kang, masih bisa pulang masih bersyukur,”
Imam menghadap pada anak – anaknya, nyaris tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Entah mengapa ia merasa keduanya memahami situasi itu.
“Tidak jadi ya Yah ?”
Ayahnya terdiam. Mencoba mengumpulkan kata – kata.
“Besok – besok juga ga apa – apa kok. Pasar Malam biasanya buka sampai dua minggu. Siapa tahu malah besok Pasar Malam yang dekat rumah buka lagi, jadinya ga perlu naik angkot. Jadinya Dinda ga muntah – muntah, dan Ibu sama Ayah bisa bawa duit secukupnya saja.”
Lasma dan Imam tidak dapat berkata – kata. Detik berikutnya mereka saling berpandangan dengan sejuta makna yang mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu artinya.
Lasma memeluk Dinda erat – erat. Anak itu balas memeluk perlahan. Imam menggandeng tangan Aris,
Mereka pulang kembali ke rumah.

***

Tidak ada komentar: