Kamis, Desember 24, 2009

Immitation of love (??)

500 Days of Summer
Directed By : Marc Webb
Cast : Joseph Gordon-Levitt, Zooey Deschanel
Image and video hosting by TinyPic
An offbeat romantic comedy about a woman who doesn't
believe true love exists, and the young man who falls for her
Sebelum gw kasih komen soal film ini, ada yang bikin cengar cengir di awal penayangannya, sebelum adegan masuk.
Pada awalnya sih biasa aja, ada author’s note seperti ini :

The following is a work of fiction.
Any resemblance to persons living or dead is purely coincidental
.

Biasa aja kan ?!
Naa, kalimat selanjutnya yang bikin nyengir.
Kalo dibaca seluruhnya, maka note selengkapya adalah :

The following is a work of fiction.
Any resemblance to persons living or dead is purely coincidental.

Especially you Jenny Beckman

Bitch.

He he he..
Hal yang bikin gw sempat berpikir bahwa film maker-nya cewe., joker, ato emang ‘sekedar’ orang ‘sinting’. ^^


Well anyway komen gw untuk film ini beneran personal banget. Gw ga akan berkomentar soal hal tekhnis, karena memang gw kurang mengerti, kecuali yang memang kentara banget dan cukup mengganggu bagi penonton awam sekalipun, dan di film ini g rasa hal itu ga ada.
Bisa jadi komen ini hanyalah apa yang gw rasakan saat dan setelah nonton film ini.
Keseluruhannya : interesting

Alur film ini maju-mundur-maju. Misalnya, masuk hari 1, lompat ke hari 204 balik ke hari 3,tau2 hari ke 488, dst. Meski begitu, alurnya menurut gw ga bikin bingung, meskipun pada satu atau dua spot, gw lost, lupa gw berada di adegan hari ke berapa (he he ).Tapi tidak masalah, karena tidak membuat gw bingung. Ikuti aja.

Hal yang menarik dari film ini adalah kita diajak ikut ke dalam jungkir baliknya perasaan dan pikiran Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) tokoh utamanya, dan penggambarannya bisa apa saja, meskipun tidak terlalu kaya ekspresi. seperti dalam serial Ally McBeal.
Saat perasaan Tom sedang berbunga2, tiba2 saja film ini serupa drama musikal dimana ia menari2 dan semua orang di jalan mengikuti.
Atau saat pikirannya galau dan ia sedang berada di dalam gedung bioskop, tiba2 saja adegan2 film yang tengah diputar semua diperankan olehnya dengan karakter berbeda2 dan dengan bahasa yang campur aduk,

What is love ? Apa sih cinta itu ? Dalam hal ini gw mempersempitnya menjadi hanya cinta antara laki laki dan perempuan.
Kalau gw tanya ke kamu pertanyaan seperi itu, gw yakin jawaban kamu beragam atau bahkan ada yang tidak bisa menjawab sama sekali.
Reaksi kamu juga gw yakin beragam : senyum, tertawa, malu2, mencibir, mengerutkan kening, dsb.

Tagline film ini adalah : Boy meets girl. Boy falls in love, girl doesn’t
Pada awal penayangan, narrator sempat berkata: this is story of boy meets girl. But you should know up front, this is not a love story.
Intinya bisa saja : boy falls in love, (but) this is not a love story.
Bagi gw : boy (think he) falls in love, (but he doesn’t). (So) this is (definitely) not a love story.
Bagi gw, Tom Hansen tergila2 pada Summer Finn (Zooey Deschanel) bukan karena cinta, tetapi karena penasaran, Summer Finn was playing hard to get. Laki – laki menurut gw biasanya akan penasaran dan tergila2 dengan model perempuan semacam ini,
Mungkin akan berbeda ceritanya bila Tom Hansen naksir Summer, dan Summer menerima dengan tangan terbuka dan akhirnya mereka pacaran beneran.
End of story, boring, life is flat.
Dan itu tidak mungkin terjadi. Dalam kehidupan nyata, especially.
Karena film adalah cerminan kehidupan nyata, maka untuk romance story pun, harus ada konflik, dari pihak laki2 atau perempuan,
Dan dalam cerita ini, tampaknya sih girl power, tapi yang gw rasakan sih enggak, Dan hal itu sangat gw rasakan pada adegan terakhir film ini.
Pada akhirnya kedudukan perempuan dan laki2 sama saja. Tidak ada yang superior. Salah satunya bisa saja sangat berpengaruh bagi yang lain, lalu tiba2 bisa terlupakan begitu saja,
Bahkan gw sempat berpikir, apa memang bener sesungguhnya tidak ada yang namanya true love ?
Asal kamu open heart, tunggu saja sampai kamu ketemu yang lain, maka patahlah anggapanmu bahwa dia adalah cinta sejatimu.
Dia hanya seseorang yang sempat singgah dalam kehidupanmu.
Seperti itukah ??

