Kamis, April 10, 2008

Ketika Ia Mulai Berfikir

Aku sekarang ini sedang berfikir tentang hidup, begitu ia menyebut.
Padahal hanya menurut anggapannya saja ia berfikir soal hidup karena orang lain akan berpendapat bahwa ia hanya menocba untuk mengingat – ingat. Mengingat – ingat tentang hari – harinya saja.
Kebiasaannya ‘berfikir’ seringkali membuat berang penyelianya di tempat kerja. Ia dianggap sering melamun. Tapi ia adalah seorang pekerja yang baik. Paling tidak begitulah menurut anggapannya, karena ia merasa telah menjalankan Job Description sebagai Telephone and Fax Operator & Administrator yang diberikan Perusahaan pembuat limun lokal itu dengan baik.
Telephone berdering nyaring mengakhiri waktu ‘berfikir’ nya. Suara seorang wanita dengan nada tegas mencari Kepala Bagian Pembelian, dan seperti yang sudah diduganya, pak kepala dengan bicara yang tersendat memintanya untuk memberikan jawaban ‘tidak ada di tempat’. Dan seperti juga dugaannya, wanita di seberang telephone menyumpah panjang pendek, pun menyumpahi dirinya.
Hal ini membuatnya merenung. Berpikir apakah memang ia pantas untuk disumpahi mengingat dengan perpeluh dingin ia memberanikan diri untuk menyampaikan pada induk semangnya bahwa ia harus menunggak biaya kost bulan ini sementara ia juga ingat pernah berpeluh dingin saat menyampaikan surat dari kedua orang tuanya kepada kepada bagian Tata Usaha di sekolahnya dulu saat ia mesti menunggak biaya sekolah sampai tiga bulan.
Hari ini sampai menjelang siang, terhitung sudah ada lima telephone yang ia terima dari para supplier yang kecewa karena tagihan mereka belum juga kunjung lunas terbayar, atau tagihan jatuh tempo yang harus mundur lagi.
Akhir – akhir ini memang sering sekali ada telephone semacam itu, dan itu membuat perasaannya tidak enak.
“Perempuan harus lebuh pintar mengatur pengeluaran” begitu pernah ibunya berujar suatu hari. Namun, untuk tiga bulan mendatang rasanya agak sulit baginya untuk dapat mengatur pengeluaran sedemikian rupa, semenjak tanpa ia sadari apa yang sesungguhnya terjadi, ia bersama dua rekan kerjanya dituduh menjadi penyebab kerusakan yang cukup serius pada alat penerima telephone di ruang kerjanya. Perusahaan bersikeras menyatakan bahwa mereka harus menaanggung 100 % biaya perbaikan, dan dicicil selama tiga bulan gaji. Itu berarti mereka harus kehilangan kurang lebih 50 % dari gaji mereka per bulannya.
Telephone tiba-tiba berdering lagi.
Kali ini dari Pak Sudarman, pemilik Perusahaan. Beliau minta disambungkan dengan Pak Rubyanto, direktur. Kali ini tentu saja ia tidak perlu menjawab ‘tidak ada di tempat’. Hanya saja yang membuatnya heran adalah entah kenapa suara Pak Sudarman terdengar lesu akhir – akhir ini, padahal biasanya bicara pelan saja sudah terdengar menggelegar.
Yah, mungkin sedang banyak pikiran, ia membatin. Tapi kemudian tiba – tiba menghela nafas dan tersenyum.
“Ya, tidak mungkin,” ia berkata pelan. Mana bisa seseorang yang segala kebutuhan hidupnya telah tercukupi harus merasa lesu,meskipun ia sedikit banyak tahu bahwa hasil penjualan produk limun lokal perusahaannya beberapa bulan belakangan banyak pengalami penurunan. Drastis, begitu kata Ibu Andini dari bagian Penjualan. Tapi itu pasti bukan hal yang membuat Pak Sudarman menjadi lesu. Bahkan orang seperti dirinya, adik kecilnya beserta kedua orang tuanyapun tidak pernah bener – benar merasa lesu menghadapi hidup, pun ketika dalam satu hari mereka harus ‘puas’ makan nasi berlauk garam, atau dengan satu bungkus mie rebus yang dijadikan lauk untuk mereka berempat, atau bahkan dengan gembira menangkap beberapa bekicot yang berkeliaran di kebun untuk dimasak.