Rachel Hansen : Tom, I know you think she was the one, but I don’t. Next time you look back, I think you should look again.

So guys, what is love exactly ?

Selasa, Juni 16, 2009

Yang sempurna adalah tidak sempurna

Coraline
Director : Henry Selick
Cast : Dakota Fanning, Teri Hatcher, Keith David
Image and video hosting by TinyPic
A young girl walks through a secret door in her new home and discovers an alternate version of her life. On the surface, this parallel reality is eerily similar to her real life - only much better. But when her adventure turns dangerous, and her counterfeit parents (including Other Mother) try to keep her forever, Coraline must count on her resourcefulness, determination, and bravery to get back home - and save her family. Written by Megan

Puaskah kamu dengan apa yang sekarang kamu dapatkan ? Bahagiakah kamu hidup bersama dengan keluarga atau pasanganmu ? Betahkah kamu dengan lingkungan di sekitarmu ? Benar tepatkah pekerjaan yang kamu lakoni sekarang ?
Well, jika kita bermasalah dengan hal – hal tersebut, selalu ada nasihat klasik untuk kita : banyak2 bersyukurlah dengan apa yang kau dapatkan dan lebih seringlah memandang ke bawah.

Gw nonton film ini dirumah, bahkan saat dimana gw ga tahu waktu itu gw kepingin nonton film apa. Otak gw masih full dengan serial drama Korea : Boys Before Flowers ( versi Korea dari Meteor Garden alias Hana Yori Dango alias Boys Over Flowers). Masih terbayang2 wajah2 drop dead gorgeous mereka, dan rasanya masih kepingin nonton ulang (you can scream : WHAAT ??!!)
Yeah yeah, just laugh out loud, I’m just a girl after all. And that’s not my fault. They are really cute ! J
Lalu… kenapa tiba2 kepingin nonton CORALINE dalam ‘kondisi seperti itu’ ?
Ga nyambung ?
Atau malah jangan2 dari sisi psikologis malah make sense ? Coba tolong yang psikolog, pendapat Anda ?
Tapi gw lagi kepingin nonton.
Anyway bagaimanapun gw putar Caroline.
Oya, soal Neil Gaiman, well bukan salah satu novelis favorite gw.
Bukan, bukan karena muatan ceritanya yang gw ga suka, cerita fantasi gw suka, makin aneh ceritanya biasanya makin gw suka. Hanya saja entah kenapa cara bertutur Gaiman masih bikin gw puyeng. Novel-nya Neverwhere ga pernah kelar gw baca. Padahal sudah saduran pula.
Mungkin gw mesti melakukan pendekatan dengan Gaiman melalui cara lain. Media novel grafis atau film-nya kayanya lebih kena bagi gw, meskipun jelas gw ga tahu apakah pesan Gaiman dalam karyanya bisa ‘nyampe’ kalo disampaikan dengan media lain, atau bahkan melenceng sama sekali.
Sudah lama ‘Sandman’ jadi incaran gw meskipun belum kebeli juga.
Mahal huuuaaaa !
Di film, Stardust oke laah, dan kini : Coraline.
Yang ada di kepala gw adalah : Nightmare Before Christmas atau Corpse Bride, dan keduanya belum pernah gw tonton sampe kelar J
Dari cara penuturannya, film ini memang mengundang rasa pilu dan tentu saja, creepy.
Suami gw lebih parah, saat ketahuan bahwa other mother adalah makhluk lain yang jahat, dia merinding. Tapi memang gw akui, deg2an. Gw merasa masuk ke mimpi buruk.
You know, the house, the circus, the garden.
Rasa pilu yang dalam gw rasakan tatkala three friendly ghosts (Sweet Ghost Girl, Tall Ghost Girl & Ghost Boy) berbicara. I’m a big fan of ‘em. Cara mereka berbicara membuat gw bergidik. Gw benar2 seperti dibawa ke alam lain. Simple, tapi efektif banget buat gw, karena gw percaya, keberadaan hantu tidak lepas dari rasa pedih dan pilu. Semakin pilu keberadaan mereka, maka akan semakin menyeramkanlah mereka.
Temanya juga tampak simple, tetapi bisa ditujukan kepada siapa saja. Soal cerita yang sederhana atau tidak, well, tergantung story teller-nya gw rasa. Bukankah cerita2 Brothers Grimm yang ditujukan bagi anak – anak itu aslinya adalah cerita2 yang menyeramkan ?!
Gw exited dengan beberapa adegan dimana Coraline selalu meralat setiap orang yang memanggilnya dengan : Caroline. Lucunya, pada akhir film semua mereka dapat mengucapkan namanya dengan benar.
Well that’s mean a lot.
Adegan menarik lainnya adalah adegan Cat yang tiba2 menghilang di balik tiang pada bagian akhir film. Seolah mengundang tanya, siapakah atau apakah Cat sebenarnya.
Dan bukankah Cat adalah satu2nya makhluk disitu yang dengan jelas menyatakan sejak awal :
You probably think this world is a dream come true... but you're wrong.

Dream’s perfect, our life’s not.
It should be not.
If it’s perfect, there must be something wrong.



Rabu, Mei 27, 2009

Differences part 2 : About Their Stories and Ours

(tulisan dibuat Oktober 2008)
“Burns Living Flowers” he introduced himself.
My eyes widened at his name. Fire World – how unexpected.
“Wanderer” I told him.
“It’s…extraordinary to meet you, Wanderer. And here I thought I was one of a kind”
“Not even close” I said, thinking of Sunny (Sunlight Passing Through the Ice) back in the caves. Perhaps we here none of us as rare as we thought.
He raised an eyebrow at my answer, intrigued.
“Is that so ?” he said “Well, maybe there’s some hope for this planet, after all.”
“It’s a strange world,” I murmured, more to myself than to the other native soul.
“The strangest” he agreed.

(salah satu dialog favorit gw dalam The Host)
Image and video hosting by TinyPic

Gw masih mengutip dialog dari novel The Host diatas, karena dari dialog itu tiba – tiba gw kepingin menulis ini.
Tentang hal yang masih terkait dengan perbedaan dan betapa istimewanya kita manusia, dan bumi tempat kita tinggal.
Dalam The Host, Burns dan Wanderer mencintai bumi ini, mereka ingin mati dan dikubur di bumi, dan mereka rela berbuat apa saja untuk manusia – manusia yang mereka kasihi di bumi ini.
Meskipun sebelumnya mereka sudah tinggal di beberapa dunia, bumi adalah yang istimewa.
Kita manusia, istimewa.
Selalu begitu adanya.

Differences.
Humans.
Aliens.
Differences. Again.

Di kepala gw saat ini terlintas cerita2 fantasi. The Host, ET, Little Prince, Twilight, Harry Potter, Terminator, The Matrix dan Lord of The Rings. Mungkin plus berjuta kisah yang lain.
Kisah – kisah itu kurang lebih mengetengahkan kisah manusia yang terkait dengan makhluk2 lain yang dalam berbagai karakter, bentuk dan asal muasalnya gw sebut mereka semua : The Aliens.
Dalam kisah2 ini, hampir selalu terdapat yang tokoh jahat dan yang baik, naturally.
Tapi kita tidak akan berbicara soal itu. That’s another story. That comes naturally.

Namun yang membuat kita terpukau adalah betapa banyak makhluk lain yang ternyata mempunyai hati yang jauh lebih bersih dari hati kita, manusia.
But still, anehnya kita manusia selalu dijunjungnya. Kita tetap ditempatkan pada posisi yang tinggi.
Kita, manusia, dipuja, dibela, dicinta, dikagumi. Menjadikan kita makhluk yang pantas diperhitungkan, dihormati, disayangi.
Takluk, dalam arti yang positif.
Well, yes of course.
Dalam sejarah sudah tercatat bahwa kita sudah membuat iblis bersumpah sekuat tenaga untuk mempengaruhi kita mengikuti jejaknya, dan telah membuat malaikat iri terhadap kita.

Ada apa dengan kita ??
Apa yang kita miliki sebenarnya ??

Ya, kita bisa mengizinkan mereka untuk mengagumi dan menyayangi kita. Itu hak kita. Bahkan mungkin menjadi wajib jika mereka memang punya hati yang baik. Kita punya hak untuk itu, sekuat hak prerogative kita untuk menentukan kepada apa dan siapa kita akan menaruh hormat, dan kasih.