Ayahnya bahkan masih sempat terbahak sesaat setelah ia diperhentikan dengan hormat dari pekerjaannya, karena fitnah dari salah satu rekan kerjanya ayahnya yang semula beliau anggap sebagai karib.
“Ayah baca di koran, katanya banyak restoran terkenal memasak bekicot. Malah ada yang dijadikan menu istimewa Apa salahnya sekarang kita coba. Malahan hari ini kita bisa makan daging, “ kata ayahnya sambil tersenyum.
Mungkin hal itu yang menyebabkan ibunya bisa memasak bekicot dengan berbagai macam bumbu yang sedap. Yah, sebetulnya tidak sedap sekali, tapi lebih nikmat daripada cuma nasi garam.
Telephone berbunyi lagi. Kali ini bukan dari luar, melainkan dari ruang Pak Rubyanto.
“Ada beberapa lembar surat penting yang harus kamu fax. Rahasia. Sekretaris saya yang akan membawanya ke ruangan kamu dalam keadaan tertutup. Jangan sampai ada satu orangpun yang tahu, dan kalau ada pihak atau orang lain yang tahu, kamu yang harus bertanggung jawab,”
Pesan Pak Ruby jelas, dan sebenarnya di tidak pernah ambil peduli dengan ratusan lembar surat atau pesan yang ia fax, atau fax yang ia terima untuk Perusahaannya. Tapi rupanya kata ‘rahasia’ malah tak urung membuatnya tertarik, meskipun ia bukan termasuk orang yang selalu ingin tahu. Tapi toh ketika akhirnya setelah ia menerima beberapa lembar surat yang dimaksud, ia sama sekali tidak mengerti isinya dan itu lebih melegakan. Rahasia atau bukan, lebih baik ia memang tidak usah mengerti. Tapi yang cukup mengherankan adalah bahwa akhir-akhir ini memang sedikit lebih banyak surat – surat rahasia yang di-fax, mungkin juga banyak surat rahasia yang dikirim.
“Jangan terlalu ingin tahu urusan yang bukan urusan kita, tidak sehat untuk jasmani maupun rohani. Apalagi hal yang memang tidak semestinya kita tahu. Bisa kena sakit mental kita,” tiba-tiba ia teringat ayahnya pernah berujar tatkala mendengar ibunya membicarakan salah satu tetangga yang kata orang sudah menjadi istri simpanan seorang pejabat, dan masih tetap berganti – ganti pasangan hampir setiap malam, “ Yaah, meskipun kalo harus berpikir soal urusan kita terus kita juga bisa sakit mental !” sambung ayahnya lagi sambil terbahak saat ia mencoba menyalakan puntung rokoknya.
Dan hal itu juga akhirnya membuatnya bisa tersenyum, apalagi sekarang adalah waktunya istirahat siang.
Namun rupanya saat istirahat tidak membuatnya berhenti untuk berfikir. Hari ini merebak berita burung bahwa gaji pokok mereka akan dipotong sekian persen karena tidak mampunya Perusahaan membayar penuh gaji karyawan sebab penjualan produk terus merosot. Ada juga yang bilang masing – masing karyawan ‘dipersilahkan’ untuk ‘menikmati’ libur selama satu minggu tiap bulannya, dan begantian bekerja.
Aaaah, rupanya sekarang bukan cuma Pak Sudarman yang lesu, karena mulai siang ini hampir seluruh penghuni Perusahaan ini mulai menunjukkan ekspresi ‘ kurang sehat’. Dan hal ini ( enatah itu berita burung atau bukan ) kembali membuatnya berfikir.
Ooh, bukan berpikir, tapi memijit-mijit kepala karena tiba – tiba pusing.