Tokoh2 manusia dalam cerita2 merelakan diri mereka bersahabat, dihormati, disayangi , dicintai oleh The Aliens meskipun mereka adalah cacing, vampire, werewolf, robot, peri, iblis yang bertobat, makhluk neraka yang bertobat, bidadari, hantu atau makhluk berbentuk aneh yang lain.
Differences. Cara hidup mereka berbeda, tempat hidup mereka berbeda, apa yang mereka makan berbeda, bentuk tubuh mereka berbeda, cara memperlakukan kita berbeda.
Semuanya dalam arti yang benar2 ekstrim.
Toh, tokoh2 manusia dalam cerita itu menerima dan baik2 saja. Bahkan menyambut sikap mereka dengan tangan terbuka dan juga penuh kasih.
Kita pembaca juga baik2 saja, rela. Seolah kita menyetujui bahwa memang begitulah kondisi idealnya.
Para pengarang juga tentu saja baik – baik saja. Mereka yang me- reka2 tokoh yang ada, seolah berharap memang begitulah kondisi idealnya.

Lalu jika kita merubah bentuk The Aliens, menjadi orang2 sesama manusia diluar diri kita, bisakah kita baik – baik saja ?
Bagaimana jika sebutan ‘alien’ hanya representative dari ‘ketidaksempurnaan dan perbedaan’ ?
Imperfections in this un-perfect world.
Perbedaan.
Bisakah kita menerima meraka selayaknya kita menerima The Aliens ?
Di dunia dimana beda selera dalam berpakaian saja bisa jadi masalah besar.
Jangan – jangan malah bisa jadi pemicu perang.
Jangan – jangan memang lebih baik jika ada invasi dari alien saja, supaya hal – hal semacam itu terlupakan.

If other creatures can love us-humans- that much, then why can’t we-humans- love each other ?

Differences… hmmm…
Are they a curse or a gift for us to have ?

Differences part 1 : About novel ‘The Host’ by Stephenie Meyer

(tulisan dibuat bulan Oktober 2008)
“Burns Living Flowers” he introduced himself.
My eyes widened at his name. Fire World – how unexpected.
“Wanderer” I told him.
“It’s…extraordinary to meet you, Wanderer. And here I thought I was one of a kind”
“Not even close” I said, thinking of Sunny (Sunlight Passing Through the Ice) back in the caves. Perhaps we here none of us as rare as we thought.
He raised an eyebrow at my answer, intrigued.
“Is that so ?” he said “Well, maybe there’s some hope for this planet, after all.”
“It’s a strange world,” I murmured, more to myself than to the other native soul.
“The strangest” he agreed.

(salah satu dialog favorit gw dalam The Host)
Image and video hosting by TinyPic


Akhirnya kelar juga The Host gw baca. Thank’s to Andrea Hirata dan Laskar Pelangi The Series-nya yang memukau, yang membuat gw menemukan kembali passion gw terhadap buku. Dan thank’s to Stephenie Meyer, karena sejak gue - mengikuti jejak milyaran cewe sedunia - membaca – plus memesan jauh2 hari sebelumnya di Times Bookstore karena stok serial saga ini habis melulu – bukunya Twilight Saga, gw jadi kembali menemukan cinta gw terhadap buku2 dunia.
Seperti juga untuk Andrea Hirata, of course, gw jatuh hati pada Meyer. Gw menyukai cara bertutur mereka dalam membawakan sebuah cerita. Cinta, keindahan dan harapan. Rasanya tiga hal itu yang selalu ada dalam karya2 mereka. Tiga kombinasi yang bisa dihadirkan sekaligus dalam kondisi yang biasa2 saja, kondisi yang memilukan atau bahkan menakutkan sekalipun.
Khusus untuk Stephenie Meyer, well, yeah yeah, gw akui gw masih mabuk kepayang dengan Twiligt Saga-nya dan ikutan geram tatkala Midnight Sun (Edward’s Story) urung naik cetak karena beberapa chapternya bocor di internet.
Masih di bawah pengaruh sihir Twilight, gw mencoba mencari karya Meyer yang lain, dengan harapan kerinduan gw terhadap Twilight terobati.
Dan gw hanya menemukan The Host.
Sebentar gw timbang2 apakah gw harus membeli novelnya, dan apakah impact yang dihadirkannya akan dapat menetralisir this crazy unbelievable passionate terhadap Twilight. Gw tahu gw butuh itu. Akhirnya gw beli juga bukunya yang nyaris dua kali lipat lebih mahal dari masing2 buku serial Twilight Saga, dengan membawa 70 persen harapan dalam diri gw, dan 30 persen keraguan. Buku ini tidak akan bisa membawa pengaruh apapun yang bisa membuat gw berpaling dari Twilight, begitu pikir gw waktu itu.
Alien ?!! PUAH !
I almost hate aliens stories. Bosan, tepatnya.
But well, ini karya Stephenie Meyer, bukan yang lain. So beat it.
Lagipula Twilight juga kurang lebih bercerita soal alien, dalam bentuk yang beda. Hanya saja mereka bukan datang dari planet lain.
Don’t judge a book by it’s cover … or by it’s synopsis laah
THEN VOILA !
Sekarang gw malah mengharapkan tokoh2 seperti Wanderer, Melanie and Jamie Stryder, Jared Howe, Ian O’Shea atau Uncle Jeb muncul lagi tatkala Meyer ‘berbaik hati’ membuat The Host menjadi Dwilogy, Trilogy atau bahkan Tetralogy seperti Twilight.
Tapi mungkin lebih indah jika The Host berakhir sampai disini.

Seperti yang gw harapkan, Meyer masih memiliki kekuatan dalam cara bertutur, in her way of course. In a way that made me thrilled.
Satu yang pasti, seperti juga pada Twilight, Meyer suka sekali membuat tokoh2 utamanya miserable, full of pain, suffering. Namun tidak pesimis. Atmosfir yang dihasilkannya adalah full of hope.
Dan anyway, gw suka tokoh2 yang dibuat miserable ( ha ha ).
Mengharapkan The Host adalah full sci-fi adalah sia – sia.
Yang gw tangkap, selain bahwa novel itu membawa kita pada petualangan, aksi, kasih sayang dan asmara, adalah bahwa bagaimana kita manusia menghadapi adanya sebuah perbedaan.
Jika dalam Twilight kita dipertemukan dengan makhluk cantik luar dalam bernama Edward Cullen, dalam The Host sosoknya berubah menjadi makhluk perempuan berbentuk semacam cacing berwarna perak yang diberi nama : Wanderer.
Ia ‘menempati’ tubuh seorang manusia perempuan kuat yang baik hati bernama Melanie Stryder.
Tentu saja, kita akan langsung jatuh hati padanya, dan jatuh iba pada perlakuan manusia – manusia yang hanya melihatnya sebagai parasit dan musuh.
But she’s strong, she’s a fighter and she has a beautiful pure heart (and/or soul).
Tiga hal yang jika kita punya, rasanya dunia sudah ada di tangan kita, dan seluruh manusaia di dunia punya, rasanya dunia bisa kiamat :D

Who is alien ? what is it, anyway ?

Kita bisa menjadi alien dimana saja, bagi siapa saja. Di tempat yang baru, bertemu dengan orang baru.
Difensif.
Sering kita bersikat difensif tatkala bertemu dengan orang baru, orang yang kita anggap bodoh, miskin, terlalu kaya, terlalu pintar, tidak sama hobinya, yang aneh, yang jorok, yang gila, yang menakutkan, yang menyebalkan. Tidak seiman, tidak se-prinsip, tidak se-suku, tidak se-negara, Orang yang kita anggap musuh. Orang yang kita anggap : beda.
Kadangkala malah kita adalah alien bagi diri kita sendiri.
Manusiawi ? Yes, of course.
Jangan anggap gw ga pernah merasakan itu.
Sering, malah.

SO LADIES ‘N GENTLEMENT,
WE’RE ALL ALIEN.

It means, tanpa alien, dunia kiamat.
Pada akhirnya gw tidak lagi membenci cerita2 tentang alien :p
B’coz it’s all about us.