Saat itu beberapa orang di tempat kerjanya masih sibuk berbisik-bisik dan menyebar berita burung, mereka tidak ada capek-capeknya mengatakan bahwa sebenarnya Perusahaan masih cukup kuat kalau saja keuntungan Perusahaan tidak jatuh ke tangan – tangan yang tidak bertanggung jawab, sehingga gaji karyawan mesti disunat. Ada juga yang mengatakan bahwa Pak Sudarman memiliki wanita di luar kota, dan mesti mengeluarkan banyak uang untuk menghidupi wanitanya itu. Bahkan bukan hanya satu wanita. Selebihnya mereka, orang-orang di tempat kerjanya Cuma berbisik-bisik sambil terkadang terkikik, terkadang bicara panjang lebar bagai menganalisa apa yang tengah terjadi dan mengahkimi keadaan.
Dia cuma diam, karena ia masih pusing.
Ia jadi teringat bagaimana ibunya setiap bulan harus menyiapkan tiga puluh buah amplop yang masing-masing diisinya dengan sejumlah uang.
“Selain supaya uangnya cukup untuk belanja dan keperluan satu bulan, dengan ini kita juga bisa belajar untuk menahan diri dan belajar mengatur diri sendiri,” begitu ibunya berujar. Namun tak urung ketika adik kecilnya sakit campak, beberapa buah amplop mesti dikosongkan dalam sehari, dan setelah itu dilihatnya sang ibu sering memijit-mijit kepala.
Saat ini ia mengetahui bagaimana sepenuhnya persaan ibunya saat itu . Yang dia merasa heran adalah mengapa mendengarkan orang bicara saja sudah membuatnya pusing.
Ketika waktu istirahatnya usai, dan ia kembali masuk ke ‘bilik’ kerjanya, ia mulai memikirkan bagaimana cara ia mengatur keuangan nanti apabila gajinya yang tinggal 50% itu mesti disunat lagi. Saat itulah telephone berbunyi.
“PT. Jaya Makmur Abadi, selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” ia menyapa.
Seorang wanita. Dan ia menjadi Pak Ruby yang kebetulan memang tidak ada di tempat semenjak saat istirahat siang.
“Wah, keluar ya ? Padahal jam segini Bapak paling ngga suka dihubungi melalui Phone Cell .Begini saja mbak , tolong sampaikan ke Bapak istrinya menelphone.Bilang saya jadi beli cincin berliannya yang kemarin dilihat-lihat. Bilang juga tiket yang untuk ke Singapore sudah saya pesankan untuk lusa. Jangan tidak disampaikan lho mbak, soalnya hari ini mungkin saya tidak bisa ketemu Bapak. Mungkin baru sore atau malam nanti saya telephone untuk menegaskan lagi, “
Sesaat setelah gagang telephone ia letakkan, ia tersenyum kecut. Cincin berlian. Bagaimana rasanya kalau ia bisa membelikan sebentuk cincin berlian untuk ibunya. Pasti ibunya akan sangat gembira, karena setahunya untuk cincin perkawinan saja mesti beberapa kali dijual dan dibeli lagi, sampai kemudian mesti memakai cincin sepuhan supaya pantas dilihat orang.
“Ya, menurut ibu sih kalau bisa mesti pakai, apapun bahannya,” jawab ibunya ketika ia bertanya. Ibunya tersenyum sambil terus memandangi sebentuk cincin sepuhan yang sampai saat ini masih melingkar di jari manis beliau itu. Entah kenapa ibunya masih bisa tersenyum, sementara ia tahu persis saat itu ibunya sedang gundah.
Kala ia diterima bekerja, setelah dengan susah payah ayahnya membiayai pendidikannya yang D1 itu, kedua orang tuanya senang bukan kepalang. Serasa mereka telah berhasil menyelesaikan satu babak dari kehidupan mereka, dan mulai membuka babak baru. Bukan berarti mudah, tapi juga bukan tidak mungkin akan lebih baik dari babak sebelumnya. Dan ketidak mudahan itu mulai tercermin saat satu-satunya lapagan kerja yang menerimanya terletak di luar kota. Tak jauh dari kota tempat tinggalnya memang, namun tetap saja di luar kota. Sempat ia harus bolak-balik setiap hari, namun ternyata itu merupakan pemborosan yang luar biasa, karenanya ia memilih kost, ditempat yang bukan saja paling dekat di tempat kerjanya, tapi juga paling murah.
Tidak mudah mencari tempat seperti itu, dan akhirnya ia mendapatkannya, meski tetap saja ia harus berjalan selama hampir setengah jam dari tempat kostnya ke tempat kerja. Itu tidak masalah baginya, karena ia sering kali tidak perlu berjalan, disebabkan pada jam-jam masuk kerja, ia bisa menunpang teman kerjanya yang kebetulan lewat berkendaraan.
Hari itu ditutup dengan adanya satu buah pengumuman yang terpampang di papan pengumuman karyawan, yang menyatakan bahwa minggu depan akan diadakan General Meeting. Pak Rubyanto sendiri yang akan memimpin, dan seluruh karyawan tanpa terkecuali diharuskan untuk datang.
Hmm.. ada apa kiranya ? dia mulai berfikir, padahal General Meeting terakhir seingatnya sudah kira- kira dua tahun lalu, ketika dibahas soal pergantian pimpinan dan kebijakan, dan setelah itu sama sekali tidak pernah diadakan. Dalam khayal manisnya ia mengharapkan sesuatu yang bagus bakal disampaikan besok, entah itu kenaikan gaji, bonus, uang makan, kredit pemilikan rumah, atau hal semacam itu. Namun tak urung ternyata ‘sesuatu yang gelap’ terasa lebih berkuasa memenuhi pikirannya saat ini, dan ia sangat takut hal yang buruk benar-benar akan terjadi.
Kalau ada yang mengatakan, jangan berpikir tentang hal yang buruk, karena pikiranmulah yang membuatnya benar- benar terjadi, mungkin hal semacam itulah yang terjadi seminggu kemudian. Ia tidak tahu teori itu benar atau tidak, tapi yang pasti apa yang sudah bertengger dalam sudut gelap di kepalanya selama hampir satu minggu ini ternyata benar adanya, pun kabar burung yang didengarnya lewat kasak kusuk saat istirahat siang seminggu yang lalu, disusul hari – hari berikutnya.
Acara General Meeting diwarnai dengan wajah – wajah tegang dari karyawan, pun saat pihat Perusahaan memulai dengan kata maaf berkali-kali dan Pak Rubyanto mengucapkan kalimat panjang yang mengharu biru, yang pada intinya dengan berat hati Perusahaan menyampaikan hal – hal yang kurang lebih sama dengan yang menjadai topik hangat para karyawan selama satu minggu ini. Banyak rekan kerjanya yang langsung ribut, marah-marah dan beberapa diantaranya langsung mengajukan pertanyaan bertubi-tubi sehingga membuat pihak Management kewalahan.
Tapi ia cuma diam.
Tiba-tiba saja berbagai wajah-wajah muncul di kepalanya. Ayah, ibu, adik, bahkan dirinya sendiri. Dan berbagai peristiwa silih berganti dalam adegan yang begitu cepat melompat lompat dalam satu ritme yang tidak berurutan antara masa lalu dan khayalan kemungkinan masa depannya. Lalu muncul wajah lain. Kawan-kawan lamanya, bekas rekan kerja ayahnya, pengurus tata usaha di sekolahnya dulu.
Keesokan harinya keadaan semakin parah. Beberapa karyawan melancarkan demo. Ketika Management Perusahaan meminta waktu untuk membicarakannya dan dianggap terlalu lama, diantara mereka mulai melakukan perusakan pada lading tempat mereka mencari nafkah. Kaca-kaca dipecah, meja dan kursi dirusak, mobil Pak Direktur dibakar, sampai kemudian yang berwajib datang.
Telephone di ruang opereter berdering ratusan kali, tapi ia tidak perduli. Siapa yang perduli telephone karena saat ini ia sedang merasa heran. Keheranan yang amat sangat, karena mengingat bahwa setiap hari dia selalu bisa berfikir tentang sesuatu, ternyata hari ini otaknya terasa buntu.