Selasa, Oktober 07, 2008

A Nite To Remember

Malam tanggal 15 July, merupakan malam yang istimewa buat gw. Gw, suami dan adik ipar gw mendapat undangan untuk hadir pada premier pemutaran film horror kita berjudul : KARMA.
Terlepas dari pendapat gw mengenai jalan cerita film itu yang gw anggap istimewa, yang gw pengen sharing adalah suasana yang lihat dan rasakan saat moment sbelum dan sesudah pemutaran premier show itu berlangsung.
Kami bertiga masuk ke lobby bioskop di Plaza Ex pada sekitar jam 19.45 WIB. Suasana sudah mulai ramai. Mega poster Karma dipasang di sudut luar lobby. Poster ini bisa dimaksudkan untuk banyak keperluan, termasuk untuk foto – foto dan wawancara dengan para pendukung filmnya. Pada jam 20.00 hingga menjelang pemutaran film pada jam 21.30, sesi foto dan interview berlangsung. Gw berasa berada di tengah pusaran badai dan bersiap bertabrakan dengan benda2 yang turut melayang bersamanya. Dengan ‘sadis’ tubuh gw berkali – kali terhantam bahu orang – orang yang kebanyakan para pemburu berita dan wartawan gossip yang mengejar deadline. Tapi siapa yang perduli. Gw maklum benar dengan kondisi itu.
Gw melayangkan pandangan dan lihat wajah – wajah mempesona bertebaran dimana – mana. Kami beramah tamah dengan beberapa kenalan kami disana, seraya menyebar pandangan ke sepanjang ruang mencari wajah – wajah pujaan kami. Wajah – wajah mereka nyaris tidak pernah kita temui di layar sinetron (apalagi yang stripping) sehingga kemungkinan besar sebagian orang akan asing mendengar nama : Verdi Solaiman, Tizza Radia, Ario Wahab, Jenny Chan, Dominique Diyose, Poppy Sovia, Lukman Sardi, Joe Taslim, Jonathan Mulya, Sita Nursanti atau Yama Carlos. Setiap sudut ruang selalu terisi sorot kamera dan para artis yang bercuap – cuap. Gw pribadi sudah cukup puas karena sudah sempat bertegur sapa dan berfoto dengan idola gw Lukman Sardi, meskipun sutradara pujaan gw, Joko Anwar, tidak hadir.
Tibalah saat pertunjukan akan segera dimulai.
Keriuhan penonton yang masuk ke dalam ruangan teater tidak jauh berbeda dengan riuhnya penonton pertunjukan regular yang kita kenal, hanya bedanya selain bahwa hampir tiap kursi yang tersedia terisi dan 75% diantaranya adalah para praktisi film.
Perasaan gw luar biasa.
Suami gw yang duduk di sebelah kanan gw seperti kejatuhan durian runtuh tatkala menemui bahwa orang yang duduk di sebelahnya adalah Aksan Syuman, salah satu musisi favoritnya. Dan mengobrollah mereka dengan seru.
Adik ipar di sebelah kiri gw sempat bertegur sapa dengan Ira Wibowo yang duduk disebelahnya.
Gw ? Mereka meninggalkan gw yang duduk diantara mereka berdua. Manyun.
Saat lampu dalam ruangan bioskop mulai meredup dan gelap, suara gw muncul! (he he )Yeah, secara gw adalah pengisi suara untuk radio spot film ini. Saat radio spot diputar, terlihat mulai muncul kepala – kepala dalam keremangan, siap berada di depan screen.
Lampu tiba – tiba menyala sebagian, dan tampak berjejer di depan layar adalah film maker, crew dan cast dari Karma. Penonton bertepuk tangan.
Satu persatu orang – orang yang terlibat di dalam film tersebut disebutkan namanya dan tiap nama – nama itu disebut, penonton kembali memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan. Bahkan untuk beberapa person yang terlibat namun tidak ikut maju ke depan layar, juga akan dihadiahi tepukan tangan saat nama mereka muncul pada opening credit.
Sangat istimewa.
Aaaah… betapa sebuah karya begitu berharga dan patut dihargai.
Film-pun diputar.
Dan sepanjang pemutarannya, gw bisa merasakan betapa teriakan tertahan, emosi yang tampak dan tersamar yang terungkap dari sikap penonton yang menunjukkan mereka terbawa pada alur cerita merupakan kebanggaan bagi film maker-nya.
Saat pertunjukan berakhir, penonton kembali bertepuk tangan.
Seperti biasa, gw dan suami tetap di tempat sampai saat end credit berakhir. Hal ini selalu kami lakukan, pun pada saat kami menonton pertunjukan film regular. Kami selalu excite meneliti satu persatu nama yang terlibat dalam setiap pertunjukan film dan seringkali diikuti ekspresi bete dari petugas bioskop yang siap membersihkan ruang demi persiapan pertunjukan selanjutnya yang siap digelar kembali.
Bedanya, malam itu semua beranjak setelah end credit berakhir.
Orang – orang yang terlibat di dalam Karma kontan diberi selamat dan mungkin juga hmm…. menebar tanda – tanda untuk bekerja sama dalam proyek selanjutnya.
Setelah itu, sesi foto dan wawancara masih berlangsung hingga menjelang tengah malam.
Sebelum pulang, kami mengucapkan terima kasih, mengacungkan jempol padanya sekaligus berpamitan pada seorang kawan kami yang baik hati.
Dan akhirnya, tibalah saatnya kami pulang dengan membawa souvenir dari Karma berupa tas, kaos, poster, amplop angpao berisi foto salah satu cast dan donat dari sponsor.

Malam yang istimewa.

Minggu, Oktober 05, 2008

Two Different World

Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah. Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah

Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah. Ada dua hal yang gw temui saat gw dan teman – teman kantor mengikuti acara training dan jalan – jalan ke kota gudeg Jogya. Dua hal ini sengaja gw ambil dari kota Jogya, sekaligus merenungkan bahwa bukan hanya di kota metropolitan Jakarta- yang sering disiniskan orang dengan menyebutnya sebagai the sin city - saja kita dapat menemui mereka.

Hal pertama yang gw liat adalah seorang kakek renta yang dengan gayanya yang tenang berjongkok di pinggir jalan menyantap dengan lahap nasi sisa yang dari bentuknya kita akan dapat mengira2 bahwa nasi itu diambilnya dari tempat sampah. Ia sama sekali tidak menggubris kami yang ribut saat melewatinya. Uang yang disodorkan seorang kawan-pun ia terima dengan reaksi yang biasa – biasa saja. Entah apa pikiran yang muncul di kepalanya.

Hal kedua adalah suasana remang di tempat hiburan malam dimana gw dan dua teman berada di sana, ‘hanya’ memesan satu pitcher bir. Seorang kawan mencoba menawarkan minuman yang lebih keras, tapi gw menolak dengan alasan mengingat kondisi kami yang lelah dan kurang fit. Kami pun mencoba menikmati suasana malam itu. Teman cowo gw cukup puas kelihatannya, mengingat dancer disana gw akui, cantik – cantik. Gw sempat berpikir digaji berapa mereka, dan mengapa tidak menjadi pemain sinetron saja ?! he he

Gw menyapu pandangan ke sekeliling gw, melihat orang2 disana, yang kebanyakan usia belia, dan teringat kembali dengan kakek yang makan nasi sisa tadi siang.

Pada versi sinetron di televise kita, segalanya pasti jelas. Si kakek adalah orang baik hati yang ter-dzolimi dan tentu saja dengan ikhlas menerima nasibnya, sementara yang berada di tempat hiburan kesemuanya adalah orang – orang brengsek, dengan keluarga berantakan yang gemar menghamburkan uang dan hobi menyiksa batin orang semacam kakek yang tadi.

Gw ragu dalam kehidupan nyata semuanya dapat terbaca segamblang itu. Gw ragu ada kebenaran mutlak atau sebaliknya, apalagi jika hanya mengandalkan indera mata.

Lalu gw membayangkan beberapa scenario.

Lelaki muda yang sedari tadi hanya duduk merokok di seberang bangku gw bisa jadi hanya menerima ajakan kawan baiknya yang ingin ditemani. Hmm, atau dia insomnia dan memilih tempat yang hangar bingar sehingga ia tidak merasa sendirian. Bisa saja salah satu dancer adalah pacar atau saudarinya, sehingga perlu baginya untuk menunggui mereka bekerja. Atau jangan – jangan bahkan ia jatuh cinta pada salah seorang dancer dan hanya berani sampai batas memandangi wajah si gadis.

Gadis belia dengan rambutnya yang dijalin dengan rentetan asesori rambut sehingga seolah rasta, sedari tadi tidak bisa duduk diam. Dalam pikiran gw, dia hanya ingin melewatkan malam minggunya dengan penuh keceriaan, dan ia ingin melewatkannya dengan kawan – kawan tersayang. Sementara semua kawannya berada di tempat itu, kesanalah ia pergi. Ke tempat dimana kawan – kawan terbaiknya berada.

Seorang perempuan muda di tengah bar dengan serius menakar beberapa jenis minuman dengan cepat dan menuangkannya dalam satu wadah. Ekspresinya seolah menyiratkan : ini pekerjaan gw, tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan gw yakin bisa melakukannya dengan sempurna.

Dan sebelum mengalihkan pandangan pada jam tangan gw, terlihat dua anak muda gemulai yang tampaknya sangat gemar bergoyang.

Gay ? Don’t know!

Are they a couple ? Who cares !

Bagi gw, mereka adalah anak – anak yang butuh perhatian

Lalu bagaimana jika scenario yang lebih kelam dan absurd kita berikan pada si kakek ?

Skenario 1 : karena suatu sebab ia ditinggalkan anak istrinya, stress dan hidup di jalan

Skenario 2 : ada masa dimana ia adalah seorang yang kaya raya, namun ia pailit karena ia gemar berjudi, korupsi dan main perempuan, pailit dan jadi gelandangan.

Skenario 3 : Sedari dulu ia memang miskin, malas bekerja, gemar mengumpat sehingga kurang disukai orang, terusir dan akhirnya hidup di jalan

Skenario 4 : Karma-nya buruk karena ia memperlakukan orang dengan buruk

Skenario 5 : Ia seorang actor, observasi lalu mencoba mendalami perannya sebagai gelandangan, ia praktek langsung

Skenario 6 : Ia menjalani hidup di dua dunia. Dua kepribadian. Dr.Jekkyl & Mr.Hyde.

Skenario 6 : Ia seorang agen rahasia yang sedang menyamar

Skenario 7 : Ia adalah malaikat

Skenario terakhir : saat terjadi reinkarnasi, pada kehidupan mendatang nasibnya bertukar dengan orang – orang yang berada di tempat hiburan !

Yahaaa !!

Well, semua itu cuma ada di kepala gw. Jawaban pastinya cuma ada di langit.

Bagi gw, mereka hidup di dunia yang berbeda. Sepertinya bedanya hidup di Timur dengan di Barat misalnya. Atau hidup di kota dan di desa. Atau di negara 4 musim dan tropis.

Just different, that’s all.

Tidak ada kaitannya dengan benar atau salah

Selasa, Juni 10, 2008

Suatu Hari Saat Langit Kelabu

Elephant
Directed By : Gus Van Sant
Cast : Alex Frost, Eric Deulen, Elias McConnell

Image and video hosting by TinyPic

….. ..Alex enters the cafeteria and sits down (where he has apparently already opened fire, as a body can be seen in the background). Eric meets up with him, and they have a brief conversation, after which Alex shoots Eric in mid-sentence. Alex then leaves the cafeteria, showing no emotion over shooting Eric, and discovers Carrie and Nathan in a freezer. He tauntingly recites Eeny, meeny, miny, moe to them to decide whom he should kill first. The film then ends without resolution; the last shot of the film is similar to the opening, a cloudy blue sky.


My Note :

Film ini katanya controversial, dan merupakan adaptasi bebas dari peristiwa Columbine High School massacre yang menghebohkan itu. Seperti yang mungkin sudah kamu tahu, peristiwa permbunuhan yang terjadi di kota Littleton, Colorado tersebut dilakukan oleh dua orang murid SMA bernama Dylan Klebold & Eric Harris dan ‘sukses’ membunuh 12 murid lain, seorang guru dan mereka berdua sendiri terbunuh. Gus Van Sant meng-adaptasi real event itu dengan sebebas – bebasnya, termasuk dari cara penyutradaraannya. Gue dapet film ini dari suami gue yang kebetulan download film ini. Nonton sekali, gue cuma kuat sampai seperempat jam saja. Gaya penyutradaraannya benar – benar melelahkan, nyaris membosankan untuk diikuti. Selain memang lambat, banyak adegan – adegan ga penting yang muncul. Ngapain coba dia shoot awan di angkasa sampai satu menit (jangan – jangan lebih ) Kurang lebih satu minggu setelahnya gue tertantang untuk menuntaskannya. Dan kali ini, gue tidak bergeming. Setelah mengikutinya secara utuh, gue baru bisa merasakan kenikmatannya. Ada gaya penyutradaraannya di film ini yang paling gue suka, yang juga gue temui di film Memento, November, 11:14 atau Before The Devil Knows You’re Dead (mungkin ada yang lain ?). Gue menyebut keempat film itu, karena gue suka setengah mati. Alur-nya yang maju mundur, sambung menyambung dan mengisahkan banyak kepala, sangat menyenangkan untuk diikuti.
Soal cerita, feel-nya juga indie banget. Kamu mungkin akan terkaget – kaget melihat kehidupan anak – anak sekolah seperti casts di film ini (especially untuk 2 anak yang melakukan penembakan tersebut).
Menurut gue, justru dibuat dengan semangat indie maka film ini terlihat real. Tidak dibuat – buat. Apalagi first names untuk karakter dalam film ini kebanyakan tidak berubah dari nama asli mereka.
Gue ga tahu dimana saja film ini diputar, diedarkan atau memang perlukah sebuah promosi. Kalo dari segi komersialitas sih film ini jauh. Ga mungkin bikin film ini untuk cari untung. Tapi ga tahu juga ya kalo banyak yang tertarik dikarenakan magnet real event dari Columbine massacre.
Tapi yang jelas, film ini membuat gue kepingin nonton film – film sejenis, atau paling tidak film – film non Hollywood yang lain.
Yang jelas, film yang diproduseri Diane Keaton ini sangat menarik untuk diikuti.
Ini adalah foto dari kejadian The Columbine Massacre
Image and video hosting by TinyPic