Dua hari setelah kejadian tersebut, ada beberapa kebijakan Perusahaan yang akhirnya diralat. dan bersedia mengabulkan beberapa hal yang menjadi tuntutan karyawan, tapi dengan satu konsekwnsi yang juga mesti harus diterima dengan lapan dada oleh karyawan, karena Perusahaan mengaku sudah benar-benar pailit. Perusahaan menyatakan akan mengadakan perampingan !
Bagi karyawan yang belum dua tahun bekerja, atau dianggap kurang mampu, dengan hormat dimohon untuk mengundurkan diri, dan yang satu ini tidak bisa dibantah lagi. Pihak Perusahaan telah mengundang beberapa wakil karyawan untuk berunding, dan memang begitulah hasilnya.
Sebuah dilema, ada yang mengatakan begitu.
Tapi ada juga yang tenang – tenang saja. Oh, ya, tentu saja, masa kerja mereka sudah melewati tahun kedua, dan sepanjang bertemu dengan juniornya mereka menepuk – nepuk punggung mereka dan berusaha untuk menenangkan. Basa basi mungkin saja, karena sinar mata mereka tetap saja tidak bisa berbohong bahwa saat ini mereka sedang berlega hati.
Baginya, dilema atau bukan, basa basi atau bukan, hasilnya tetap sama baginya.
Kosong.
Kalau dipikir seharusnya ia tidak perlu terkejut mendengar berita buruk, ia sudah terlalu sering mendengar berita yang kurang bagus. Hanya saja baru entah kenapa baru kali ini ia merasa ada sebuah tanggung jawab besar yang terpaksa harus direnggut darinya. Tanggung jawab besar dirinya kepada segenap anggota keluarga.
Ia tidak tahu apakah ia sudah tidak bisa lagi berpikir, atau karena terlalu banyak berpikir.
“Kamu mendapatkan pesangon lima bulan gaji, dipotong pelunasan kerusakan pesawat penerima telephone tempo hari, dan kamu masih diwajibkan masuk kerja sampai akhir minggu ini, dimana saat kamu terima uang pesangon kamu. Kami ucapkan terima kasih atas pengabdianmu selama hampir dua tahun ini, yang tentu saja tidak akan pernah kami lupakan. Dan bila ada kesempatan lagi, pasti kami akan memanggil kamu kembali. Kamu akan selalu menjadi prioritas utama. Ada yang ingin kamu sampaikan pada Perusahaan ? “ begitu penyelianya berujar, dan ia menggelengkan kepala. Penyelianya tersenyum dan menyalaminya.
Entah bagi orang lain, tapi baginya itu adalah senyum paling memuakkan yang pernah ia lihat, dan berharap sepanjang hidup selanjutnya tidak akan menemui senyum semacam itu lagi, dan ingin sekali rasanya ia menyumpah kali ini, membayar makian orang – orang di pesawat telephone yang ia terima setiap hari.. Menyumpah pada orang di depannya, pada Pak Ruby, pada teman kerjanya yang masih bisa bekerja, pada kawan sekolahnya dulu, pada guru-gurunya, rekan kerja ayahnya, semua ! Bahkan pada dirinya sendiri.
Tapi ia cuma diam, berterima kasih dan pergi meninggalkan ruang kantor penyelianya, dan kembali ke biliknya yang sempit. Ya, ia harus kembali ke bilik kerjanya lagi.
Telephone berdering berkali - kali, dan ..
“Selamat siang, PT. Jaya Makmur Abadi, ada yang bisa kami bantu ? …”
Suara para penagih yang suka memaki itu lagi . Suara – suara yang masih bisa terngiang bahkan saat gagang telephone sudah berada pada tempatnya.
Disentuhnya perlahan beberapa bagian dari peralatan kerja yang ada di sekitarnya lembut, dan ia teringat kembali ayahnya berkata,
“Makanlah daging bekicot ini. Enak rasanya. Restoran – restoran terkenal saja menyajikan daging bekicot sebagai menu istimewa,……..”

Tidak ada komentar: